Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Safari yang Bikin Repot

Politik Bush, yang mendeklarasikan perang terhadap terorisme setelah Menara Kembar WTC digasak roboh dua pesawat yang dikendalikan teroris pada 2001, ditentang di mana-mana karena dianggap tidak jelas membedakan teroris dengan Islam.

20 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA riuh-rendah demonstrasi menolak kunjungan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Indonesia. Aksi demo digelar hampir setiap hari di hampir semua kota besar. Di Makassar dan Yogyakarta, sekelompok mahasiswa turun ke jalan dengan membawa poster-poster anti-Bush dan AS. Di Lampung, replika patung Bush dibakar dan protes dilakukan dengan menyegel rumah makan cepat saji McDonald’s. Di beberapa kota, mahasiswa harus bersitegang dengan polisi.

Di Tugu Kujang, Bogor, seorang paranormal mengadakan prosesi mirip ritual voodoo. Konon maksudnya supaya Bush tak betah lama-lama di Istana Bogor dan para pengawalnya kesurupan. Hanya mahasiswa di Bali yang menggelar poster menyambut baik kunjungan Bush di Bogor, Senin ini.

Bush memang tak akan lama di Istana Bogor. Dia hanya ”mampir” selama enam jam untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga sejumlah tokoh. Dan berbagai aksi menolak kunjungan pemimpin negara adidaya ini juga bukan hal baru. Sering kali dalam kunjungan ke luar Amerika Serikat, Bush mendapat antipati dari masyarakat negeri yang didatanginya.

Tentu saja protes yang dilayangkan ke alamat Bush itu dipicu oleh kebijakan luar negeri AS yang dinilai sangat kontroversial, terutama perang terhadap Irak. Politik Bush, yang mendeklarasikan perang terhadap terorisme setelah Menara Kembar WTC digasak roboh dua pesawat yang dikendalikan teroris pada 2001, ditentang di mana-mana karena dianggap tidak jelas membedakan teroris dengan Islam. Akibatnya, selain mengundang permusuhan dari sejumlah organisasi Islam di berbagai belahan dunia, Bush juga kurang menarik bagi masyarakat sejumlah negara berpenduduk muslim. Apalagi, tidak seperti dua atau tiga pendahulunya, Bush mengakui secara terbuka bahwa ia naik takhta Gedung Putih karena dipilih Tuhan dan karenanya dia harus menyelamatkan dunia dari semua yang jahat.

Protes, aksi turun ke jalan, menyembelih hewan, atau protes damai yang lain, jelas merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi kita. Sepak terjang Bush dan pemerintahannya memang boleh dan layak dikritik. Yang tidak boleh dilakukan adalah unjuk rasa dengan kekerasan, termasuk membajak mobil atau menyegel restoran cepat saji tadi. Perlu juga diingat bahwa menolak Bush bukan berarti menjadikan setiap orang Amerika di negeri ini sebagai musuh. Sehingga sweeping atau aksi apa pun dalam bentuk tindakan fisik terhadap warga negara AS di sini tidak relevan dilakukan. Sikap warga negara AS belum tentu sama dengan sikap Bush.

Bahkan 60 persen warga AS yang terdaftar sebagai pemilih dalam pemilihan anggota Kongres, Dewan Perwakilan Rakyat AS, yang baru saja selesai, menentang perang terhadap Irak. Sebanyak 59 persen pemilih tak puas atau marah pada pemerintahan Bush. Kekecewaan warga AS terhadap Bush terlihat dari hasil pemilihan. Partai Republik, yang mendukung Bush dan sudah menguasai Kongres selama 12 tahun terakhir, akhirnya harus kalah dari Partai Demokrat. Di Senat, dewan perwakilan negara bagian, Partai Republik juga kalah tipis.

Maka, agenda besar Bush dalam dua tahun terakhir masa pemerintahannya adalah bagaimana bertahan di Gedung Putih dan menyusun strategi menghadapi Kongres yang sekarang dikuasai oleh lawan politiknya. Bush sekarang ini menghadapi kondisi politik yang persis sama dengan Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat yang selama dua periode harus menghadapi Kongres yang dikuasai Partai Republik.

Untuk sedikit mengendurkan tekanan politik yang dialaminya di Washington, Bush melakukan safari ke tiga negara Asia Tenggara, Vietnam dan Singapura serta Indonesia. Tapi Bush belum berubah rupanya. Di Universitas Nasional Singapura, ia bicara menebar semangat anti-Islam militan yang dianggapnya menjadi ancaman keamanan bagi beberapa negara Asia Tenggara.

Di Bogor, selain untuk membalas kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke AS pada Februari lalu, tidak ada agenda besar yang mendesak. Dalam hal ini, justru Presiden SBY dan delegasi yang bertemu Bush yang diharapkan banyak mengambil manfaat dari sejumlah agenda ”soft-power” yang dibahas, misalnya kerja sama pendidikan dan peningkatan kesehatan.

Agenda yang dibahas selintas terdengar tidak seimbang dengan kerepotan pengamanan Istana Bogor selama dua minggu terakhir. Kendati begitu, memastikan keselamatan tamu negara adalah jaminan yang harus bisa diberikan Indonesia sebagai anggota masyarakat dunia yang beradab. Lebih lagi bila diingat bahwa Bush adalah seorang presiden yang menjadi musuh nomor satu para teroris dunia. Jaminan itu, apa boleh buat, diberikan di atas segala yang tak menyenangkan di Bogor—misalnya telepon seluler tak bisa dipakai, pedagang kaki lima tak boleh berjualan, angkutan umum dialihkan. Betapa besar rakyat menyumbang untuk tamu yang kontroversial ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus