Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sabotase Pendidikan Lewat Perpeloncoan

30 mahasiswa baru Universitas Brawijaya pingsan saat gladi bersih ospek. Mengapa perpeloncoan diyakini merugikan pendidikan?

17 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peserta orientasi pengenalan kampus (Ospek) di Jakarta, 2006. Dokumentasi TEMPO/Zulkarnain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kabar 30 mahasiswa baru Universitas Brawijaya Malang pingsan saat gladi bersih ospek kembali memantik perdebatan soal perpeloncoan di perguruan tinggi.

  • Sebagian kalangan mempertahankan ospek atau bentuk-bentuk lain perpeloncoan dengan berbagai dalih.

  • Pengajar Universitas Pembangunan Nasional

Sejumlah kalangan menganggap bahwa perpeloncoan merupakan hal wajar. Selain atas dalih tradisi, para pembenarnya menganggap bahwa perpeloncoan merupakan momen pembentukan mental dan solidaritas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faktanya, perpeloncoan justru memiliki dampak destruktif. Sebagai praktisi pendidikan sekaligus pegiat ilmu sosial, saya tertarik mengulas bagaimana komunitas ilmiah sejauh ini memandang perpeloncoan. Berikut ini empat fakta terkait dengan perpeloncoan dan bahayanya terhadap proses pendidikan kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahasiswa baru mengikuti masa Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek) di Banten, Dokumentasi TEMPO/STR/Marifka Wahyu Hidayat

1. Perpeloncoan menghilangkan rasa aman

Perpeloncoan merupakan hal yang bertentangan dengan keamanan manusia. Secara definisi, keamanan manusia merupakan pendekatan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan keberlangsungan hidup pada tingkat individual. Isu keamanan manusia adalah konsep yang melampaui kerangka keamanan tradisional yang umumnya berkutat pada isu perang-damai.

Dengan demikian, keamanan manusia berfokus pada martabat, kesejahteraan, serta hak asasi individual dan mencegah apa pun yang dapat mengancamnya. Dalam hal ini, mendapatkan pendidikan yang layak juga termasuk di antaranya.

Dalam sebuah pidato, Vernor Munoz Villalobos, Pelapor Khusus Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk bidang pendidikan, mengatakan lingkungan pendidikan yang aman merupakan sebuah hak asasi.

Namun sayangnya, perpeloncoan justru menghambat pemenuhan hak tersebut. Praktik ini mengakibatkan peserta didik kesulitan mendapatkan lingkungan yang aman dan justru diliputi rasa takut dalam proses belajar. Rasa takut ini bisa muncul dari pengalaman menjadi korban atau dari menyaksikan teman menjadi korban.

Riset Maria Lima dkk, tim peneliti kesehatan mental dari Sao Paulo University, Brasil, turut mendukung argumen ini. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan hubungan antara pengalaman dipelonco dan kecenderungan untuk mundur dari perkuliahan. Kecenderungan tersebut muncul dari perasaan tak nyaman setelah mengalami perpeloncoan.

2. Perpeloncoan membuat mental runtuh, bukan tangguh

Salah satu dalih yang biasa dipakai untuk membenarkan perpeloncoan adalah melatih ketangguhan mental. Pendukung dalih ini beranggapan, semakin peserta terbiasa ditekan dalam proses perpeloncoan, semakin kuat pula mentalnya.

Faktanya, studi dari Anne Mercuro, peneliti sosiologi dari Ramapo College, Amerika Serikat, justru menyimpulkan bahwa perpeloncoan berdampak negatif pada kepercayaan diri remaja. Penelitian ini menyurvei sekelompok siswa di Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa siswa yang mengalami perpeloncoan cenderung memiliki kepercayaan diri lebih rendah dibanding yang tak mengalaminya.

Selain itu, penelitian milik Caroline Keating, profesor psikologi asal Colgate University, Amerika Serikat, juga membantah bahwa perpeloncoan melatih ketangguhan mental. Penelitian ini menemukan bahwa perpeloncoan cenderung menghasilkan mentalitas dependen. Mahasiswa yang mengalami perpeloncoan akan cenderung bergantung pada validasi senior mereka dan kurang berani mengambil keputusan.

Keating juga menggarisbawahi bahwa sikap kooperatif korban dalam perpeloncoan bukanlah ketangguhan mental, melainkan kerapuhan terselubung. Sebab, korban, dalam upaya untuk dapat diakui seniornya, akan berusaha mencari justifikasi terhadap perpeloncoan sehingga lama-kelamaan kebal terhadap segala penyimpangan yang dialami. Hal ini justru berbahaya dalam proses perkembangan karakter karena akan berujung pada normalisasi kekerasan.

Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek) di Jawa Barat, 2006. TEMPO/Gunawan Wicaksono

3. Perpeloncoan menghalangi solidaritas tim

Dalih lain yang sering dipakai adalah perpeloncoan dapat meningkatkan solidaritas. Para pendukung dalih ini berasumsi bahwa perpeloncoan diperlukan untuk mengakrabkan hubungan antar-mahasiswa.

Namun klaim tersebut juga tak didukung oleh bukti kuat. Di antara riset-riset yang menyanggah klaim tersebut, salah satunya adalah milik Liesbeth Mann dkk dari University of Amsterdam, Belanda. Penelitian ini menunjukkan bahwa perpeloncoan justru menurunkan rasa kepemilikan korban terhadap komunitas barunya.

Penelitian Hein Lodewijkx dan Joseph Syroit, pakar ilmu pendidikan asal Utrech University, Belanda, juga menyimpulkan hal serupa. Menggunakan studi kasus dari dua kelompok mahasiswa: satu mengalami masa orientasi dengan perpeloncoan dan satu lagi tidak, didapatkan data bahwa tak ada perbedaan solidaritas yang signifikan dari keduanya. Alih-alih, ditemukan bahwa kelompok yang mengalami perpeloncoan justru menunjukkan gejala frustrasi dan depresi selama masa orientasi.

Selain itu, penelitian dari University of Southern Alabama, Amerika Serikat, menemukan bahwa perpeloncoan justru berdampak negatif pada kekompakan tim. Penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan inklusif, seperti bakti sosial dan karyawisata, justru berdampak positif bagi kohesi junior-senior.

4. Perpeloncoan menurunkan performa akademik

Tak hanya berdampak jangka panjang pada perkembangan karakter, perpeloncoan juga memiliki dampak langsung pada performa akademik.

Dalam proses akademik yang idealnya memupuk kreativitas dan inovasi berpikir, perpeloncoan justru memiliki dampak destruktif. Ia menciptakan mentalitas “yes-man” dan kepatuhan mutlak terhadap hal-hal irasional sekalipun. Trauma yang ditimbulkan oleh perpeloncoan juga berpotensi membuat murid takut berpartisipasi aktif di kelas.

Sebuah survei dari Joseph Groah, peneliti Naval Postgraduate School California dari Amerika Serikat, melaporkan, dari 100 responden kalangan siswa setingkat SMA di Amerika Serikat yang pernah mengalami perpeloncoan, 21 orang melaporkan adanya penurunan nilai di sekolah.

UNESCO (2019) melalui laporannya yang berjudul "Behind the Numbers: Ending School Violence and Bullying" pun menyampaikan hal yang sama. Disebutkan bahwa murid yang mengalami perundungan, seperti perpeloncoan, cenderung memiliki hasil belajar lebih buruk.

Turunnya performa akademik dalam kasus perpeloncoan tentu saja bukan tanpa alasan. Sebesar 71 persen korban perpeloncoan mengaku mengalami gejala-gejala negatif. Di antaranya, kurang tidur, depresi, memburuknya relasi dengan keluarga, serta trauma terhadap kelompok pelaku.

---

Artikel ini ditulis oleh Ario Bimo Utomo, lektor Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus