Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kelompok masyarakat sipil mendesak DPR 2024-2020 kembali memasukkan RUU yang mandek dalam program legislasi nasional.
RUU Perampasan Aset tidak akan menjadi alat kriminalisasi asalkan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan.
DPR 2024-2029 harus berfokus merampungkan RUU yang masuk prolegnas agar tidak dinilai memiliki kinerja buruk.
SEJUMLAH organisasi masyarakat sipil mendesak Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat memasukkan rancangan undang-undang yang mandek ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2025-2029 dan Prolegnas Prioritas 2029. Di antaranya RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang perlu segera dibahas untuk memberikan rasa keadilan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Indonesia Corruption Watch Diky Ananda mengatakan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset diperlukan dalam pemberantasan korupsi, terutama pengembalian aset hasil kejahatan. “Evaluasi penegakan hukum dalam perampasan aset hasil kejahatan selama ini tidak optimal,” kata Diky saat dihubungi pada Senin, 11 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan pantauan pegiat antikorupsi ini, dari hasil persidangan pada 2015-2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 279,2 triliun. Dari jumlah itu, hanya sekitar Rp 37,2 triliun kembali ke negara. “Ini menandakan RUU Perampasan Aset penting diprioritaskan,” kata Diky.
Diky memaklumi DPR tidak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset karena khawatir menjadi alat kriminalisasi. Untuk mencegah regulasi perampasan aset dipakai politikus mengkriminalkan musuh politik, menurut Diky, perlu melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya.
Selain RUU Perampasan Aset, ICW meminta DPR memasukkan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal ke dalam daftar prolegnas. RUU ini akan memudahkan penegak hukum untuk melacak transaksi tindak pidana korupsi.
Hal lain yang juga penting untuk direvisi adalah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Substansi Undang-Undang KPK hasil revisi pertama justru melemahkan penegakan pemberantasan korupsi. Merevisi Undang-Undang KPK, kata dia, merupakan langkah untuk mengembalkan muruah KPK seperti sediakala.
Meski mendorong sejumlah RUU itu segera dibahas, Diky tak ingin ada percepatan pengesahan. Alasannya, regulasi yang baik bukan diukur oleh cepatnya pengesahan, melainkan dari kualitas pembahasan regulasi itu.
Dalam kesempatan terpisah, peneliti kebijakan publik lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The Prakarsa, Eka Afrina Djamhari, mengatakan DPR serta pemerintah perlu segera melanjutkan pembahasan RUU Masyarakat Adat. Pengesahan RUU itu penting untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. “Apalagi sudah ditunda sejak 2003,” kata Eka dalam keterangannya, kemarin.
Eka juga mendorong Badan Legislasi DPR memasukkan RUU PPRT ke dalam prolegnas karena belum kunjung disahkan meski sudah menunggu selama 20 tahun. Selain itu, RUU Kesejahteraan Lanjut Usia perlu menjadi prioritas untuk mengakomodasi persiapan Indonesia di masa mendatang.
Eka mengatakan DPR 2024-2029 harus berfokus menyelesaikan pembahasan RUU yang masuk prolegnas agar tidak dinilai memiliki kinerja buruk. DPR periode sebelumnya menyelesaikan banyak RUU, tapi kurang dari 20 persen yang diselesaikan dari prolegnas. Menurut dia, RUU yang tidak masuk prolegnas tapi cepat rampung pembahasannya menunjukkan keberpihakan legislatif kepada kelompok tertentu. “Hal ini memperlemah demokrasi dan kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat," ujar Eka.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan Baleg DPR perlu memasukkan RUU carry over, seperti RUU PPRT, ke dalam prolegnas. “Kalau tidak, DPR bisa disalahkan,” kata Lucius saat dihubungi, kemarin. RUU carry over atau RUU operan merupakan rancangan yang dilanjutkan pembahasannya dari DPR periode sebelumnya ke periode berikutnya.
Lucius mengatakan pertimbangan menentukan RUU masuk prolegnas berdasarkan tiga hal, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), politik legislasi DPR, dan kebutuhan masyarakat. Tiga pertimbangan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari ketiga hal itu, Lucius menilai, kebutuhan masyarakat harus menjadi pertimbangan utama untuk menentukan RUU masuk prolegnas.
Untuk memastikan kebutuhan masyarakat, DPR harus menyiapkan ruang bagi publik memberikan usulan. Ruang itu bukan sekadar forum rapat dengar pendapat. DPR, kata Lucius, harus mengumumkan secara terbuka supaya publik bisa ikut memberikan masukan.
Adapun Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan Baleg DPR saat ini masih berkonsolidasi menerima semua usulan masyarakat. Dia menegaskan, Baleg DPR akan mengutamakan kebutuhan dalam penyusunan daftar Prolegnas 2025-2029. “Kami tidak lagi membuat daftar keinginan, tapi kebutuhan,” ujar Doli saat ditemui di Jakarta, kemarin.
Kebutuhan RUU itu sehubungan dengan capaian pemerintah pada 2029. Doli mencontohkan, pemerintah berkeinginan mencapai swasembada pangan dan ketahanan pangan pada 2029. Dari kebutuhan itu, Baleg DPR akan melihat regulasi yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada pangan tersebut.
“Kalau regulasi tidak cukup, berarti direvisi. Kalau belum ada, kami buat undang-undangnya. Jika kemudian ada overlap atau tumpang-tindih, kami akan integrasikan regulasi tersebut,” kata Doli. "Kami segera menjadwalkan pertemuan dengan pemerintah membahas hal ini."
Ihwal sejumlah RUU carry over, Doli menjelaskan, Baleg DPR belum memiliki daftar RUU yang final. Alasannya, Baleg DPR masih terus berkonsolidasi.
Tempo sudah menghubungi Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Namun, hingga berita ditulis, pertanyaan dan permintaan konfirmasi belum ia respons.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo