Masuknya sejumlah purnawirawan ABRI ke parpol sebetulnya bukan hal baru. Tahun 1987, Mailoa sudah kampanye untuk PDI. Apa sebetulnya yang menggoda mereka? BAGI Brigadir Jenderal (Purn.) Josef Mathius Mailoa, 64 tahun, partai politik bukan barang haram. Maka, sejak 1982, empat tahun setelah pensiun, dia mencatatkan diri sebagai anggota PDI. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP). Pada Pemilu 1987, Mailoa sudah ikut terjun dalam kampanye. Mailoa juga mengaku siap berkampanye bagi PDI pada Pemilu 1992. "Itu kalau diminta oleh pengurus PDI," ujarnya. Ia menambahkan bahwa kegiatan politik ini dilakukannya bukan untuk mengincar kursi DPR ataupun DPRD. "Keinginan saya hanya agar tetap produktif di usia yang senja," tuturnya. Mengenai pilihannya yang jatuh pada PDI, menurut Mailoa, bekas Kepala Pusbang Intel TNI AD, adalah sikap dasar partai yang dirumuskan pada Kongres 1986: PDI mendukung dwifungsi ABRI. "Sebagai purnawirawan ABRI, saya mencatat salah satu nilai lebih PDI ada di situ," ujarnya. Selain itu, Mailoa juga memandang PDI punya komitmen tinggi atas perjuangan rakyat kecil, demokrasi, Pancasila, dan UUD 1945. Garis-garis perjuangan PDI itu, katanya, sejalan dengan ajaran-ajaran yang dia terima selama dinas di TNI AD: Saptamarga, Tri Ubaya Cakti, dan Sumpah Prajurit. "Parpol tidak membuat sikap saya sebagai pejuang prajurit meluntur," tambah Mailoa, yang kini tinggal di Cisarua, Bogor. Seorang purnawirawan lain, pensiunan kolonel TNI AD yang keberatan disebutkan namanya, dan kini bermukim di Cimahi juga mengaku jatuh cinta pada partai banteng. Maka, ia hadir memenuhi undangan silaturahmi yang diselenggarakan di rumah Ketua Umum PDI Soerjadi di Jakarta, pekan lalu. "Saya memang simpatisan PDI," ujarnya. Namun, sampai awal pekan ini, ia masih menggantung niatnya untuk resmi jadi anggota PDI. "Saya masih bimbang," ujarnya. Kebimbangannya: pada satu sisi ia ingin menyalurkan aspirasinya lewat PDI, tapi di sisi lain ia juga terpanggil oleh imbauan almamater agar tetap tinggal dalam lingkungan keluarga besar Golkar-ABRI. "Saya masih akan berunding dengan kawan-kawan simpatisan PDI di Bandung. Nanti kami akan mengeluarkan pernyataan bersama," ujarnya. Ia, seperti juga Mailoa, berpendapat masuk parpol tak berarti karakternya sebagai pejuang prajurit mulai tererosi. "Saya masih tetap menjunjung tinggi Saptamarga, Pancasila, dan UUD 1945," katanya. Lalu, mengapa pilih PDI? "Sebagai pejuang, saya ingin membantu yang lemah," ujar pensiunan yang dua buah gigi depannya telah tanggal itu. "Lagi pula, tidak ada aturan tertulis bahwa setiap purnawirawan harus menyalurkan aspirasinya lewat Pepabri." Panggung politik bagi purnawirawan di atas juga bukan tempat mencari jabatan dan kekayaan -- baik sebagai anggota DPR maupun untuk mencari lubang bisnis. "Walau hanya seorang pensiunan, secara materi saya merasa cukup," katanya. Partai baginya hanya merupakan sarana perjuangan. Bagi Brigjen. Polisi (Purn.) K.H. Hasbullah Bakry, masuk parpol adalah upaya merintis karier politik. Maka, ia masuk PDI setahun sebelum Pemilu 1987, dan meninggalkan Golkar. "Di PDI, saya dijanjikan bisa menjadi anggota DPR Pusat," kata bekas Kepala Pembinaan Kerohanian Mabes Polri yang berkampanye sampai ke 10 provinsi. Harapan yang diberikan PDI pada Hasbullah memang meyakinkan: calon dengan nomor urut satu pada daftar calon anggota DPR untuk daerah pemilihan Jambi. Tapi, perolehan suara PDI di Jambi sangat minim sehingga tak satu kursi pun diperoleh. Hasbullah pun gagal jadi anggota DPR. Bahkan untuk menjadi anggota MPR pun ia tak mendapatkan tempat. Hasbullah kecewa. Sebab, selama masa kampanye itu, ia harus merelakan uang pribadinya terkuras. Lebih dari itu, banyak undangan ceramah agama yang tak bisa dilayaninya. "Saya jadi seperti meninggalkan umat," katanya. Mengenai kegagalannya meraih kedudukan di PDI, menurut Hasbullah, ada arus di tubuh partai tersebut yang menolak dirinya duduk pada posisi penting. Penolakan itu katanya lebih lanjut, bersumber pada alasan-alasan yang bersifat primordial. Maka, empat hari sebelum anggota DPR/MPR hasil Pemilu 1987 dilantik, Hasbullah keluar dari PDI, lalu kembali ke Golkar. Masih berniat jadi anggota DPR untuk wakil Golkar? "Kalau disuruh saya mau," katanya terus terang. Di antara purnawirawan yang ke kandang banteng, ada pula yang masuk karena tarikan primordial. "Ayah saya, ibu saya, dan kakak saya dulu orang nasionalis, PNI. Jadi, saya merasa dekat ke PDI," kata seorang pensiunan perwira menengah TNI AD lain yang kini bermukim di Jakarta. "Lagi pula, peran ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator saya pikir bisa juga dijalankan lewat parpol," katanya. "Karena semua orpol sudah berdasarkan Pancasila, saya pikir saya tak melanggar sumpah prajurit." Perwira menengah yang juga enggan dikutip namanya itu mengaku tak berpikir soal jabatan partai. "Pokoknya, saya siap membantu banteng yang sekarang ringkih," katanya. Menyeberangnya purnawirawan ke kelompok non-Golkar, dalam pandangan Mayjen. (Purn.) Rais Abin, bekas Panglima Pasukan PBB di Timur Tengah, gara-gara tidak puas dengan keadaan. Ketidakpuasan itu, katanya, bisa berpangkal dari soal penghasilan, dan bisa juga dari soal gengsi, jabatan. Dari soal materi, kata Rais Abin, penghasilan purnawirawan jauh dari istimewa. Pensiunnya sebagai mayor jenderal hanya Rp 270.000 per bulan. Padahal, agar tetap bisa tampil di permukaan, purnawirawan, terutama perwira tinggi dan menengah, harus ikut terjun dalam kegiatan-kegiatan sosial. "Dan itu makan biaya besar," tambahnya. Maka, purnawirawan yang tak punya modal, menurut Rais Abin, terpaksa tenggelam. Nasib serupa juga dialami mereka yang tidak punya jabatan di sipil. "Pendek kata, mereka yang tak punya sambilan tentu akan kedodoran," katanya. Atas dasar itulah Rais Abin menganggap ketidakpuasan tersebut wajar saja. "Penyeberangan" sejumlah purnawirawan ke parpol di mata Rais Abin lebih sebagai masalah pribadi daripada soal ideologis. Namun, Mailoa menolak jika perjuangannya dikatakan hanya berangkat kebutuhan perut dan gengsi. Ia, menurut pengakuannya, justru merelakan sebagian tanahnya dari 2.000 m2 yang dimilikinya di Cisarua dipakai untuk TK Melati. Orangtua murid pada TK ini hanya dipungut uang pangkal Rp 30.000 -- sudah termasuk untuk dua setel seragam dan uang sekolah bulan pertama -- itu pun boleh dicicil selama 10 bulan. Ia menyebut itu sebagai salah satu bentuk perjuangan yang bisa dilakukan di usia senjanya. Ternyata, perjuangan itu tidak selalu harus lewat partai, kan? Putut Trihusodo, Liston Siregar, dan Iwan Qadar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini