GONG penjelasan Tes Diagnostik diberikan Menteri Keuangan Ali
Wardhana pekan lalu di DPR. Menjawab pemandangan umum anggota
DPR atas nota keuangan & RAPBN '79/80, pemerintah tidak
sependapat kalau tes diagnostik dianggap tidak bermanfaat,
seolah membuang biaya dan enerji. Hasil nasional tes itu
sendiri, baru Maret diketahui. Tapi sejak awal Januari di SD
sampai SLTA program pengayaan murid sudah diselenggarakan. Untuk
kedua kalinya April nanti, dengan mengambil contoh beberapa
sekolah tes diagnostik akan diberikan lagi. Bukan hanya murid
sasaran tes itu, "guru juga, untuk memperbaiki metode
mengajarnya," kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Prof.
Dardji Darmodihardjo.
Perpanjangan tahun ajaran '78/'79 memang banyak merepotkan guru.
Mereka dihadapkan pada pengisian waktu perpanjangan dengan 4
tugas pokok, Perbaikan dan pengayaan kemampuan murid, pendidikan
ketrampilan, pemantapan pengajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) serta kegiatan pembinaan generasi muda. Menjabarkan
program ketrampilan diselaraskan dengan kemampuan sekolah
ternyata banyak memojokkan para Kepala Sekolah. SMA Negeri XXXV
Jakarta misalnya, mendapat kritik tajam dari beberapa orang tua
murid -- lewat surat pembaca di koran. Mereka merasa aneh dengan
kewajiban maniliki SIM A bagi setiap murid sebagai salah satu
syarat menempuh Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA). Bukan
mustahil Kepala Sekolah -- Anwar Ali Akbar dituduh menerima
sesuatu dari sebuah perusahaan mengemudi mobil. Untung dalam
surat berikut, 22 Januari, kepada orang tua ia menjelaskan, hal
itu semata-mata merupakan salah satu aktifitas dari pengisian
program ketrampilan.
"Saya memang belum mendekati orang tua, membicarakan pengisian
program ketrampilan ini," kata Anwar. "Padahal saya yakin biaya
kursus mengambil SIM A lebih murah dibanding kursus mengetik."
Gempur
Tapi Anwar yang rupanya 'digempur' Kanwil P & K Jakarta, mundur
teratur. Dalam suratnya kemudian, ia maiah membatalkan sama
sekali kewajiban memiliki SIM A itu. Berbeda dengan rekannya
Satmoko Darmowisastro -- Kepala SMA Negeri IV Surabaya, yang
sedang berpikir optimis ke arah serupa.
Satmoko tertarik dengan kenyataan, 90% dari 1.900 muridnya
memiliki sepeda motor. Tapi baru 50% di antaranya yang punya
pegangan SIM C. Hal serupa sebenarnya juga terdapat di SMA
Negeri XXXV Jakarta, banyak yang punya mobil, namun SIM A belum
punya. Bedanya, Satmoko mengambil inisiatif sendiri, akan
mendaftarkan siswanya secara kolektif buat memperoleh SIM C.
"Saya yakin semua siswa saya akan mau, karena mereka toh hampir
semuanya telah memiliki sepeda motor," kata Satmoko kepada
pembantu TEMPO Ibrahim Husni.
Buat SMA Negeri yang mendapat dukungan dan pengertian dari para
orangtua yang tergabung di BP3, pengisian pendidikan ketrampilan
tidaklah memusingkan. Seperti SMA Negeri Xl Jakarta, yang
memilih fotografi, elektronika, dan tata buku -- seperti banyak
dipilih SMA Negeri lain untuk pendidikan ketrampilan. Karena
dana sekolah terbatas, muridlah yang membeli sendiri bahan baku.
"Mereka menanggung per kelompok, sehingga terasa ringan," kata
JCH Lesilolo -- Kepala Sekolah SMA Negeri XI itu. Dengan hasil
tes diagnostik antara 60-65% baik, para murid kelas III,
dipusatkan perhatiannya menghadapi tes Perguruan Tinggi.
Jelas yang tak enak menerima perpanjangan itu adalah sekolah
swasta. Dana terbatas, mereka harus jungkir balik
menyelenggarakan pendidikan ketrampilan. Sebagai yang dialami
SMA Muhammadiyah di Jl. Garuda Jakarta, yang hanya bisa menambah
ketrampilan murid Paspal dengan tambahan praktek di laboratorium
fisika, kimia, dan biologi, yang mepet itu. Murid bagian Sosbud
masih bisa ditolong kursus mengetik dan data buku, dengan 40
mesin tik yang dimiliki sekolah.
"Kalau anak-anak disuruh ambil fotografi, saya takut akan
membebani orang tua lagi," kata kepala sekolahnya -- Rasyid
Hamidi. Tapi belakangan ia mengeluh, "anak-anak setelah tes
diagnostik itu tampak enggan belajar. Sulit mengatasinya
meskipun mereka tak pernah absen masuk.
Kelambatan (slow down) murid di kelas yang terjadi di SMA
Muhammadiyah Jakarta, memang bukan gambaran umum. Yang
dikuatirkan para Kepala Sekolah, sebenarnya kelambatan para guru
di kelas, setelah para murid hanya diwajibkan membayar SPP 50%.
Akhir Januari lalu masih banyak para Kepala Sekolah cemas,
akankah honorarium guru dari SPP yang Rp 540/jam itu juga
dikurangi 50%?
"Tidak," kata Ending Karnadi Kepala Bagian Organisasi dan
Penerangan Kanwil Dep. P & K Jakarta. "Prosentasi untuk
honorarium guru dari SPP akan ditambah."
Biasanya guru akan mendapat 27% dari 100% hasil SPP sekolah.
Kini setelah SPP berkurang -- tinggal 50%, untuk kesejahteraan,
guru akan mendapat 34%-nya. "Jadi untuk guru tetap, tapi untuk
sektor penyelenggaraan sekolah berkurang, dan P & K akan mendrop
subsidi," kata Ending.
Sekretaris Jenderal Departemen P & K drs. T. Umar Ali
membenarkan. Sampai semester pertama '79 ini Departemen P & K
menyediakan dana Rp 1,6 milyar untuk mensubsidi dana
penyelenggaraan sekolah yang berkurang tadi. Ini dengan
perhitungan setiap anak SLTA akan memerlukan Rp 700, dan anak
SLTP memerlukan Rp 500, semuanya sampai bulan Juli. "Dananya
diambil dari anggaran tahun-tahun lalu yang hampir hangus," kata
Umar Ali.
Cukup tak cukup untuk beli kapur dan kertas, setiap sekolah
harus pandaipandai memutar uang itu. "Pemerintah uangnya
sedikit. Kalau mampunya hanya satu sen, rakyat jangan minta
banyak, nanti gurunya takut," kata Dirjen PDM -- Prof. Darji
Darmodihardjo. "Pokoknya asal setiap anak tidak menghabiskan
kapur sedos sebulan, uang itu saya rasa cukup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini