Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Lidah (dll) Indonesia

Program Intensif Bahasa & Budaya Indonesia (PIBBI) yang dikenal "sekolah diplomat" di Salatiga, dikhususkan buat orang asing. Lama belajar sebulan, ada 4 tingkat. Bernaung di bawah Universitas Satyawacana.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA Natalie Louch, cewek cakep berkaca mata berusia 18 tahun. Ada juga Terry William, gaek 67 tahun. "Kakek dan cucu" dari Australia itu sebulan lalu mulai jadi teman sekelas di sebuah lembaga pendidikan di Salatiga, Jawa Tengah. Dan pekan ini mereka diwisuda di sekolah yang populer disebut "Sekolah Diplomat" itu. Jangan salah duga bahwa si Louch dan "kakek"-nya memang bercita-cita jadi, misalnya, atase pers Australia di Jakarta. Ini bukan lembaga pendidikan yang mempersiapkan siswanya menjadi staf kedutaan. Julukan "Sekolah Diplomat" diperoleh karena sebagian besar siswa di sini adalah kulit putih, dan sebagian lainnya memang staf kedutaan asing di Jakarta. Maka, sebagaimana semua kulit putih pernah dipuku] rata oleh orang Indonesia sebagai Belanda, Program Intensif Bahasa dan Budaya Indonesia (PIBBI) ini pun disebut "Sekolah Diplomat". Berdiri pada 1973, PIBBI merupakan proyek kerja sama antara Pusat Bahasa di Jakarta dan Sydney University. Menurut S.M. Dharmanto~ Ketua Penyelenggara PIBBI periode 1986-1987, mulanya adalah Willi Toisuta, staf pengajar biasa di Universitas Satyawacana, Salatiga -- kini Rektor. Willi sering mengunjungi perguruan tinggi di Australia. Maka, tahulah dia bahwa bukan cuma minat belajar bahasa Indonesia orang Australia yang besar, tapi juga keinginan mempelajari budaya dan masyarakat Indonesia. Segera kedutaan-kedutaan asing di Jakarta mendukung ide Willi membuka studi Indonesia ini, agar mereka bisa mengirimkan stafnya yang memerlukan belajar tentang Negeri Nyiur Melambai ini. Bila sampai tahun ini PIBBI masih dibuka, minat ternyata besar. Setiap periode rata-rata diikuti 70 peserta yang datang dari AS, Jepang, Kanada, Filipina, Swiss, dan Singapura. Latar belakang para siswa itu juga beragam. Mulai dari orang asing yang akan mengajar di Indonesia, para mahasiswa yang menghabiskan liburan musim panas dan sekadar ingin bisa ngomong Indonesia, sampai diplomat asing di Jakarta. Barulah pada periode tahun ini diplomat yang resmi dikirim oleh kedubes asing di Jakarta, tak seperti halnya tahun-tahun lalu, tak seorang pun. "Mungkin mereka lagi mengalami kesulitan ekonomi," kata Dharmanto, setengah bergurau. Sebenarnya, ongkos sekolah di sini tidak mahal. Dengan belajar sehari penuh, termasuk asrama dan makan, per orang hanya ditarik 950 dolar Australia (sekitar Rp 1,1 juta). Bandingkan dengan kursus bahasa Inggris yang memberikan fasilitas serupa dan menarik bayaran lebih dari Rp 2 juta. Di PIBBI, yang diberikan tak cuma pelajaran mengucapkan "terima kasih" dan "selamat pagi". Hampir separuh kurikulum berupa ceramah dan program pilihan tentang budaya Indonesia, seperti pencak silat batik-membatik, berbagai masakan Indonesia, adat istiadat di berbagai daerah, dan ekonomi Indonesia. Lalu seminggu sekali diadakan ceramah dengan mengundang pembicara dari luar, misalnya budayawan Dick Hartoko, pemimpin redaksi majalah Basis itu. Mereka yang masuk sekolah ini umumnya sudah memiliki latar belakang bahasa Indonesia secukupnya. Yakni, mereka peroleh dari kursus kilat di negaranya. Di PIBBI ada empat tingkat: pemula, dasar, menengah, dan lanjutan. Calon peserta diuji lebih dulu untuk menentukan tingkat yang cocok. Lalu setiap peringkat dibagi dua kelompok, dibimbing oleh tujuh pengajar, hingga komunikasi antara siswa dan pengajar di sekolah yang cuma sebulan ini bisa berjalan intensif - praktis seorang pengajar cuma menangani lima orang. Hanya di tingkat pemula dan dasar bahasa pengantar masih dicampur bahasa Inggris. Di kedua tingkat lainnya pengantar sama sekali memakai bahasa Indonesia. Dan untuk membuat mereka benar-benar merasakan Indonesia, bahkan makanan yang disediakan pun khas Indonesia pula. Kompletlah para lidah asing itu berindonesia-indonesia. Seperti layaknya lembaga pendidikan, di sini juga ada penilaian kemampuan tiap siswa. Evaluasi diadakan setiap dua minggu sekali, dengan ujian maupun tes kecil. Di samping itu, ada pula praktek lapangan, biasanya meninjau obyek wisata, seperti Borobudur Prambanan, dan Mendut. Ini bukan sekadar piknik pengusir kebosanan. Dari perjalanan itu mereka diharuskan menulis laporan bagi siswa pemula dan dasar dalam bahasa Inggris, dan tingkat menengah dan lanjutan dalam bahasa Indonesia PIBBI, yang bernaung di bawah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Satyawacana ini, aktif mencari siswa. Jauh sebelum sekolah dibuka, pihak PIBBI sudah pasang iklan di beberapa surat kabar di luar negeri, juga mengirim selebaran ke kedutaan asing di Jakarta. Inilah cerita Pierre Von Moos, warga negara Swiss yang ditugaskan oleh pemerintahnya untuk mengembangkan perkoperasian di Lombok, NTB. Ketika itu, ~suatu hari di tahun 1984, di kediamannya di Praya, Lombok Tengah, ia menjamu rekan sekerja dan para tetangganya. Ada pejabat, ada tukang kebun. Ketika menyuguhkan hidangan, Pierre memulainya berdasarkan tempat duduk, diurut secara praktis.Maka, yang pertama-tama mendapat suguhan adalah tukang kebun. Ini memang pikiran praktis seorang Eropa. Tapi Pierre menangkap ekspres wajah yang tak menyenangkan dari tamu-tamu yang tergolong pejabat. Ia merasa tak enak, juga merasa pasti ada sesuatu yang salah yang ia lakukan. Tapi ia tak tahu, kesalahan itu. "Betapa bodohnya kami waktu itu," kata Pierre mengenang. Baru setelah mengikuti pendidikan di PIBBI ini, Pierre mengerti mengapa orang Indonesia harus mendahulukan tamu yang tingkat sosialnya lebih atas. Memperoleh manfaat yang besar dari PIBBI, ia pun menyekolahkan Natalie Ann, istrinya, ke Salatiga. Maka, kini Natalie tak ikut-ikutan jongkok bila berbicara kepada pembantunya. Sebelumnya, karena bingung, tuturnya, pembantunya selalu jongkok bila diajaknya bicara berhadap-hadapan, maka ia pun ikut jongkok. Lalu komentar Pierre, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar: "Itulah gunanya sekolah di Salatiga." Yusroni Henridewanto (Jakarta) dan Nanik Ismiani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus