MESKIPUN sudah lewat setahun, keresahan penduduk WNI turunan
Cina di Desa Cileungsi (Kabupaten Bogor) belum juga berakhir.
Pertama menyangkut soal klenteng Han Tan Kong. Lalu, soal tanah
pekuburan ummat Budha di sana. Tidak kurang dari Gde Puja MA
Dirjen Bimas Hindu Budha terpaksa datang ke sana pertengahan
April lalu.
Tahun lalu, 90 pemuda anggota je maah menyatakan "mosi tidak
percaya" kepada ketua klenteng. Ribut-ribut terjadi dan
kericuhan memang memuncak ketika tiga di antara pemuka pemuda
tadi terpaksa menginap di kantor Polisi Cileungsi.
Oey Jun Sin, alias Jujun Junaidi (53) si ketua klenteng, sudah 8
tahun terus menerus memangku jabatan ketua klenteng. Menurut
aturan main yang ada, tiap 3 tahun mestinya diganti lagi. Tapi
pemilihan begitu tidak pernah ada. Kericuhan dan soal "mosi tak
percaya" barangkali tidak akan ada jika saja sang ketua dianggap
bertindak wajar. "Tapi ia memimpin klenteng seperti miliknya
pribadi," kata seorang pemuka agama Budha. Tak cuma itu, Oey
juga menjual tanah wakaf kuburan milik umat Budha tanpa
musyawarah.
Tanah wakaf itu terletak di Desa Linus Nunggal, 3 km dari
pusat desa. Luasnya 20.000 mÿFD, dilego dengan harga Rp 3,5 juta.
Sebagai gantinya sang ketua membeli tanah seluas 5.000 mÿFD
terletak di sebelah barat desa. Harga pembelian tak lebih dari
Rp 600 ribu Kenapa dijual? "Supaya umat Budha lebih dekat
dengan tanah pekuburannya," kata Oey.
Tapi rupanya alasan begitu tidak bisa diterima 200 KK jemaah
Budha Desa Cileungsi. Apalagi kelebihan uang hasil penjualan
tidak tentu ujung pangkalnya. Protes terdengar di mana-mana
bahkan kemudian Oey juga dituduh melakukan penggelapan 7
buah mesin diesel pembangkit tenaga listrik milik klenteng
sehingga menjadi milik pribadinya. "Padahal diesel itu
sumbangan seorang dermawan dari Jakarta," kata Tan Pang Tjoan,
salah seorang pemuda yang jadi jurubicara jemaah klenteng.
Kecurigaan terhadap polah ketua menjadi-jadi. Administrasi
klenteng tidak beres, uang sumbangan dermawan tidak jelas.
Selama ini sumbangan-sumbangan begitu mengalir terus, apalagi
klenteng tiap sebentar menerima tamu dari Jakarta dan memberi
sumbangan.
Protes-protes jemaah Budha begitu dianggap angin lalu saja. "Itu
karena sirik saja, mereka bekas anak buah saya," kata Oey pekan
lalu kepada TEMPO. Tetapi mengapa tanah itu dijual? "Itu atas
desakan perkumpulan kematian gotong royong," kata Oey lagi.
Ketua klenteng itu mengakui menjual tanah wakaf sebanyak harga
yang disebutkan penduduk. Tapi Oey tak mau bercerita banyak dan
ia hanya menyebut bahwa ia selama ini sudah banyak membantu
penduduk.
Oey memang diketahui satu di antara WNI terkaya di Cileungsi.
Rumahnya berdinding beton, indah, memiliki beberapa gedung baru
dan juga gedung sandiwara Sunda Sri Wangi. Juga punya peternakan
babi. Kondisinya begitu memang sangat kontras dengan keadaan
penduduk Cileungsi pada umumnya, yang rumah mereka cuma
berlantai tanah, berdinding anyaman bambu yang sudah lusuh.
Dengan kondisi begitu Oey merasa enak saja bertindak
sewenang-wenang. Tapi "ini soal agama, bukan soal kaya dan
miskin," kata seorang anggota jemaah.
Begitu-begitu Saja
Soal klenteng dan tanah wakaf tentu saja soal cukup rawan. Baik
pihak polisi, bahkan sampai ke tingkat Muspida keributan ini
sempat jadi agenda. "Tapi ya begitu-begitu saja, tidak ada
penyelesaian kata Tan Pang Tjoan sang jurubirara.
Dirjen Bimas Hindu Budha, Gde Puja MA, juga menyatakan hal yang
sama. "Aparatur pemerintah setempat tidak memberikan bantuan
penuh," katanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO.
Pihak Dirjen memang berkali-kali sudah mengirim surat agar kasus
begitu didamaikan. Sayangnya surat itu tidak pernah dapat
jawaban, sebagai diakui Dirjen. Itulah sebabnya Gde Puja dan
sejumlah pejabat teras Bimas Hindu Budha pertengahan April yang
silam turun ke sana. Buat Dirjen masalah kerukunan lebih
penting. Itu pula sebabnya Oey Jun Sin sendiri berkali-kali
dipanggil ke Jakarta.
"Saya merasa dikentutin oleh si Oey ini," kata Gde Puja.
Meskipun sudah 3 kali dipanggil ke Jakarta, ketua klenteng itu
tidak pernah datang. Baru setelah panggilan lewat polisi
setempat, Oey datang menghadap. "Kalau orang jelas tidak suka
lagi, Oey mestinya minggir," kata Eka Sasongko SH, Sekretaris
Jenderal Tridharma Pusat. Tapi drg Willy Pradnasurya, Direktur
Urusan Agama Hindu & Budha menyayangkan adanya kesalahan lain.
"Mustinva klenteng itu memiliki badan hukum," katanya. Dan pasal
tidak adanya badan hukum rupanya menjadi sebab pula mengapa
kasus klenteng itu tidak selesai-selesai juga.
Padahal klenteng (Han Tan Kong) itu ada di antara klenteng
favorit. Terletak 60 km dari Jakarta, di tengah Desa Cileungsi,
Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, klenteng itu mendapat
kunjungan yang ramai dari umat Budha, seperti juga Gunung Kawi
dan Tanjung Kait dan tempat-tempat lain. Bagaimana penyelesaian
akhir? "Ya kita coba damaikan lagi," kata Dirjen Gde Puja MA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini