"JANGAN kamu anggap urusan kecil, Muhammadiyah adalah besar. Inilah pesanku .... " Pesan terakhir Kiai Ahmad Dahlan itu disampaikan oleh istrinya, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, di hadapan pertemuan para konsul daerah Muhammadiyah di Yopyakarta, 18 Agustus 1945 - lebih dari 20 tahun setelah pendiri Muhammadiyah itu berpulang ke rahmatullah. Kini terbukti, Muhammadiyah memang besar. Lihatlah bagaimana Yogyakarta bersolek menyambut muktamar dan sidang tanwir organisasi itu, Kamis pekan lalu sampai Selasa pekan ini. Sejak 10 hari sebelumnya, kota seperti dipasangi pita. Sepanjang Jalan K.H. Ahmad Dahlan - kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah ada di sini - terpasang umbul-umbul dan berbagai spanduk. Di depan Keraton Yogyakarta, sekitar Alun-Alun Utara, terpampang baliho berukuran 3 kali 4 meter dengan lukisan Presiden Soeharto sedang berjabat tangan dengan Kiai A.R. Fakhruddin, Ketua PP (Pengurus Pusat) Muhammadiyah. Muktamar ini memang akan dibuka sendiri oleh Presiden, serta dihadiri sejumlah menteri. Ditaksir lebih dari 2.000 peserta muktamar akan berdatangan dari segenap pelosok Nusantara. Mereka akan disertai pula oleh para penggembira -- hadir cuma untuk meramaikan acara -- yang jumlahnya diduga 20.000 lebih. Sebagai contoh, kontingen Sulawesi Selatan berjumlah 1.000-an orang, lebih dari separuh di antaranya adalah penggembira. "Kafilah kami mungkin yang terbesar jumlahnya untuk luar Jawa," kata Jamaluddin Amin, Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Untuk mengangkut para penggembira dari sekitar Pulau Jawa saja konon akan digunakan 1500-an bis dan Colt. Perhelatan besar ini akan dihadiri pula sejumlah peninjau dan pengamat luar negeri: Mesir, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Malaysia, Singapura, dan Muangthai. Di antara mereka, termasuk para pengurus Muhammadiyah yang sudah berdiri di Malaysia, Muangthai, dan Singapura. Untuk tempat sidang-sidang pertemuan besar ini, di lapangan olahraga, di kompleks Universitas Muhammadiyah Yogyakarta didirikan sebuah bangunan, berukuran 170 kali 30 meter. Bangunan dengan dinding serba bambu, dan atap daun tebu (rapak) ini berkapasitas 4.000-an pengunjung, menelan biaya Rp 40-an juta. Muhammadiyah, yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan di tahun 1912, kini memiliki hampir 700.000 anggota terdaftar, terserak di 26 provinsi (kecuali Timor Timur). Belum dihitung simpatisannya. Dengan jumlah anggota begitu besar, Muhammadiyah tentu merupakan organisasi Islam terbesar, setelah NU. Tapi, bila dilihat dari jumlah amal usaha yang dimilikinya, berupa sekolah, universitas, rumah sakit, balai pengobatan, rumah jompo, bank, dan sebagainya, Muhammadiyah sulit ditandingi oleh organisasi mana saja. Sekadar gambaran, sekarang organisasi ini memiliki 19 rumah sakit - semisal Rumah Sakit Islam Jakarta itu - dan sekitar 70 perguruan tinggi, ribuan sekolah, yang tersebar di kota-kota besar di sini. "Muhammadiyah merupakan organisasi Islam paling besar di dunia kalau dilihat dari amal usaha yang dimilikinya," kata Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Lagi pula, dibanding dengan organisasi Islam lain di sini "pusaka" peninggalan Kiai Dahlan ini memiliki anggota yang lebih terdidik, sebagai orang kota -- bila dibandingkan dengan NU yang punya anggota mayoritas dari pedesaan -- selain punya kondisi sosial ekonomi yang lebih memadai. Bandingkan saja bagaimana para warga NU membiayai muktamarnya dengan menyumbangkan beberapa butir kelapa, beberapa kilo beras, atau beberapa ekor ayam, bebek, dan kambing. Sementara itu, untuk Muktamar Muhammadiyah kali ini -- ditaksir menghabiskan biaya hampir Rp 1 milyar sumbangan datang dalam jumlah besar dari anggotanya yang pengusaha, birokrat, atau kaum profesional, pegawai negeri, dan swasta. Pengusaha terkemuka Probosutedjo, tokoh tekstil Fachmi Chatib, dan pengusaha biro perjalanan Rahimi Sutan termasuk dalam daftar anggota Muhammadiyah yang menyumbang untuk muktamar. Tak aneh kalau dari warga Muhammadiyah Kabupaten Bantul saja, terkumpul dana Rp 30 juta. "Para pengusaha anggota kami rata-rata menyumbang satu sampai sepuluh juta rupiah. Insya Allah biaya yang diperlukan bisa teratasi," kata Dasron Hamid, ketua panitia muktamar. Artinya, bila dilihat dari jumlah sekolah, universitas, atau rumah sakit, organisasi ini memang berkembang pesat. Namun, Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dien Syamsuddin kecewa dengan perkembangan ini. "Muhammadiyah telah berubah dari gerakan tajdid menjadi gerakan amal usaha," katanya. Amal usaha adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kegiatan mendirikan sekolah, rumah sakit, atau semacamnya. Dien Syamsuddin, yang sedang mempersiapkan tesis doktor tentang Muhammadiyah di University of California Los Angeles (UCLA) itu melihat sekarang inovasi tajdid (pembaru~an) di organisasi itu sudah tak kelihatan. Artinya, tokoh muda Muhammadiyah ini melihat pembaruan yang menjadi ciri organisasinya itu telah mandek. Kata mandek itu memang sering dituduhkan baik oleh orang dalam maupun luar Muhammadiyah terhadap organisasi ini. Orang dalam, seperti Ahmad Syafii Maarif dan Amien Rais, telah melemparkan tuduhan itu sejak beberapa tahun lalu. Padahal, ketika K.H. Ahmad Dahlan memperbaiki arah kiblat masjid Kesultanan Yogya, ketika ia mendirikan sekolah-sekolah klasikal model B~elanda, atau ketika ia memperkenalkan salat Idulfitri di lapangan, bukan di masjid, ketika ia mendirikan pandu Hisbul Wathan, sesungguhnya ia telah mengobarkan sebuah pembaruan. Sebab, ketika itu sebagian besar ulama mengharamkan tindakan meniru-niru kaum kafir Belanda, apakah dalam soal sekolahnya atau pandunya. Gerakannya itu kemudian disebut tajdid alias pembaruan dan gerakan dakwah amar ma'ruf nahi mungkar (menyeru kebaikan, mencegah kejahatan). Kemudian untuk mencapai tujuan itu ia mendirikan sekolah-sekolah, sebagai sarana perjuangan. Justru ketika kini sekolah dan rumah sakit milik Muhammadiyah bermunculan di mana-mana bak cendawan di musim hujan organisasi ini dituduh mandek. Dan tampaknya kemandekan itu ditinjau dari segi yang lebih mendasar: teologi perjuangan Muhammadiyah sendiri. Seperti dikatakan Amien Rais, dosen UGM dan Ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah, organisasi tajdid itu mestinya mampu memformulasi~k~an kemb~ali pandangan teologinya karena teologi tak cuma menyangkut ilmu ketuhanan, melainkan juga berhubungan dengan ilmu tentang nasib manusia. Yang ia maksudkan, Muhammadiyah harus mampu merumuskan konsep teologi baru yang amat sensitif pada soal-soal kemiskinan dan keadilan sosial. "Dengan demikian, masyarakat merasakan relevansi Muhammadiyah. Dan memang itulah yang dimaksudkan oleh Islam," kata Amien. Karena itu pula, dalam muktamar lima tahun yang lalu di Solo, Amien Rais melemparkan usulan zakat profesi: sebuah pembaruan dalam zakat, yang mewajibkan pembayaran zakat sebesar 20~% pada kaum profesional tertentu. Ide berijtihad (mencari hukum baru) ini didasarkannya pada pertimbangan keadilan semata. Adalah tak adil, menurut pandangan ini, kalau Islam selama ini mengenakan wajib zakat 5 sampai 10% pada para petani, sementara kaum profesional, yang dalam waktu singkat menghasilkan puluhan jutaan rupiah, terbebas dari kewajiban itu. Bila diterima, usulan ini sungguh mengena di Muhammadiyah karena, menurut perkiraan, belakangan ini anggota organisasi itu, yang dulu kebanyakan terdiri dari pedagang kecil dan menengah, telah bergeser menjadi pegawai negeri dan swasta, cendekiawan, serta kaum profesional. Dengan cara berpikir seperti itu pula Ahmad Watik Pratiknya, dosen UGM yang lain, berpendapat tajdid, yang selama ini ditafsirkan sebagai gerakan pembaru sekaligus purifikasi (pemurnian) terhadap ajaran Islam, perlu diperluas. Misalnya, bagaimana tajdid di bidang iptek, kebudayaan, dan sebagainya. "Tajdid itu kan sebetulnya upaya merealisasikan Islam sebagai rahmat seluruh alam," kata Wakil Ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah ~itu. Selain itu, amal usaha Muhammadiyah perlu pula dikembangkan secara lebih profesional. Kerja profesional ditafsirkan Watik sebagai kerja yang didasarkan keahlian dikembangkan dengan pertimbangan akal, rasional, dan keilmuan, sekaligus juga diupayakan mencapai hasil yang maksimal. Karena itu, bekerja secara profesional membutuhkan ongkos. "Kalau diberi imbalan yang layak, menurut saya itu Islami," katanya. Dalam hal berkembangnya organisasidan amal usaha Muhammadiyah, menurut Watik, sekretariat jenderal organisasi harus kuat dan mesti didukung oleh manajer-manajer profesional, dengan arti lain harus pula diberi honorarium selayaknya. Pendapat Amien Rais, Watik, atau temannya, seperti Dien Syamsuddin, Ahmad Syafii Maarif, Yahya Muhaimin, para akedemisi yang masih muda dan berasal dari keluarga Muhammadiyah ini tampaknya bisa diterima para pengurus PP Muhammadiyah yang berdomisili di Jakarta (dahulu disebut kelompok Jakarta, untuk membedakannya dengan kelompok "Kauman" atau kelompok Yogya), seperti Lukman Harun dan Rusydi Hamka. Lukman malah menganggap selain ulama dan cendekiawan, kelompok manajer profesional itu mutlak harus ada dalam kepengurusan mendatang. "Bila tidak, inilah yang disebut kemandekan Muhammadiyah itu," katanya. Sesungguhnya, tak sepenuhnya suara kalangan muda yang diwakili dengan vokal oleh Amien Rais itu ditampik kalangan tua. Salah satu Ketua PP Muhammadiyah yang bisa disebut dari kalangan tua, Djarnawi Hadikusumo, mengatakan bahwa berbagai pemikiran Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, dan teman-temannya sudah diperhatikan. "Dalam muktamar ini ada empat makalah mendasar kami siapkan yang nantinya Insya Allah dapat membawa Muhammadiyah seperti yang diinginkan mereka yang muda-muda itu," katanya. Disebutkannya pula konsep membentuk lembaga informasi untuk mencegah organisasi itu tertinggal dalam era infomasi ini. Ada pula konsep membentuk koperasi-koperasi untuk memodali kaum ekonomi lemah. "Yang sudah-sudah, bantuan cuma dalam bentuk ~akat, yang segera mereka habiskan. Nantinya mereka kita beri modal usaha tampa bunga," katanya. Tentu tak semua gagasan tadi bisa diterima. Soal honorarium para pengurus Muhammadiyah dalam semangat "profesionalisme" misalnya, menurut Djarnawi, belum bisa diterima. Itu sebenarnya bukan gagasan baru. Di tahun 1956, kata Djarnawi, Syabeni Widyokartono, bendahara PP Muhammadiyah, pernah menyusun rencana penggajian para pengurus Muhammadiyah. "Ternyata, tak bisa jalan. Selain uang tak ada, ranting-ranting pada mengejek karena pengurus pusat diberi gaji," katanya. Rupanya, bagi umat Muhammadiyah definisi keikhlasan itu masih belum bergeser. Selain itu, ada pesan Kiai Ahmad Dahlan yang begitu melekat pada mereka: "Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah." Juga masih belum disepakati usul Amien Rais tentang zakat profesi itu, yang sampai sekarang belum bisa disetujui oleh majelis tarjih, lembaga fatwa Muhammadiyah. Dengan atau tanpa benturan pendapat, tumbuhnya kalangan muda di organisasi ini mereka kebanyakan belajar di universitas terkemuka atau di luar negeri -- bisa disebut sebagai konsekuensi bentuk modernisasi pendidikan yang dikembangkan Kiai Dahlan dulu. Repotnya, kalau mereka kemudian jadi kelompok yang menghadapi kalangan tua seperti Pak A.R. (panggilan akrab A.R. Fakhruddin) dan Djarnawi, atau banyak lainnya. Sejarah bisa berulang dalam latar yang berbeda: Sebagaimana dulu para ulama tua resah dengan pikiran dan tindakan Kiai Dahlan ketika ia membetulkan arah kiblat dan menentang khurafat. Apa pun yang bakal timbul, yang jelas, menjelang muktamar yang ramai jadi buah pembicaraan ialah calon ketua pengurus pusat mendatang. Sampai kini, dua nama paling menonjol adalah Ahmad Azhar Basyir, 62 tahun, Ketua Jurusan Filsafat Islam UGM dan Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Ahli fikih tamatan Universitas Al Azhar Kairo itu dianggap paling layak menggantikan Pak A.R. Selain ulama terpenting di Muhammadiyah kini, ia juga seorang cendekiawan, dan berasal dari Kauman. Nama lain - juga asal Kauman - adalah Djarnawi Hadikusumo, kini menjabat salah seorang Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Dia adalah putra Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah terkemuka yang turut merumuskan UUD '45 itu. Bagaimana hasilnya nanti, kita lihat sajalah. Amran Nasution~~, A~gus Basri, Sjahril Chili, Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini