KABAR mengguncangkan tak henti-hentinya meruap dari Cilangkap, Markas Besar TNI. Kali ini adalah harian The Straits Times yang melentingkannya. Pada terbitan 7 Maret lalu, koran ternama Singapura itu menurunkan berita yang bikin jantung pialang saham kembali berdegup kencang. Lebih dari 10 jenderal, begitu ditulis The Straits, mengancam mengundurkan diri karena tak puas dengan mutasi militer yang diumumkan 28 Februari lalu.
Alasannya, pergerakan gerbong TNI terakhir dianggap sarat dengan muatan politis dan terlalu dalam dicampuri Istana. Sebagaimana diketahui, mutasi kemarin telah mementalkan sejumlah jenderal yang kerap dikaitkan sebagai "orang Wiranto" dari pos-pos strategis. Dua yang paling mencolok adalah tergusurnya Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Djadja Suparman oleh Mayjen Agus Wirahadikusumah, dan "di-non-job-kannya" Kepala Staf Umum TNI Letjen Suaidi Marasabessy.
Tiga sumber militer yang dikontak TEMPO membenarkan adanya manuver itu. Semula, kelompok itu akan memainkan jurus "undur-undur" alias mengundurkan diri. Tujuannya, menekan Presiden Abdurrahman Wahid agar merevisi lagi daftar mutasi.
Ihwalnya adalah sebuah draf pernyataan protes yang diedarkan seorang brigadir jenderal yang masuk kotak pada mutasi kemarin. Pernyataan itu direncanakan untuk diteken 12 jenderal, kebanyakan dari lingkaran dalam Wiranto. Isinya, empat jenderal menolak ditempatkan di pos barunya dan delapan lainnya menyatakan mengundurkan diri. Komposisinya terdiri dari 11 jenderal lulusan Akademi Militer Nasional angkatan 71-72, dan seorang perwira tinggi angkatan 70. Setidaknya, ada tiga letnan jenderal yang diharapkan ikut menorehkan tanda tangannya. Menurut rencana, pernyataan ini akan ramai-ramai mereka serahkan langsung ke Presiden Wahid. Belakangan, entah kenapa, langkah ini urung dilaksanakan.
Rupanya, skenario ini keburu merembes keluar. Draf pernyataan itu kabarnya sempat beredar secara terbatas di sebuah forum pengajian kalangan habaib yang getol mendukung Wiranto. Dan sebelum sampai ke media, gendang telinga Gus Dur telah menangkapnya. Karena itulah, kata sumber itu menjelaskan, kenapa pada 3 Maret lalu Gus Presiden sampai repot-repot bertandang ke rumah Jenderal Wiranto.
Indikasi ke arah itu bukannya tak ada. Yang paling mencolok adalah penolakan Letjen Suaidi ketika ditawari bergeser ke posisi Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI, yang kini dijabat Letjen Sumardi. Jenderal jebolan Akademi Militer Nasional 1971 itu menyatakan tak mau menggeser seniornya yang angkatan 70 itu—sebuah alasan yang terdengar agak aneh di kalangan TNI. Menurut seorang kalangan dekatnya, Suaidi juga menolak ketika kembali ditawari "menggeser" rekan seangkatannya, Letjen Sugiono, di pos Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan.
Jika benar, ini jelas bukan soal remeh. Kepatuhan terhadap perintah adalah suatu kemutlakan dalam jalur komando militer. Jadi, jika jurus "ngambek bareng" itu memang ada, tak kelewat salah kalau banyak pihak menilainya sebagai suatu bentuk "pembangkangan".
Tapi syukurlah, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. dan para jenderal telah ramai-ramai membantahnya. Letjen Suaidi, yang Rabu pekan lalu telah menyerahterimakan jabatan Kasum ke penggantinya, Letjen Djamari Chaniago, tegas-tegas menyatakan, "Saya tak kan pernah melakukan itu. Kalau ada yang seperti itu, saya mungkin orang pertama yang keluar dari TNI. Tapi itu kan tidak saya lakukan," katanya. Letjen Endriartono Sutarto, yang baru saja bergeser ke pos Wakil Kepala Staf Angkatan Darat dan dikenal tak suka berkelompok, sambil terbahak, juga menyatakan hal serupa.
Hal sebaliknya bahkan diungkapkan seorang jenderal yang amat dekat dengan Wiranto. "Lo, kok enak sekali mereka!" katanya menunjuk kelompok Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto dan Mayjen Agus Wirahadikusumah, yang sekarang dilihat sedang di atas angin. Ia malah mengisyaratkan kesiapan kelompok Wiranto untuk menjadi oposisi di dalam tubuh TNI guna mengimbangi kubu Tyasno itu. "Kalau kami pada keluar, memang itu yang mereka maui," katanya lagi.
Jadi, siapa yang mau mundur?
Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini