Eratnya koalisi Golkar-ABRI mulai dipertanyakan. Sudah saatnyakah Golkar disapih? ADA yang mengatakan peristiwa ini merupakan gejala bahwa "demokrasi" dan "keterbukaan" kian tumbuh. Ada yang menyebutnya sebagai bukti bahwa Golkar, partai terbesar itu, kian mandiri. Yang agaknya pasti, peristiwa ini -- - bergabungnya sejumlah purnawirawan dengan PDI -- ramai dibicarakan orang. Mengapa mereka tak lagi di Golkar? Selama ini Golkar dan ABRI tak mudah dipisahkan karena hubungan keduanya yang begitu istimewa. Sekjen Golkar Rachmat Witoelar menyebut hubungan Golkar dengan keluarga besar ABRI "hangat dan mesra". Keluarga besar ABRI di sini termasuk putra-putri ABRI yang tergabung dalam FKPPI, purnawirawan dalam organisasi Pepabri, begitu pula janda dan istri prajurit, semuanya mendukung Golkar. Dan itu tampaknya berlangsung sampai sekarang. Selain itu, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno adalah salah seorang anggota Dewan Pembina Golkar, sebuah lembaga di dalam struktur DPP Golkar yang punya wewenang amat menentukan, dan dipimpin oleh tak kurang dari Presiden Soeharto. Para panglima kodam dan komandan kodim juga duduk sebagai anggota dewan penasihat atau dewan pertimbangan dalam kepengurusan Golkar di daerah. Memang ada ketentuan yang mengatur bahwa anggota ABRI yang masih aktif tak diperkenankan menjadi pengurus eksekutif Golkar. Tapi secara tak langsung sebenarnya ABRI adalah sumber kader Golkar yang potensial. Lihat saja pengurus DPP Golkar hasil munas yang lalu. Di situ Brigjen. M. Soegeng Wijaya, bekas Kepala Pusbintal ABRI yang kemudian jadi anggota F-ABRI, terpilih sebagai salah satu ketua. Temannya, Brigjen. dr Suhadi, juga bekas anggota F-ABRI, jadi wakil sekjen. Mereka segera dipensiunkan dari dinas aktif setelah terpilih oleh Munas Golkar. Hal yang mirip banyak terjadi di daerah. Misalnya Brigjen. Basofi Soedirman memasuki masa pensiun setelah terpilih sebagai Ketua DPD Golkar Jakarta. Artinya, seorang anggota ABRI bisa saja langsung dicalonkan untuk menjadi pengurus Golkar, tanpa harus terdaftar lebih dulu sebagai anggota organisasi itu. Padahal, untuk calon pengurus yang non-ABRI, Golkar punya ketentuan yang cukup ketat: untuk dicalonkan jadi pengurus DPP, seseorang harus sudah masuk Golkar selama 10 tahun. Sebuah sumber TEMPO di F-KP mengungkapkan, dari 299 anggota F-KP hasil Pemilu lalu, 106 di antaranya berasal dari keluarga besar ABRI, atau biasa disebut dari jalur A (singkatan dari ABRI). Dari jumlah itu terdapat 67 purnawirawan, 28 di antaranya sudah jadi anggota DPR periode sebelumnya di bawah plang F-ABRI. Pertalian yang begitu dekat antara Golkar dan keluarga besar ABRI sesungguhnya direkat oleh faktor sejarah. "Golkar itu lahir karena kreasi ABRI," kata Jenderal (Pur.) Soemitro. Kelahiran organisasi ini memang tak terlepas dari persaingan ABRI (terutama TNI-AD) dengan PKI di Front Nasional (FN) -- lembaga yang dibangun untuk mendukung aksi-aksi revolusioner di zaman Bung Karno. Sejumlah organisasi fungsional (ormas yang tak tergabung dalam partai politik), yang kebanyakan di antaranya direkayasa oleh ABRI, seperti SOKSI, MKGR, Kosgoro, terdesak karena tekanan PKI. Mereka sering dituduh anti-Nasakom (nasionalis-agama-komunis), ajaran Bung Karno yang harus diamalkan oleh semua orang. Keikutsertaan ABRI di FN juga ditentang PKI dengan dalih bahwa wadah ABRI adalah Nasakom. Pada saat seperti itulah ABRI mengajak organisasi fungsional, yang jumlahnya banyak tapi gurem, bergabung dalam satu wadah. Terbentuklah Sekber (sekretariat bersama) Golkar, Oktober 1964, yang menghimpun ratusan organisasi tadi, dengan bermacam warna dan aliran. Selain SOKSI, Kosgoro, atau MKGR, misalnya, HMI dan Muhammadiyah ikut bergabung. Ketuanya Brigjen. Djuhartono dari Staf Umum Angkatan Darat. Setelah G30S, pamor Sekber Golkar -- kemudian jadi Golkar -- melonjak dan terus menang dari pemilu ke pemilu. Kemenangan itu oleh banyak pengamat disebut tak lain karena dukungan ABRI. Malah dalam sebuah keterangannya Oktober 1980, Pangkopkamtib Sudomo sempat menegaskan ABRI sebagai anggota keluarga besar Golkar. Di lain pihak, PPP dan PDI, mengeluh akan posisi ABRI yang selalu mendukung Golkar. Angin tampaknya mulai bertiup ke parpol di saat menghadapi Pemilu 1987, ketika ABRI ingin tampil sebagai wasit. Misalnya, menjelang kampanye waktu itu, petugas ABRI menindak tegas orang Golkar yang sudah mulai berkampanye sebelum masanya. Ketika itu Jenderal L.B. Moerdani menjabat Pangab. Ada dugaan, sikap "netral" ABRI karena dua tahun sebelum Pemilu 1987 Undang-Undang Parpol/Golkar sudah disahkan. Dengan undang-undang itu, ketiga orpol telah sama menerima asas tunggal Pancasila. Sebelum itu cuma Golkar yang jelas menyatakan Pancasila sebagai asasnya. Artinya, dengan penerimaan asas tunggal, ancaman terhadap ideologi Pancasila dan stabilitas sudah berkurang. Dalam kata-kata Jenderal (Pur.) Soemitro, "Pancasila diterima sebagai asas tunggal. Sekarang tak ada satu pun kekuatan sosial politik di Indonesia yang tidak berasaskan Pancasila. Jadi, sumber ketegangan, sumber konflik yang penting telah terpecahkan oleh pemerintah Orde Baru." Ada juga yang mengatakan sikap netral ABRI karena Golkar sudah amat kuat. Ternyata, perolehan suara Golkar malah meningkat jadi sekitar 73% dibanding dalam pemilu sebelumnya, 1982, yang cuma 64%. Pendapat lain mengatakan, sikap ABRI itu untuk menyapih Si Beringin agar bisa tumbuh serdiri. Walaupun seperti dikatakan Sekretaris F-KP Krisantono, "Kemandirian Golkar itu bukan berarti lepas bebas dari ABRI. Hanya kami bisa membuat kebijaksanaan sendiri. Artinya, tidak didikte dan tak perlu bertanya setiap kali membuat keputusan." Bila ini benar, dinamika demokrasi mungkin lebih terasa. Soalnya, sebagai dua fraksi terbesar di DPR -- dari 500 kursi DPR, F-KP punya 299 dan F-ABRI l00 -- -bila F-KP dan F-ABRI selalu satu koor pada semua suara pemerintah, tentu saja dua pesaingnya tak bisa berkutik. Setidaknya, bila diamati di DPR belakangan ini, ada indikasi ke arah mencuatnya dinamika itu. Lihat saja ketika DPR membahas RUU tentang Prajurit ABRI, November 1987-Februari 1988. Banyak orang yang kaget ketika F-KP sering berbeda pendapat dengan F-ABRI dalam menanggapi RUU itu, sesuatu yang boleh dibilang tak pernah terjadi. Dalam pencalonan wakil presiden di SU MPR Maret 1988, sikap F-KP juga tak sama betul dengan F-ABRI. Ketika itu, F-KP mencalonkan Sudharmono sebagai wapres. F-ABRI tak memunculkan sebuah nama tapi belakangan hanya mendukung calon F-KP. Dalam kaca mata banyak pengamat politik, ini berbeda dengan SU-MPR lima tahun sebelumnya, ketika F-ABRI dan F-KP -- bersama Fraksi Utusan Daerah -- kompak mencalonkan Umar Wirahadikusumah sebagai wapres. Tapi dengan ini suasana gedung DPR/MPR di Senayan Jakarta terasa lebih bergerak pada minggu-minggu pertama Maret tiga tahun lalu, dibanding apa yang terjadi pada SU sebelumnya. Koran-koran dengan rajin meliput jalannya sidang, apalagi setelah J. Naro dari PPP tampil sebagai calon wapres, menyaingi Sudharmono. Di SU MPR ini pula terjadi apa yang disebut "peristiwa interupsi Ibrahim Saleh". Ketika itu, 9 Maret 1988, ketua sidang hendak mengetukkan palu penutup pada sidang paripurna pemilihan presiden. Tiba-tiba Brigjen. Ibrahim Saleh berteriak, " Interupsi, Pak Ketua ..., interupsi." Lantas tanpa permisi anggota Fraksi ABRI ini bergegas naik mimbar. Suasana sedikit kacau, tapi ucapan Ibrahim Saleh tak jelas terdengar. Konon, ia mengritik soal pencalonan wapres. Memang kasus interupsi ini tampaknya bukan beleid pimpinan F-ABRI. Beberapa bulan kemudian Ibrahim Saleh di-recall dari DPR. Sebenarnya sikap berusaha mandiri di Golkar sudah lama juga terdengar. Dalam Munas 1983, salah satu sasaran program umum Golkar adalah membangun organisasi yang lebih berakar ke bawah. Sejak itu pula berlaku sistem keanggotaan stelsel aktif ( bersifat perorangan), lengkap dengan kartu anggota sebagaimana layaknya sebuah parpol. Sejak itu pula pembinaan kader -- antara lain dikenal dengan karakterdes -- dari bawah kian gencar. Agar akar pohon itu kian kukuh, agaknya. Amran Nasution, Bambang Sujatmoko, Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini