Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengatakan ide dari Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan perbaikan sistem pemilu akan menjadi acuan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. RUU Pilkada masuk ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029 DPR RI.
“Karena harus dijadikan acuan kemudian, nanti pasti akan jadi bahan diskusi,” kata Dede Yusuf di Jakarta pada Jumat, 13 Desember 2024.
Politikus Partai Demokrat itu mengatakan ide dari Presiden Prabowo yang diucapkan ketika Puncak HUT Ke-60 Partai Golkar di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024, itu bakal menjadi pembahasan ketika Komisi II DPR RI menggelar rapat dengan penyelenggara pemilu dalam evaluasi Pilkada Serentak 2024.
Meskipun ide tersebut menjadi acuan, menurut Dede, Komisi II DPR RI juga tetap mendalami masukan-masukan dari berbagai pihak untuk RUU tersebut, salah satunya mengenai RUU Pilkada yang berstatus “warisan” dari periode sebelumnya atau carry over.
Adapun Anggota Komisi II DPR Deddy Sitorus masih menunggu draf revisi usulan Presiden Prabowo agar gubernur dan bupati dipilih oleh DPRD.
“Nanti kita lihat dulu draf revisi yang diusulkan. Saya belum bisa berkomentar, karena belum tahu usulan konkretnya seperti apa,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu saat dihubungi Tempo pada Jumat.
Dia menjelaskan komposisi partai koalisi di DPR sebesar 84 persen. Karena itu, kata dia, seluruh kebijakan politik dan legislasi yang diinginkan di atas kertas pasti bisa gol.
“Komposisi partai koalisi di DPR itu 84 persen. Apapun kebijakan politik dan legislasi yang diinginkan di atas kertas, pasti bisa direalisasikan. Masalahnya, apakah ini wacana saja atau sesuatu yang memang serius mau dilakukan, mari kita lihat nanti,” ujarnya.
Deddy mengatakan, dengan komposisi partai di parlemen seperti sekarang, perubahan UU Pilkada bisa diadopsi pada siklus pemilihan berikutnya. Dia tak menampik ongkos menggelar pilkada memang mahal. Itu adalah fakta dan sudah tentu perlu dievaluasi secara mendasar dan menyeluruh.
“Apakah jawabannya dengan mengembalikan kewenangan ke DPRD, itu harus dikaji secara mendalam. Sistem apa pun tidak akan pernah sempurna secara substansial,” ujar Deddy.
Dia menyebutkan substansi dari pemilihan calon kepala daerah itu juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Mulai dari kesiapan masyarakat, partai, penegakan hukum, pemerintah, penyelenggara, hingga kontestannya.
Sebelumnya, Presiden mengajak seluruh ketua umum dan pimpinan partai politik yang hadir pada Puncak HUT Ke-60 Partai Golkar memperbaiki sistem politik yang menghabiskan puluhan triliun dalam satu-dua hari setiap penyelenggaraan pemilu.
Dia mengusulkan agar pesta demokrasi hanya untuk memilih DPRD. Setelah itu, DPRD lah yang akan memilih gubernur hingga bupati. Menurut dia, sistem itu lebih efisien dan bisa menekan banyak biaya.
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Ketua Umum Partai Gerindra itu dalam sambutannya.
Prabowo mengatakan opsi itu bisa dilakukan untuk menekan besarnya anggaran untuk menggelar pilkada. Anggaran sebesar itu, kata dia, lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat. “Efisien enggak keluar duit? Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi,” kata Prabowo.
Dia juga menyinggung banyaknya anggaran politik yang harus dikeluarkan oleh peserta pilkada. Mengingat hal itu, Prabowo menyarankan perlu ada evaluasi sistem secara bersama-sama.
Annisa Febiola, Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Soal Perebutan Kursi Ketum PMI antara JK dan Agung Laksono, Idrus Marham: Berikan Contoh yang Baik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini