Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rambut Baru Tuan Soni

Anggoro Widjojo memiliki bisnis di Cina dan Hong Kong selama pelariannya. Punya tiga paspor pada satu waktu.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAIN kulitnya yang mengisut, perbedaan paling kentara pada wajah Anggoro Widjojo setelah menghilang hampir enam tahun terlihat pada rambutnya. Dulu rambut putihnya disisir belah kiri. Kini rambutnya berubah menjadi hitam dan disisir ke kanan. Buron Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2009 itu tak memermak wajahnya lewat bedah plastik. Pengusaha itu hanya menghilangkan tahi lalat di dagu kirinya.

Pengacara Anggoro Widjojo, Thomson Situmeang, malah tak menyadari perubahan pada wajah kliennya. "Saya melihat tak ada yang berbeda. Mungkin terlihat berbeda karena faktor umurnya," ujar Thomson, Senin pekan lalu.

Walau Anggoro hanya sedikit merombak wajah, orang-orang pangling kepadanya. Dua tahun lalu, ia mendatangi Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Guangzhao, Cina, untuk membuat paspor baru. Ia beralasan, dokumen yang lama tercecer entah di mana. Kepada petugas, pemilik PT Masaro Radiokom itu mengaku bernama Soni Kurniawan, kelahiran Bandung, 1 Oktober 1952. Lalu terbitlah paspor dengan nomor P-374713 yang berlaku hingga 2017.

Tetap memegang paspor Indonesia, Anggoro, kelahiran Surabaya, 4 Oktober 1953, bermukim di sebuah apartemen di Shenzhen-sekitar 100 kilometer di timur Guangzhou. Kedua kota itu berada di Provinsi Guangdong yang berbatasan dengan Hong Kong. Sebelum ditangkap pada Rabu dua pekan lalu, ia menghabiskan dua malam di Hong Kong untuk menjenguk se­orang anggota keluarganya yang sedang berobat. "Ia sendirian ketika ditangkap. Tak ada perlawanan," kata Atase Imigrasi Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Guangzhao, Jamaruli Manihuruk, Kamis dua pekan lalu.

Anggoro ditangkap petugas imigrasi di pintu perlintasan Shenzhen Wan-salah satu pintu masuk ke Cina daratan dari Hong Kong. Ketika masuk dari Shenzhen ke Cina dua hari sebelumnya, ia sebenarnya sudah terdeteksi. Imigrasi Cina tak langsung menangkapnya, tapi mengirimkan alarm kepada KPK untuk memastikan bahwa pria itulah yang dicari-cari selama ini. Tuduhannya: menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, antara lain Yusuf Erwin Faishal dari Partai Kebangkitan Bangsa, untuk meloloskan anggaran proyek alat sistem komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan pada 2007.

KPK memastikan paspor Anggoro "aspal" alias asli tapi palsu. Paspor itu memang dikeluarkan secara resmi oleh otoritas Indonesia, tapi biodatanya lancung. Pada saat ia kembali dari Hong Kong, Imi­grasi Cina tak berayal-ayal meringkusnya. Imigrasi segera mengontak Kementerian Keamanan Publik Cina. Pemerintah Cina kemudian menghubungi Jakarta. Pemulangan Anggoro diputuskan lewat deportasi dari Guangzhou.

Waktu yang tersedia tak banyak. Imi­grasi Cina hanya bisa menahan Anggoro selama 2 x 24 jam. Lewat tenggat, Anggoro akan diserahkan ke polisi Cina, kemudian ke kejaksaan setempat. Ini bakal membuat proses pemulangan jadi runyam. Ditambah lagi, kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, kantor pemerintah di sana bisa libur hingga dua pekan pada awal tahun baru Cina. "Kami beruntung Anggoro ditangkap sebelum Imlek," ujar Bambang.

Begitu mendengar kabar Anggoro ditangkap pada Rabu malam, KPK segera berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kedua lembaga membentuk tim penjemput yang terdiri atas delapan orang, empat dari KPK dan sisanya dari Kementerian Hukum. Kamis pagi keesokan harinya, mereka langsung berangkat ke Guangzhou.

Di sana, Anggoro sudah bersama Jamaruli Manihuruk. Anggoro dibawa dari Shenzhen dengan pengawalan polisi Cina. Tim penjemput, yang baru datang, langsung berkemas lagi. Hari itu juga mereka berencana membawa Anggoro ke Tanah Air dengan pesawat Garuda. Lepas landas.

Tim penjemput memborong 12 kursi di kelas eksekutif Garuda GA-899. Anggoro duduk di kursi 2K di samping jendela, bersebelahan dengan Jamaruli Manihuruk. Setelah serah-terima dengan pemerintah Cina beres, Anggoro dinyatakan ditangkap oleh KPK di dalam pesawat-wilayah teritorial Indonesia. Dijadwalkan lepas landas pukul 15.35 waktu setempat, pesawat baru terbang hampir dua jam kemudian.

n n n

KELUAR dari Indonesia pada 22 Juni 2008, Anggoro baru dinyatakan buron pada 9 Juli 2009, setelah dijadikan tersangka penyuapan sebulan sebelumnya. Pada hari dia ditetapkan sebagai pelarian, KPK sudah mencium keberadaannya. Pada awal Juli 2009, ia diketahui menginap di kamar 202 Hotel Meritus Mandarin, Singapura-kini Hotel Mandarin Orchard. Kamar itu disewa atas nama adiknya, Anggodo Widjojo. Abang-adik itu bertemu di hotel tersebut.

Anggodo dan Ary Muladi, koleganya, lalu membuat testimoni di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI bahwa dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah, telah menerima besel dari Anggoro. Duit Rp 5,15 miliar disalurkan dalam tiga tahap lewat Ary Muladi pada akhir 2008. Tujuannya agar KPK mencabut status cegah pada Anggoro. Lantaran diduga terlibat kasus sistem komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan, Anggoro dicegah bepergian ke luar negeri sejak 22 Agustus 2008.

Pengakuan mereka menjadi peluru polisi untuk menembak KPK. Hubungan Polri dan KPK memanas setelah tersiar kabar bahwa komisi antikorupsi hendak menangkap seorang perwira tinggi Polri yang "bermain" ketika menangani perkara nasabah Bank Century. Apalagi Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar, belum lama dijebloskan ke ruang tahanan karena disangka membunuh Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen.

Bibit dan Chandra jadi tersangka pemerasan terhadap Anggoro pada pertengahan September 2009. Mereka juga dibidik dengan pasal penyalahgunaan wewenang karena disangka secara serampangan menerbitkan surat cegah terhadap Anggoro, juga terhadap pengusaha Joko Soegiarto Tjandra dalam kasus suap Artalyta Suryani. Belakangan, Ary Muladi mencabut pengakuannya dan mengatakan bahwa dia berbohong telah menyerahkan duit Anggoro kepada Bibit dan Chandra.

Setelah mengetahui Anggoro ada di Singapura, petugas KPK langsung terbang ke sana. Rupanya, sejumlah polisi dari Indonesia juga berangkat. Bukan hendak membantu menangkap Anggoro, mereka diduga melakukan hal sebaliknya. Gelagat ini sebenarnya sudah bisa dibaca dari kejadian sebelumnya. Pada hari Anggoro dinyatakan buron oleh KPK, Kepala Badan Reserse Kriminal waktu itu, Komisaris Jenderal Susno Duadji, malah bertemu dengan Anggoro di Singapura. Permintaan KPK agar Anggoro dimasukkan ke red notice Interpol baru dikabulkan Mabes Polri pada 2010, setelah konflik reda.

Betul saja, ketika KPK datang ke Meritus Mandarin, Anggoro sudah meninggalkan hotel itu. Pada pertengahan Juli itu, Anggoro terbang ke Guangzhao dengan pesawat China Southern Airlines CA352. Ia menggunakan paspor bernomor B-436917 atas nama Anggoro Widjojo. Pada awal Agustus 2009, Anggoro diketahui masih di Cina. Selepas bulan itu, Anggoro tak pernah lagi menggunakan paspor dengan nomor tadi.

Ketika berada di luar negeri, menurut sejumlah sumber, ia pernah memiliki tiga paspor asli bernama Anggoro Widjojo dengan nomor berbeda. Tanggal berlakunya memang berbeda, tapi pada kurun waktu tertentu ketiganya sama-sama berlaku. Selain bernomor B-436917, dokumen imigrasinya yang masih berlaku pada 2009 adalah paspor bernomor N-243279 dan A-626475. Namun dua paspor terakhir pun tak tercatat di pintu perlintasan Cina setelah ia dinyatakan buron.

Babak-belur dihajar kasus Bibit-Chandra, pencarian Anggoro sepanjang 2010 kendur. KPK keburu kehilangan jejaknya. Komisi antirasuah kembali bersemangat memburu Anggoro menginjak tahun 2011. Menduga Anggoro masih di Cina, Komisi mendekati aparat pemerintah di sana. Lebih dari sekali KPK menemui Jaksa Agung Cina dan pejabat kepolisian negara itu. KPK juga menjalin kontak dengan Kementerian Pengawasan Cina dan Imigrasinya.

Pertukaran informasi bukan cuma mengenai Anggoro. KPK pun membantu lembaga penegak hukum Cina melacak jejak buruan mereka yang ditengarai lari ke Indonesia. Lebih dari seratus permintaan dari Beijing masuk ke KPK. Sebaliknya, komisi antikorupsi hanya meminta satu orang: Anggoro Widjojo.

Setahun lalu, Anggoro muncul lagi di radar dengan nama Soni Kurniawan. Nomor paspor atas nama Soni Kurniawan sebelumnya dipakai pada paspor Muhammad Berianto. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menyatakan kementeriannya sedang menyelidiki bagaimana paspor Soni Kurniawan bisa keluar. "Yang pasti, prosesnya terjadi di luar negeri karena saat berangkat ia memakai paspor atas nama Anggoro," ujarnya.

Ketika itu, Anggoro alias Soni diketahui berada di salah satu rumah sakit di Hong Kong. Sejak itu, KPK terus memelototinya. Rupanya, pergerakan Anggoro tak jauh dari kawasan bepergiannya sebelum "menghilang". Paling jauh ia melancong ke Myanmar dan Singapura. Istri dan anaknya, David Angkawijaya, yang juga dicegah pesiar ke luar negeri karena terlibat kasus proyek sistem komunikasi radio terpadu, tinggal di Singapura. Selebihnya, Anggoro hanya pergi ke kota-kota di daratan Cina dan ke Hong Kong.

Ia tak pernah berlama-lama di Hong Kong. Dalam sehari, Anggoro bisa bolak-balik Shenzhen-Hong Kong naik bus. Kadang menginap barang satu-dua hari seperti sebelum ditangkap dua pekan lalu. Ia rutin berkunjung ke Hong Kong, antara lain, untuk mengendalikan bisnisnya di bidang alat komunikasi. Ada empat perusahaan yang diketahui terafiliasi dengan Anggoro. Tentu saja nama dia tak tercantum sebagai anggota direksi. Salah satu perusahaan beralamat di Connaught Road.

Selebihnya, Anggoro berada di Shenzhen. Keluarganya dari Singapura kerap pula berkunjung ke sana, seperti dua pekan lalu sebelum ia ditangkap. Ketika itu, sebagian besar anggota keluarganya sedang berada di Shenzhen. Maka Anggoro pulang dari Hong Kong seorang diri menumpang bus. Pada saat itu, Imigrasi Cina sudah memastikan pria yang sedang melintas adalah buruan KPK.

Pengacara Anggoro, Thomson Situmeang, mengatakan ia kerap mengontak kliennya selama dalam pelarian. Thom­son mengaku berkomunikasi terakhir kali dengan Anggoro pada Maret 2013. Menurut dia, pembicaraan tak membahas kasus. "Hanya say hallo," katanya Senin pekan lalu. Ia tak bersedia menjelaskan ke mana saja Anggoro selama kabur-kaburan.

Menurut Thomson, pada awalnya Anggoro tak berusaha melarikan diri. Tujuan kliennya ke Singapura, kata dia, adalah mengantar istrinya berobat. "Ketika di Singapura itu, dia mendengar ada penggeledahan dan kaget. Dia bertanya ada kasus apa," ujarnya. Sambil menunggu perkembangan kasusnya di Jakarta, kata Thom­son, Anggoro menyandang status tersangka. "Ya sudah, dia tak mau pulang."

Thomson menyangkal kabar bahwa kliennya telah menyogok anggota DPR dan pejabat Kementerian Kehutanan. Ia mengatakan Anggoro bukan anggota direksi PT Masaro Radiokom, agen tunggal peralatan radio merek Motorola, ketika kasus terjadi, melainkan pemegang saham. Direktur perusahaan itu adalah Putranefo Alexander Prayogo, yang bersama Anggoro disangka menyuap anggota DPR dan pejabat Kementerian Kehutanan.

Sekali waktu, Anggoro pernah menjadi buron nomor satu-juga terlama-KPK. Kepulangannya ditunggu untuk menjelaskan pangkal soal kasus "Bibit-Chandra". Perkara ini hampir menyapu keberadaan KPK dan melumpuhkan pemberantasan korupsi. Apa boleh buat, setelah kasus itu berlalu, baru ia "pulang"-dengan rambut disemir hitam dan di sisir ke kanan, serta dagu tanpa tahi lalat.

Anton Septian, Muhammad Rizki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus