Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sebuah Klenteng Di Tengah Desa

Klenteng Han Tan Kong, di Cileungsi, Bogor, menjadi sumber keributan. Oey Jun Sin, 53, ketua klenteng di anggap bertindak tidak wajar. Sedang dicoba untuk mendamaikan masalah. (ds)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKIPUN sudah lewat setahun, keresahan penduduk WNI turunan Cina di Desa Cileungsi (Kabupaten Bogor) belum juga berakhir. Pertama menyangkut soal klenteng Han Tan Kong. Lalu, soal tanah pekuburan ummat Budha di sana. Tidak kurang dari Gde Puja MA Dirjen Bimas Hindu Budha terpaksa datang ke sana pertengahan April lalu. Tahun lalu, 90 pemuda anggota je maah menyatakan "mosi tidak percaya" kepada ketua klenteng. Ribut-ribut terjadi dan kericuhan memang memuncak ketika tiga di antara pemuka pemuda tadi terpaksa menginap di kantor Polisi Cileungsi. Oey Jun Sin, alias Jujun Junaidi (53) si ketua klenteng, sudah 8 tahun terus menerus memangku jabatan ketua klenteng. Menurut aturan main yang ada, tiap 3 tahun mestinya diganti lagi. Tapi pemilihan begitu tidak pernah ada. Kericuhan dan soal "mosi tak percaya" barangkali tidak akan ada jika saja sang ketua dianggap bertindak wajar. "Tapi ia memimpin klenteng seperti miliknya pribadi," kata seorang pemuka agama Budha. Tak cuma itu, Oey juga menjual tanah wakaf kuburan milik umat Budha tanpa musyawarah. Tanah wakaf itu terletak di Desa Linus Nunggal, 3 km dari pusat desa. Luasnya 20.000 mÿFD, dilego dengan harga Rp 3,5 juta. Sebagai gantinya sang ketua membeli tanah seluas 5.000 mÿFD terletak di sebelah barat desa. Harga pembelian tak lebih dari Rp 600 ribu Kenapa dijual? "Supaya umat Budha lebih dekat dengan tanah pekuburannya," kata Oey. Tapi rupanya alasan begitu tidak bisa diterima 200 KK jemaah Budha Desa Cileungsi. Apalagi kelebihan uang hasil penjualan tidak tentu ujung pangkalnya. Protes terdengar di mana-mana bahkan kemudian Oey juga dituduh melakukan penggelapan 7 buah mesin diesel pembangkit tenaga listrik milik klenteng sehingga menjadi milik pribadinya. "Padahal diesel itu sumbangan seorang dermawan dari Jakarta," kata Tan Pang Tjoan, salah seorang pemuda yang jadi jurubicara jemaah klenteng. Kecurigaan terhadap polah ketua menjadi-jadi. Administrasi klenteng tidak beres, uang sumbangan dermawan tidak jelas. Selama ini sumbangan-sumbangan begitu mengalir terus, apalagi klenteng tiap sebentar menerima tamu dari Jakarta dan memberi sumbangan. Protes-protes jemaah Budha begitu dianggap angin lalu saja. "Itu karena sirik saja, mereka bekas anak buah saya," kata Oey pekan lalu kepada TEMPO. Tetapi mengapa tanah itu dijual? "Itu atas desakan perkumpulan kematian gotong royong," kata Oey lagi. Ketua klenteng itu mengakui menjual tanah wakaf sebanyak harga yang disebutkan penduduk. Tapi Oey tak mau bercerita banyak dan ia hanya menyebut bahwa ia selama ini sudah banyak membantu penduduk. Oey memang diketahui satu di antara WNI terkaya di Cileungsi. Rumahnya berdinding beton, indah, memiliki beberapa gedung baru dan juga gedung sandiwara Sunda Sri Wangi. Juga punya peternakan babi. Kondisinya begitu memang sangat kontras dengan keadaan penduduk Cileungsi pada umumnya, yang rumah mereka cuma berlantai tanah, berdinding anyaman bambu yang sudah lusuh. Dengan kondisi begitu Oey merasa enak saja bertindak sewenang-wenang. Tapi "ini soal agama, bukan soal kaya dan miskin," kata seorang anggota jemaah. Begitu-begitu Saja Soal klenteng dan tanah wakaf tentu saja soal cukup rawan. Baik pihak polisi, bahkan sampai ke tingkat Muspida keributan ini sempat jadi agenda. "Tapi ya begitu-begitu saja, tidak ada penyelesaian kata Tan Pang Tjoan sang jurubirara. Dirjen Bimas Hindu Budha, Gde Puja MA, juga menyatakan hal yang sama. "Aparatur pemerintah setempat tidak memberikan bantuan penuh," katanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Pihak Dirjen memang berkali-kali sudah mengirim surat agar kasus begitu didamaikan. Sayangnya surat itu tidak pernah dapat jawaban, sebagai diakui Dirjen. Itulah sebabnya Gde Puja dan sejumlah pejabat teras Bimas Hindu Budha pertengahan April yang silam turun ke sana. Buat Dirjen masalah kerukunan lebih penting. Itu pula sebabnya Oey Jun Sin sendiri berkali-kali dipanggil ke Jakarta. "Saya merasa dikentutin oleh si Oey ini," kata Gde Puja. Meskipun sudah 3 kali dipanggil ke Jakarta, ketua klenteng itu tidak pernah datang. Baru setelah panggilan lewat polisi setempat, Oey datang menghadap. "Kalau orang jelas tidak suka lagi, Oey mestinya minggir," kata Eka Sasongko SH, Sekretaris Jenderal Tridharma Pusat. Tapi drg Willy Pradnasurya, Direktur Urusan Agama Hindu & Budha menyayangkan adanya kesalahan lain. "Mustinva klenteng itu memiliki badan hukum," katanya. Dan pasal tidak adanya badan hukum rupanya menjadi sebab pula mengapa kasus klenteng itu tidak selesai-selesai juga. Padahal klenteng (Han Tan Kong) itu ada di antara klenteng favorit. Terletak 60 km dari Jakarta, di tengah Desa Cileungsi, Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, klenteng itu mendapat kunjungan yang ramai dari umat Budha, seperti juga Gunung Kawi dan Tanjung Kait dan tempat-tempat lain. Bagaimana penyelesaian akhir? "Ya kita coba damaikan lagi," kata Dirjen Gde Puja MA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus