Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAKAR hukum dan pegiat demokrasi menilai agenda perubahan sejumlah undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat melenceng dari substansi. Mereka menilai usulan revisi Undang-Undang Kementerian Negara, Undang-Undang TNI, dan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia lebih ditujukan untuk kepentingan individu ataupun kelompok elite politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, mengatakan tidak ada pertimbangan yang mendesak untuk merevisi Undang-Undang Kementerian Negara. Dia menilai undang-undang tersebut sudah cukup bagus. Terbukti, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo dapat menjalankan pemerintahan selama dua periode tanpa mempersoalkan jumlah kementerian di kabinetnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebetulnya tidak ada perbaikan yang signifikan yang perlu dilakukan terhadap UU Kementerian Negara,” kata Feri, Selasa, 11 Juni 2024.
Ia berpendapat, agenda perubahan Undang-Undang Kementerian Negara sarat kepentingan politik pemerintahan Prabowo Subianto mendatang. Sebab, dalam draf revisi yang dirumuskan Badan Legislasi DPR, mereka hanya mengubah Pasal 15 yang mengatur jumlah kementerian maksimal 34. Baleg mengusulkan jumlah kementerian di kabinet tak dibatasi, tapi diserahkan ke presiden untuk ditentukan sesuai dengan kebutuhannya.
Indikasi revisi untuk kepentingan pemerintahan Prabowo tersebut sudah terasa sejak awal. Sebab, kubu Prabowo-Gibran Rakabuming Raka—pasangan calon presiden dan wakil presiden pemenang pemilihan presiden 2024—sejak awal menghendaki penambahan jumlah kementerian di pemerintahannya.
Prabowo-Gibran juga memiliki koalisi partai politik yang gemuk. Mereka didukung tujuh partai di Koalisi Indonesia Maju saat pemilihan presiden 2024. Ketujuh partai politik itu adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Gelora, Partai Bulan Bintang, dan Partai Solidaritas Indonesia. Seusai pemilihan presiden, Prabowo-Gibran mendekati sejumlah partai lagi untuk bergabung ke pemerintahannya, di antaranya Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan PDI Perjuangan.
Baca juga:
Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, sependapat dengan Feri. Ia mengatakan, jika DPR tetap berkukuh merevisi UU Kementerian Negara, ketentuan dalam Pasal 15 harus tetap memastikan jumlah kementerian. Tujuannya agar presiden tidak sesukanya menambah jumlah kementerian yang bakal berimbas pada pembengkakan anggaran.
“Efisiensi jumlah kementerian lebih substansial ketimbang mengubah pasal dengan diksi yang multitafsir,” kata Herdiansyah.
Rapat paripurna DPR ke-18 Masa Persidangan V dengan agenda tiga revisi undang-undang tentang Kementerian Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia di Kompleks Parlemen, Jakarta, 28 Mei 2024. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Mei lalu, Baleg menyepakati revisi UU Kementerian Negara menjadi usul inisiatif DPR. Agenda revisi ini bersamaan dengan keputusan DPR dan pemerintahan Jokowi menyepakati hasil pembahasan perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Hasil revisi undang-undang ini menguntungkan Anwar Usman—paman Gibran—dan Arief Hidayat. Keduanya anggota Mahkamah Konstitusi.
Pada saat yang sama, Badan Legislasi menggodok draf revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia. Perubahan kedua undang-undang ini juga menjadi usul inisiatif DPR.
Dalam draf revisi UU TNI, Baleg mengusulkan perubahan dua pasal, yaitu Pasal 47 dan 53. Pasal 47 ini memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil. Prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil di semua kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden. Lalu Pasal 53 mengatur penambahan batas usia pensiun perwira TNI menjadi 60 tahun.
Revisi UU Polri berisi perubahan terhadap 17 pasal dan penambahan dua pasal baru. Pasal-pasal itu di antaranya mengatur penambahan tugas dan kewenangan kepolisian serta menambah batas usia pensiun perwira polisi menjadi 60-65 tahun.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya, mengatakan tidak ada alasan yang menguatkan untuk merevisi UU TNI. Ia menilai muatan revisi yang disodorkan DPR justru menghidupkan dwifungsi TNI dengan memperluas kewenangan TNI di jabatan sipil.
Dimas menilai revisi UU TNI tidak mendesak dilakukan. Saat ini, kata dia, DPR dan pemerintahan Jokowi semestinya memprioritaskan perubahan Undang-Undang Peradilan Militer. Alasannya, banyak kejahatan yang dilakukan prajurit TNI tidak disertai dengan penghukuman efektif dan setimpal yang diadili melalui mekanisme peradilan militer.
“UU Peradilan Militer saat ini hanya menjadi sarana impunitas bagi prajurit yang melakukan tindak pidana atau pelanggaran hak asasi manusia,” kata Dimas.
Personel TNI di kompleks Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Peneliti dari Imparsial—lembaga pemantau pelanggaran HAM—Hussein Ahmad, mengatakan Pasal 47 dan 53 UU TNI itu tak perlu diubah. Usulan perubahan terhadap Pasal 47 itu justru makin melonggarkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil.
Hussein justru menyarankan DPR dan pemerintah memperjelas tugas perbantuan prajurit TNI di ranah sipil. Misalnya, mendetailkan sejauh mana TNI dapat terlibat di ranah sipil, konteks keterlibatannya, berapa lama mereka diperbantukan, dan sumber anggarannya.
Hussein mencontohkan ketika prajurit menjadi guru atau tenaga medis di lapangan. Meski mempunyai kapabilitas, kata dia, mereka tidak transparan dalam penggunaan anggaran kegiatan. “Lalu bagaimana kalau terjadi kesalahan dalam pelaksanaan tugas tersebut? Siapa yang bertanggung jawab?” kata Hussein.
Sesuai dengan catatan Imparsial, terdapat lebih dari 71 kerja sama atau MoU antara TNI dan lembaga sipil. Kerja sama itu memungkinkan TNI melakukan tugas-tugas selain perang. Tugas selain perang ini berpotensi melanggar UU TNI. “Seharusnya itu tidak boleh,” kata Hussein.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur juga menilai kedua pasal dalam UU TNI tersebut tidak mendesak untuk diubah. Sebaliknya, substansi perubahan kedua pasal yang diusulkan oleh DPR justru mencederai reformasi. “Kalau peran TNI diperluas ke jabatan sipil, sama saja DPR memberikan karpet merah bagi TNI melakukan dwifungsi,” kata Isnur.
Isnur juga menyoal usulan perubahan sejumlah pasal dalam UU Kepolisian. Ia berpendapat penambahan tugas dan kewenangan kepolisian yang tertuang dalam Pasal 14, 15, 16, 16A, dan 16B draf revisi UU Polri justru menjadikan kepolisian lembaga superbody. Kewenangan baru itu juga berpotensi membuat polisi bertindak sewenang-wenang.
Ia mencontohkan Pasal 14 ayat 1 huruf o dalam draf revisi yang membolehkan kepolisian melakukan penyadapan. Lalu Pasal 16 ayat 1 huruf q yang memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber demi tujuan keamanan dalam negeri.
“Dalam konteks penegakan hukum di ruang siber, kepolisian semestinya menjadi lembaga yang melakukan penyelidikan dan penyidikan,” kata Isnur. “Ini juga akan menabrak ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik.”
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengkritik penambahan kewenangan kepolisian untuk memeriksa aliran dana dan pengendalian informasi, serta menangani tindak pidana berdasarkan restorative justice. Dia mengatakan penanganan tindak pidana berdasarkan restorative justice idealnya dilaksanakan secara bersamaan antara kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. “Kewenangan ini amat potensial disalahgunakan,” kata Wahyudi.
Dia pun menyarankan DPR dan pemerintah tak merevisi UU Kepolisian dan UU TNI. Sebab, ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut masih dianggap relevan hingga saat ini.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan semua usulan perubahan yang disampaikan oleh DPR belum bersifat final. Alasannya, saat ini DPR masih menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari Presiden. “Ini sebatas usulan, tidak langsung disetujui,” kata Baidowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Eka Yudha Saputra dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.