SEMINAR Seni Rupa di Yogya barusan itu diselenggarakan STS RI
sebagai sub-proyek pengembangan Institut Kesenian Indonesia
(IKI). Pemerintah sudah sejak 1971 merencanakan menggabungkan
akademi-akademi kesenian negeri menjadi satu institut. Menurut
Doddy Tisna Amidjaja, salah satu sebabnya "untuk
mengkordinasikan dan mengefisienkan biaya."
Tujuh perguruan tinggi kesenian akan tergabung dalam IKI:
Akademi Seni Tari Indonesia di Yogya, Denpasar dan Bandung,
Akademi Seni Karawitan Indonesia di Solo dan Padang Panjang,
Akademi Musik Indonesia di Yogya dan Sekolah Tinggi Seni Rupa
Indonesia Asri di Yogya. Tapi meski akan dijadikan satu, menurut
rencana, masing-masing akan tetap di tempatnya sekarang, dan
pusamya telah dipilih di Jakarta. Menurut Edhie Kartasubarna,
Kepala Proyek Pengembangan IKI: "Hal itu diharapkan agar
akademi-akademi itu tetap menghasilkan kesenian khas daerahnya.
Kecuali itu, kita juga tak mungkin mewujudkan satu kampus
komplit dalam waktu singkat. "
Dirjen Doddy, yang merasa mendapat "Warisan IKI" bercerita
"Pertama-tama mungkin yang harus dijelaskan ialah pemindahan
akademi kesenian itu dari Ditjen Kebudayaan ke Ditjen Pendidikan
Tinggi. Itu keputusan Menteri P&K lewat SK 20 Maret 1976. Dan
itu dilakukan untuk memperoleh corak universiternya. Nah, karena
sejenis, semuanya tentang kesenian, ada ide untuk digabung jadi
satu dengan nama Institut Kesenian Indonesia. Agar saling
membuahi. " Tapi, dengan masih mangkalnya akademi-akademi itu di
kota masing-masing, apakah saling membuahi itu bisa dicapai?
"Yang penting aspek polcynya. Kalau akademi-akademi itu berdiri
sendiri-sendiri sulit memandang masalahnya secara keseluruhan.
Dengan adanya IKI, itu gampang dilakukan. Tentu saja, kondisi
tersebar itu tidak ideal. Pusat ada di Jakarta, jurusan tersebar
di daerah. Jelas kalau belum ada akademi-akademi kesenian itu,
IKI akan lebih mudah diselenggarakan."
Dosen Seniman
Masalah lain yang timbul ialah soal dosen. Tapi ini bukan
masalah yang baru ada karena IKI. Tapi soal lama: tentang dosen
yang seniman. Dosen seniman itu memang ahli di bidangnya, tapi
ijasahnya biasanya hanya SD atau SLP saja. "Di perguruan tinggi
memang ada dua jenis pengajar: yang keilmuan dan yang
keahliannya diperoleh dari jalan non-formal. Ketika masih di
bawah Ditjen Kebudayaan itu sudah jadi persoalan. Tentu, kami
ingin mengangkat orang yang mendapat keahlian secara non-formal
itu sesuai dengan keahliannya. Ini memang tidak gampang," kata
Doddy. Atau menurut Edhie Kartasubarna: "Soal pengajar yang
seniman memang sedang dicari kriterianya. Akan dimasukkan ke
mana mereka. Ada yang usul disamakan saja dengan sarjana. Tapi
ada yang protes. "
Di ASKI Solo, yang berdiri sejak 1964, pada 1974 ketika Sedyono
Humardani menjabat direkturnya sudah memperjuangkan soal dosen
seniman itu. Olehnya diusulkan supaya mereka dimasukkan saja ke
golongan III. Sampai sekarang memang belum dikabulkan.
Barangkali masih menunggu terwujudnya IKI.
Lalu, tentang IKI itu, apakah para direktur akademi kesenian
sudah menyetujuinya? Kata Abdul Kadir, Ketua STSRI: "Itu sudah
jadi keputusan pemerintah, jadi ya, tentu Asri setuju saja.
Bagaimanapun, toh akan mengundang makin terasa? "Tidak harus
seperti yang dilakukan Sardono dengan mengtungkan Asri secara
oranisatoris." Kata Soedarsono, direktur ASTI Yogyakarta:-
"Pokoknya untungnya banyak. Salah satunya adalah tentang
pengadaan dosen. Masalah pengelolaan anggaran menjadi jelas,
status lulusan juga jadi jelas. Sekarang ini 'kan namanya
akademi, jadi meluluskan sarjana tidak boleh. Padahal dibutuhkan
di sini. Dengan IKI akan ada sarjana tari."
Itu sejalan dengan yang dikatakan Suhastjarja, Ketua AMI Yogya:
"Jadi nanti bisa meluluskan sarjana. Program seniman tetap
jalan. Kalau sekolah kesenian tidak menghasilkan seniman 'kan
janggal. Untungnya lagi, fasilitas penelitian akan bertambah.
Juga kerja sama bisa lebih ditingkatkan."
Menurut Sedyono Humardani, itu memang banyak untungnya. Tapi
kalau berbicara soal mutu, katanya "tergantung anggaran
nantinya." Dan apakah IKI nantinya akan mempengaruhi
perkembangan kesenian kita, misalnya saling pengaruh antara
cabang keseniadakan pertunjukan yang interdisipliner sifatnya
(Yellow Submarine) karena adanya LPKJ yang mempunyai jurusan
bermacam cabang kesenian," jawab Sedyono. Yellow Submarine
adalah sebuah pertunjukan panggung yang melibatkan banyak cabang
kesenian seni tari, drama, film, musik, seni rupa dan pembacaan
puisi, yang dipentaskan pertama kali sebagai ucapan perpisahan
kepada Ali Sadikin menjelang turun sebagai Gubernur DKI.
Lalu kapan IKI yang sudah banyak disebut-sebut ini akan
terwujud? Menurut Menteri P&K Daoed Joesoef baru-baru ini,
perguruan tinggi negeri yang ke-41 itu akan segera diwujudkan.
Dia tak bilang kapan ancer-ancernya. Tapi kata Dirjen Doddy,
"perlu ada seminar atau lokakarya secepatnya untuk membicarakan
segala sesuatunya." Dan salah satunya adalah Seminar Seni Rupa
kemarin itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini