Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sangu Sebelum Pensiun?

Sebelum lengser, Jenderal Bimantoro mengebut proyek pertokoan Rp 140 miliar. Yang digandengnya pengusaha bermasalah.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIBUK betul Jenderal Surojo Bimantoro begitu akan memasuki masa pensiunnya. Pada 3 November nanti, ia genap berusia 55 tahun. Jika angin politik tak berubah arah, ketika itulah ia harus menyerahkan tongkat komando Kepala Kepolisian RI. Dan sebelum saat itu datang, ia langsung membuat ancang-acang. Tak cuma memutasi 50 pemegang pos strategis di pucuk korps baju cokelat itu, Bimantoro juga dengan tangkas melakukan sejumlah "terobosan bisnis". Gebrakan bisnisnya berupa sebuah proyek pembangunan pertokoan mahal di atas tanah milik Polri di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Direncanakan rampung 10 bulan mendatang, Grand Panglima Polim—begitu namanya—akan berdiri dengan 70 unit ruko. Akan disewakan dengan tarif Rp 1,5 miliar-2,5 miliar per unit per tahun, pem-bangunannya sendiri bakal melahap dana tak kurang dari Rp 140 miliar. Sejak 1954, lahan 8.000 meter persegi ini merupakan perumahan perwira tinggi polisi. Gagasan menjadikannya sebuah sentra bisnis, kata seorang jenderal pensiunan, muncul pada 1993 di masa Kapolri Kunarto. Tanah lalu dibebaskan dengan memberikan dana kompensasi Rp 111 juta untuk tiap keluarga. Tapi, saat krisis moneter menghadang, rencana pun menjadi lama tersendat. Setahun lalu, Yayasan Polri sempat mengusulkan supaya areal ini dilimpahkan saja kepada mereka untuk dikelola sendiri. Tapi tiba-tiba datang keputusan lain: lahan diserahkan kepada PT Kartika Dirgantara Perkasa, perusahaan milik Jimmy Widjaya, bos Grup Waringin. Adakah peran Bimantoro di sini? Yang nyata, hanya dua bulan sebelum Bimantoro pensiun, 24 Agustus kemarin, areal itu pun dikosongkan dengan paksa. Puluhan petugas provos, intel, dan reserse dikerahkan untuk mengusir lima keluarga yang masih tinggal di sana. Buntutnya, protes para penghuni yang digusur mencuatkan kasus ini ke permukaan. Berbagai suara miring pun melengking menuding ke arah Bimantoro. Dia dituding sedang mengejar setoran di akhir masa jabatannya. "Biasalah, tiap kali menjelang pensiun kan pasti banyak proyek yang tiba-tiba diteken Kapolri," kata purnawirawan itu, tersenyum penuh arti. Penentuan pemenang proyek pun dipersoalkan lantaran dinilai tak melalui tender dan cuma berlandaskan "koncoisme". Jimmy dikenal luas sebagai sobat lama Bimantoro sejak ia menjabat Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Nada minor itu dibantah Kepala Bidang Penerangan Umum Polri, Ajun Komisaris Besar Prasetyo. Menurut dia, proyek tersebut direalisasi semata-mata karena menguntungkan Polri. Tanah tak dijual, tapi cuma disewakan selama 25 tahun. Hasilnya akan digunakan untuk pengembangan asrama Brimob di Kelapadua, Jakarta Timur. Ia juga menyangkal anggapan bahwa proyek ini dikebut Bimantoro di akhir masa jabatannya. Menurut dia, izin pemanfaatan dari Menteri Pertahanan sudah turun sejak 1996. Tapi masih ada tanda tanya lain. Soalnya, Jimmy, anak sulung dari istri kedua konglomerat Eka Tjipta Widjaya, ternyata "pengusaha bermasalah". Pemeriksaan khusus Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan, Maret 2000 lalu, pernah menyimpulkan keterlibatannya dalam kasus korupsi yang menyeret mantan Kapolri Roesmanhadi. Kasusnya menyangkut patgulipat pengadaan 313 mobil Timor dan penyelewengan anggaran pembangunan markas Komando Polri, yang ditaksir merugikan negara Rp 4 miliar lebih. Sudah lama, memang, Jimmy malang-melintang di Jalan Trunojoyo, markas Kepolisian RI. Salah satu proyek keceh duit yang dikuasainya sejak 1992 hingga sekarang adalah komputerisasi surat izin mengemudi, yang dinilai sangat merugikan korps baju cokelat. Ia masuk ke bisnis ini dengan menggandeng Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung mantan presiden Soeharto, dan mantan Kapolri Dibyo Widodo. Soal serupa sebenarnya juga menimpa sebuah proyek lain—yang luput dari perhatian. Letaknya di Jalan Dharmawangsa, cuma sekitar 100 meter dari lokasi Grand Panglima Polim. Lebih dulu dibangun, bangunan yang mulai berbentuk itu dinamai Dharmawangsa Square. Di sini, kata seorang pengusaha, polisi menggandeng seorang cukong lain yang juga punya reputasi menarik. Dialah Aguan alias Sugianto Kusuma, kongsi dagang Tommy Winata, bos Artha Graha yang dikenal "sangat berpengaruh" di kalangan tentara dan polisi. Tak ada polisi yang tak kenal namanya. Dan tak ada penjudi Jakarta yang tak ingat kesuksesannya membandari Porkas dan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Sayang, Jimmy dan Aguan tak bisa dimintai komentarnya. Soal-soal begini biasanya lenyap ketika pejabat bersangkutan mengeluarkan bantahan. Dan, seperti biasa, sejauh ini tak satu pun lembaga pemerintah tertarik mengusutnya. Karaniya Dharmasaputra, Rian Suryalibrata, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus