Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sebelum kuku tikus menjadi tahi ...

Mei dan juni nanti sul-ut panen raya cengkih. untuk menyelamatkan petani dari ijon pemerintah mengeluarkan sk yang menetapkan buud/kud sebagai yang ber hak membeli cengkih petani. (dh)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK hanya MTQ ke-X yang bakal merepotkan Sulawesi Utara tahun ini. Tapi juga buah cengkeh. Sekitar Mei dan Juni nanti sebanyak 15.000 hingga 18.000 ton cengkeh harus diturunkan dari batangnya. Artinya urusan ini bakal menyangkut uang sebanyak Rp 60 milyar lebih. Begitu rupa ramainya nanti hingga panen raya cengkeh ini diperkirakan akan menyebabkan sekolah (dari segala tingkat), ABRI, pegawai pemerintah ataupun swasta harus diliburkan. Semua mesti dikerahkan untuk ramai-ramai memetik cengkeh. Jika tidak begitu, kata mereka, bunga-bunga cengkeh itu tak akan terpetik seluruhnya tepat pada waktunya. Tapi menjelang panen besar (yang 4 tahun sekali itu) ada juga kekhawatiran para petani. Sebelum bunga cengkeh muncul di sela daun, dalam bentuk yang lazim dinamakan "kuku tikus", lalu "tahi tikus" (sudah kering dijemur), harus ditempuh proses panjang. Ini tak sedikit menelan biaya. Para petani harus merapikan kebun, menyediakan tangga, tikar penjemur, tenaga-tenaga pemetik. Dan untuk semua ini diperlukan persediaan modal. Pertanyaan mereka: dari mana modal uang didapat? Sedangkan proses dari kuku tikus menjadi tahi tikus menuntut kesabaran waktu nyaris setahun? Untuk menadahkan tangan ke bank selama ini masih dianggap sebagai cara yang memakan hati. Prosedurnya dirasakan teramat berliku. Lalu muncullah "setan" lama di sela-sela pohon cengkeh itu: ijon, atau apapun namanya. Tapi toh para pengijon, hampir sepanjang sejarah, dianggap para petani cengkeh hampir sebagai pahlawan. Mereka selalu muncul tepat pada saat orang butuh. Surat perjanjian atau surat dalam bentuk kwitansi biasa dibuat: si petani B telah meminjam cengkeh sebanyak 1.000 kg dari si pedagang A. Yang diterima petani bukan cengkeh, tapi uang Rp 1 juta, meskipun harga cengkeh pada waktu itu antara Rp 3.500 sampai Rp 4.000 per kg. Tapi menjelang panen besar tahun ini rupanya tiba giliran para pengijon yang jadi risau. Ternyata fihak pemerintah daerah di samping menyadari bahwa mereka selama ini terlalu banyak berpangku tangan, mereka juga kini melihat cengkeh sebagai sumber pendapatan yang tak pantas diabaikan. Untuk itu tahun 1976 lalu Pemda Sulawesi Utara mengeluarkan SK No. 174 tentang tataniaga cengkeh. Isinya, di samping menetapkan harga beli pada petani paling rendah Rp 3.500 per kg juga menentukan: yang berhak membeli cengkeh dari para petani hanya BUUD/KUD. Tiga buah perusahaan yang terbilang kakap ditunjuk pula sebagai pembeli tunggal cengkeh dari BUUD/KUD. Jika demikian, apakah BUUD/KUD cukup punya modal untuk menampung hasil panen cengkeh sebanyak itu? "Sudah ada komitmen antara Ditjen Koperasi dengan flhak Bank Indonesia, bahwa untuk Sulawesi Utara disediakan Rp 11,4 milyar sebagai modal koperasi untuk membeli cengkeh", kata Bonny Lengkong, residen dan pembantu utama Gubernur Sulawesi Utara di bidang ekonomi. Lengkong agaknya cukup optimis bahwa SK Gubernur No. 174 itu tak hanya akan merenggut para petani cengkeh dari rongrongan pengyon, tapi Juga akan memperbaiki nasib mereka Sebab, kata residen itu, sudah ditentukan harga pembelian koperasi (BUUD/KUD) dari petani paling rendah Rp 3.500 per kg. Tak lupa Lengkong menyebut, bahwa para petani yang sudah terlanjur meminjam uang dari pengijon diserukan agar melaporkannya kepada pengurus koperasi setempat. "Koperasi akan mengganti uang pengijon sesuai dengan yang dipinjam petani", ujarnya. Yaitu dengan cara memotong uang penjualan si petani. Tinggal soalnya sekarang: apakah BUUD/KUD mampu bertindak seperti harapan petani? "Dari sekarang kita sudah melakukan penataran para petugas koperasi", jawab Lengkong kepada TEMPO pertengahan Pebruari lalu. Tapi jika ditilik dari pengalaman mengurus tataniaga kopra - yang kemudian diterapkan juga pada cengkeh -- agaknya harapan para petani tak begitu saja akan terpenuhi. Pada mulanya perdagangan kopra di Sulawesi Utara sepenuhnya tergantung pada para pedagang dengan sistim jatah, setelah melalui berbagai jalur (akumulator). Sulit dilupakan peranan para pedagang kopra di propinsi ini pada waktu-waktu lampau. Seorang pejabat jika tak hatihati dapat dengan mudah tergelincir karena licinnya minyak kopra. Sehingga tak jarang terdengar ucapan, "siapa menguasai kopra dia akan menentukan poleksus daerah ini". Hal ini sesungguhnya mudah difahami bila diingat bahwa dari propinsi ini mengalir tak kurang dari 18.000 ton kopra setiap bulan. Karena itu pula, ketika pemerintah pusat mulai menertibkan sistim niaga kopra di tahun 1969, kegoncangan yang diduga digerakkan para pedagang kopra hampir saja melontarkan H.V. Worang dari kursi gubernurnya. Dalam ketentuan ini disebutkan juga bahwa setiap petani harus menjual kopranya kepada koperasi. Dan dengan harga yang ditetapkan koperasi. Tapi kemudian ternyata ketentuan ini tak begitu saja membunuh para perantara, yang selama ini sudah punya akar di kebun kelapa. "Kami seakan menjadi pencuri kopra kami sendiri", ujar seorang petani kelapa. Sebab tak jarang mereka harus main kucing-kucingan dengan para petugas Hansip, untuk menghindari pos-pos penjagaan yang ada di tiap kampung. Hansip ini mengintai setiap petani yang berani meloloskan kopranya tanpa melalui unit-unit pembelian yang telah ditentukan koperasi (BUUD/KUD). Kucing-kucingan ini mau tak mau harus terjadi, karena di beberapa tempat sudah menunggu para pedagang pengumpul yang memasang tarif lebih tinggi dari harga koperasi. Di samping itu, di beberapa tempat, koperasi melakukan pemotongan-pemotongan harga atas nama "partisipasi" dan macammacam lagi. Ini belum terhitung tindakan sementara camat yang suka main pukul rata. Sebab dalam ketentuan disebutkan, bahwa petani kelapa yang punya produksi kopra 5 ton ke atas dapat melakukan penjualan langsung ke pabrik minyak atau pedagang kopra (tanpa lewat koperasi). Oleh beberapa orang camat ternyata pengecualian ini dianggap tak ada. Mereka tetap memaksa agar petani menjual kopranya kepada koperasi. Mengapa? Konon karena dalam pemotongan harga yang dilakukan koperasi, komisi sekian persen sudah ditentukan untuk camat, hukum tua (lurah) dan pengurus koperasi sendiri. Ketimpangan serupa itu yang agaknya mulai direka-reka para petani cengkeh dewasa ini. Soal harga yang Rp 3.500 per kg itu misalnya, tak mustahil memberi banyak peluang kepada para pedagang (di luar koperasi) untuk memancing para petani agar bermaln kucing-kucingan pula. Belum lagi sikap para pengurus koperasi, yang dalarn riwayatnya pernah menyurarnkan sistim niaga ini sendiri. Harap juga diingat, bahwa kredit Rp 11,4 milyar tadi hanya akan diurus oleh 19 buah koperasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus