DENGAN bantuan LBH, 26 penduduk Ciburuy pernah mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Yang digugat
pemerintah. Soalnya: pemerintah menyatakan bahwa guci harta
karun itu telah hilang entah di mana kini, diduga dirampas oleh
Belanda pada saat Aksi Polisionil ke II 1948.
Jika pemerintah tidak dapat menunjukkan di mana harta karun itu,
penduduk. menuntut ganti rugi Rp 2,87 milyar. Keputusan
pengadilan ketika itu, 1973, mengabulkan sebagian gugatan
penduduk: pemerintah cq Departemen Keuangan harus membayar ganti
rugi Rp 13 juta (TEMPO, 26 Mei 1973).
Pemerintah naik banding ke Pengadilan Tinggi, 1975. Tapi di sini
pun pemerintah kalah. Tergugat harus memberi 2/3 dari nilai
harta karun yang ditemukan itu. Bila tidak, harus memberi ganti
rugi Rp 1,5 milyar. Sekali lagi pemerintah tidak menerima
keputusan ini. Lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sekali ini pemerintah menang. Keputusan MA 28 September 1978
membatalkan keputusan dua pengadilan sebelumnya. Alasannya:
penemuan harta karun itu terjadi di perkebunan milik negara,
hingga tidak ada kewajiban pemerintah memenuhi harapan penduduk
untuk mendapatkan separuh dari harta karun tersebut.
Kisah perjalanan guci itu memang panjang. Begitu ditemukan,
1946, harta karun itu segera diserahkan kepada Sekjen Departemen
Dalam Negeri, Mr. Soemarman, yang ketika itu berdiam di Bogor.
Kemudian 1947 guci diserahkan kepada Wakil Presiden Moh. Hatta
lewat Sekretarisnya Wangsawidjaja. Ketika itu kebetulan Hatta
mampir ke Purwokerto dalam perjalanan dari Jakarta menuju pusat
pemerintahan RI, Yogyakarta. Dari sini lantas diserahkan kepada
Margono Djojohadikusumo, Direktur BNI 1946. Sampai di sini
Margono tak berdaya -- ketika tentara 13elanda merebut gedung
BNI 1946.
Inilah kisah Haji Sholeh tentang penemuan harta karun itu.
Pada akhir Perang Dunia II, Sekutu menjadikan perkebunan karet
Pondok Gedeh, Cigombong, Kabupaten Bogor sebagai tempat
menampung tawanan tentara Jepang. Menduga di tempat itu banyak
tersimpan sisa-sisa senjata, lasykar Hizbullah mengerahkan
penduduk mencarinya.
Adalah Sholeh, seorang di antara penduduk yang turut mencari.
Sekitar jam 11 siang ia istirahat, berteduh. Merasa badannya
segar kembali, ia tertarik pada sepetak tanah yang berumput
hijau segar.
Sanusi
Ia mulai curiga. Dibantu dua temannya, Adun dan Rais, penggalian
diteruskan. Sampai pada kedalaman 1,5 mcter (garis tengah 1
meter) Sholeh menemukan sebuah kouk sabun. Di dalamnya terdapat
guci Tiongkok purba. Isinya harta karun mas-berlian. Para penemu
kemudian sepakat menyerahkan harta karun kepada pemerintah.
Sejak itu Sholeh bekerja sebagai tukang kayu di Jakarta.
Sampai suatu ketika datanglah Achmad Sanusi, pedagang kayu asal
Sukabumi menemui Sholeh di Desa Ciburuy. "Harta karun itu kita
urus," kata Sanusi. Sejak itu, 1952, dibentuk Panitia Penuntut
Keadilan Penyelesaian Harta Karun. diketuai Achmad Sanusi.
Belakangan yang tampil sebagai jurubicara bagi 26 penduduk
Ciburuy yang merasa ikut serta menemukan guci itu adalah Haji
Achmad Sudja'i, 60 tahun, pensiunan Kepala Dinas Penerangan
Agama Kabupaten Bogor. Adalah Sudja'i pula yang pernah
mengerahkan penduduk mencari sisa-sisa senjata Jepang di
perkebunan karet tadi. Kctika itu ia komandan lasykar Hizbullah,
merangkap Wakil Komandan Batalyon IX Brigade II
Pajajaran/Siliwangi untuk daerah Ciburuy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini