Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya membeli 28 helikopter oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi, akhir 2005 lalu, menyisakan cerita tak enak. Mulai dari mekanisme hingga eksekusi pengadaan, ditemukan gejala awal praktek kolusi-korupsi. Walaupun rencana itu sudah dibatalkan, pelajaran layak diambil dari kasus ini.
Adalah surat Badan Koordinasi tertanggal 18 November 2005 kepada Menteri Keuangan yang menjadi pangkal cerita. Surat yang diteken Sekretaris Wakil Presiden merangkap Sekretaris Badan Koordinasi, Gembong Priyono, itu berisi permintaan dana Rp 84 miliar untuk membeli 28 unit helikopter. Disebutkan, dana itu bisa dialokasikan ke anggaran Badan Koordinasi untuk Triwulan I tahun 2006 di pos Sekretariat Wakil Presiden. Helikopter yang akan dibeli itu dari jenis BO-105 eks tentara Jerman.
Kejanggalan cepat datang. Ternyata ketika surat permohonan tersebut ditulis, 12 dari 28 heli yang diminta sudah masuk ke Indonesia. Sebanyak 10 unit nongkrong di hanggar bonded zone Garuda Maintenance Facilities Cengkareng. Dua unit lainnya masih di Tanjung Priok. Belasan capung besi itu sudah sebulan di sana. Ada mekanisme tak biasa, banyak tahapan yang dilompati.
Galibnya, pengadaan barang oleh instansi pemerintah mesti mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Setelah itu, Dewan Perwakilan Rakyat mutlak diajak bicara karena menyangkut anggaran negara. Ternyata itu semua di-bypass. Karena itu, segera muncul kesan tak wajar. Sukar untuk memisahkan pertalian Jusuf Kalla dari kasus helikopter ini.
Dalam pengantar suratnya, Gembong menyatakan Wakil Presiden pernah menerima tawaran pemerintah Jerman untuk pengadaan heli bekas yang murah dan layak pakai. Tampaknya, Jusuf Kalla, yang juga menjabat Kepala Badan Koordinasi, antusias. Ini terlihat dalam konsiderans berikutnya yang menegaskan helikopter itu dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja Badan dalam menanggulangi bencana secara cepat dan tepat.
Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi tahap berikutnya mencurigakan. Sejak Juni 2005, lima bulan sebelum pengajuan dana disampaikan, Badan Koordinasi rupanya sudah menunjuk Iwan Hardja sebagai utusan pemerintah guna menjajaki pengadaan heli. Sebagai utusan khusus, Iwan memiliki wewenang mengurusi penempatan, inspeksi, negosiasi suku cadang heli, dan penerimaannya.
Siapa Iwan? Dia pernah bekerja selama 25 tahun di PT Bukaka Teknik Utama. Tentu sudah jadi pengetahuan umum bahwa Bukaka dimiliki oleh keluarga Jusuf Kalla. Iwan ini sudah berpengalaman melakukan pembelian pesawat Fokker untuk Bukaka. Dan kini, berkat aksinya, 12 unit heli mulus hinggap di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan dana US$ 2,5 juta. Iwan berhasil menutupnya dengan menggaet sebuah konsorsium penyandang dana yang bermarkas di Virgin Island.
Artinya, hingga sekarang duit negara belum keluar untuk keperluan itu. Lagi pula pengadaan heli itu sudah dibatalkan melalui surat Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi, Syamsul Ma’arif, kepada Bea Cukai.
Namun, keputusan Kalla menunjuk orang dekatnya guna mengurusi pengadaan barang instansi pemerintah itu harus disemprit keras. Sebab, langkah tersebut ibaratnya tinggal seinci saja menuju praktek korupsi yang sebenarnya. Tentu dalam proses itu agaknya tidak terelakkan pengaruh nama pemerintah Indonesia dalam memuluskan negosiasi. Walaupun duit negara belum keluar, campur-aduk kepentingan negara dengan bisnis keluarga perlu disetop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo