Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ridwan Kamil Kembali Tunda Pengkajian Izin Meikarta

Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa diduga meminta uang Rp 1 miliar.

31 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memberi pernyataan ihwal penetapan status tersangka terhadap Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa di Gedung Sate

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan kembali menunda pengkajian penerbitan izin proyek pengembangan properti Meikarta. Penundaan dilakukan gara-gara Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa sebagai tersangka kasus korupsi perizinan proyek milik Lippo Group tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ridwan mengungkapkan, rencana untuk mengkaji kembali proses penerbitan izin proyek Meikarta pernah disampaikannya saat KPK memulai penyidikan. Namun keinginan itu diprotes KPK karena dikhawatirkan bakal mempengaruhi proses hukum. Ridwan menuturkan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bakal menunggu hingga proses hukum di KPK selesai. "Saya tidak bisa membicarakan Meikarta karena komitmen, arahan KPK untuk tidak membahas sebelum 100 persen rangkaian peradilan selesai," kata Ridwan di Bandung, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sambil menunggu proses hukum terhadap Iwa, Ridwan menunjuk Asisten Pemerintahan, Hukum, dan Kesejahteraan Sosial Jawa Barat, Daud Achmad, untuk menjadi pelaksana harian Sekretaris Daerah. Ia memastikan penetapan Iwa sebagai tersangka tidak akan mengganggu jalannya pemerintahan Jawa Barat. "Penunjukan Daud sudah dikonsultasikan dengan Kementerian Dalam Negeri," ucap Ridwan.

KPK menetapkan Iwa sebagai tersangka korupsi perizinan pembangunan proyek Meikarta pada Senin lalu. Ia diduga meminta uang Rp 1 miliar untuk menyelesaikan pembahasan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017. Rencana peraturan daerah ini dibutuhkan untuk memasukkan proyek Meikarta ke dalam rancangan tata ruang Kabupaten Bekasi.

Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, adanya permintaan uang untuk memperlancar pembahasan RDTR sudah muncul sejak awal pengajuan. Pada April 2017, Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili, diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bekasi di kantor Kabupaten Bekasi. Dalam pertemuan itu, Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD Bekasi untuk mengurus pembahasan RDTR.

Setelah disetujui anggota Dewan Bekasi, Raperda RDTR dikirim ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk dibahas. Namun Kelompok Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah tak segera membahasnya. Neneng mendapat informasi bahwa ia harus menemui Iwa agar RDTR segera diproses oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Selanjutnya Neneng mendapat informasi bahwa Iwa meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian RDTR. Permintaan itu diteruskan kepada salah seorang karyawan PT Lippo Cikarang Tbk dan mendapat kesepakatan. Sekitar Desember 2017, Neneng menyerahkan uang kepada Iwa dengan total Rp 900 juta melalui perantara dalam dua tahap.

Penetapan Iwa sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan suap yang menyeret Bupati Bekasi nonaktif, Neneng Hasanah Yasin. Politikus Partai Golkar itu terbukti bersalah menerima suap untuk menerbitkan izin proyek pembangunan Meikarta. Dalam pengembangannya, KPK mengungkapkan bahwa praktik suap yang dilakukan cukup sistematis.

Suap tak hanya diberikan untuk mengeluarkan izin peruntukan penggunaan tanah, tapi juga di sejumlah tahap lain, seperti proses RDTR, rekomendasi Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, rekomendasi pemasangan alat proteksi pemadam kebakaran, rekomendasi lingkungan hidup dari Dinas Lingkungan Hidup, dan penerbitan izin mendirikan bangunan. Setidaknya ada Rp 13,3 miliar duit suap yang terbukti di pengadilan.

Iwa menyatakan pasrah atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Ia mengatakan akan menghormati proses hukum. "Saya menghormati penetapan ini sebagai proses saya memperoleh keadilan dan kebenaran di mata hukum," katanya.

AHMAD FIKRI | ANDITA RAHMA | MAYA AYU PUSPITASARI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus