Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Respons PBNU dan Pengusaha Muhammadiyah Soal Kebijakan PPN 12 Persen

Serikat Usaha Muhammadiyah menilai kebijakan PPN 12 persen tak sensitif kepada pengusaha yang berjuang di tengah penurunan daya beli masyarakat.

22 Desember 2024 | 09.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan PPN 12 persen itu sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara guna mendukung stabilitas ekonomi nasional.

“Kenaikan itu sesuai dengan amanat Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers bertajuk ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Jakarta pada Senin, 16 Desember 2024.

Dia menuturkan kebijakan kenaikan pajak penghasilan (PPh) ini bersifat selektif, dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium. Dikutip dari situs web resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), barang dan jasa kategori mewah atau premium di antaranya makanan, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.

Menurut Menkeu, setiap barang dan jasa kategori mewah akan terkena pemungutan pajak. Dia mengatakan pengenaan pajak tersebut sebagai bentuk pemerintah yang selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. “Sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” kata dia.

Kenaikan PPN 12 persen itu mendapat respons dari berbagai kalangan. Ada yang setuju, ada pula yang menentang kenaikan tersebut.

PBNU Minta Masyarakat Mendengarkan Penjelasan Pemerintah secara Utuh

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf meminta masyarakat mendengarkan penjelasan pemerintah secara utuh tentang kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dengan begitu, kata dia, publik dapat memahami maksud dari konteks kenaikan pajak ini.

“Dan tentu saja terkait juga dengan benefit apa yang ditawarkan kepada rakyat sebagai hasil dari kebijakan tersebut,” ujar pria yang akrab disapa Gus Yahya itu dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 20 Desember 2024.

Dia mengatakan, bila masyarakat menyimak penjelasan dari pemerintah, maka akan mengetahui agenda dan problematika yang terdapat pada kenaikan PPN 12 persen ini. Dia berharap masyarakat mampu memahami penjelasan pemerintah tentang PPN 12 persen ini.

“Sehingga masyarakat tidak sekadar menyerukan tuntutan-tuntutan parsial,” ucapnya.

Menurut dia, kenaikan PPN 12 persen ini mengakibatkan terganggunya hubungan dialogis pemerintah dengan masyarakat. Dia mengatakan seharusnya lembaga yang mengatur kenaikan pajak ini memberikan kejelasan dengan cara diskusi secara komprehensif kepada masyarakat.

“Semua pihak diharapkan berpikir lebih jernih tentang apa yang secara objektif dibutuhkan oleh negara,” tutur Yahya.

Jaringan Pengusaha Muhammadiyah Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

Adapun jaringan pengusaha Muhammadiyah yang tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) berharap pemerintah membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Sekretaris Jenderal SUMU Ghufron Mustaqim menilai kebijakan itu tidak sensitif kepada pengusaha yang sedang berjuang di tengah penurunan daya beli masyarakat.

“Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikkan angka pengangguran,” kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 15 November 2024.

Ghufron menegaskan saat ini banyak perusahaan yang mayoritas merupakan UMKM sedang berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi. Bahkan, kata dia, banyak yang memutuskan mengurangi jumlah karyawan hingga gulung tikar sehingga rencana kenaikan PPN mengancam kelangsungan bisnis mereka.

Dia menyitir data Bursa Efek Indonesia (BEI) tentang rasio keuntungan bersih dengan pendapatan perusahaan kategori LQ45 yang hanya berkisar 11 persen. Menurutnya, keuntungan bersih itu tidak jauh berbeda dengan tarif PPN yang akan dikenakan.

Untuk itu, kata dia, tarif PPN yang lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. “Sebab, harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Pada gilirannya, ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan,” ujarnya.

Ghufron mengingatkan kebijakan yang akan berlaku pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.

“Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat,” ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu.

M. Raihan Muzzaki dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: BNPT Antisipasi Ancaman Terorisme saat Natal dan Tahun Baru 2025

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus