Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kriteria korban pelanggaran HAM berat yang berhak menerima bantuan pemerintah masih belum jelas.
Korban pelanggaran HAM berat menerima bantuan yang berbeda-beda.
Masih banyak korban 1965 dan peristiwa dukun santet yang belum terdata.
JAKARTA – Hilus Linuka, 53 tahun, baru hendak menyapa Presiden Joko Widodo dalam acara kick-off penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, Selasa kemarin. Tapi ucapan warga Wamena, Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua Pegunungan, itu tak terdengar hingga Jokowi mengakhiri komunikasi via Zoom tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Setelah korban Wasior, Presiden sudah memberi kami kesempatan. Tapi, saat baru mau masuk acara Zoom, tiba-tiba giliran kami selesai. Kami sangat kecewa,” kata Hilus kepada Tempo seusai acara kick-off itu, Selasa, 27 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hilus mengaku dirinya bersama sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat Wamena pada 2003 sudah datang jauh-jauh ke Hotel Greng, Wamena. Pemerintah mengumpulkan perwakilan korban peristiwa Wamena di Hotel Greng, lalu memfasilitasi pertemuan lewat daring dengan Presiden Jokowi.
Acara kick-off penyelesaian 12 pelanggaran HAM berat ini dipusatkan di Kabupaten Pidie, Aceh. Jokowi dan Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM) berada di Pidie. Perwakilan korban peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, pada 1989; insiden Simpang KKA, Aceh, pada 1999; dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh, pada 2003, hadir secara langsung.
Perwakilan korban pelanggaran HAM lainnya hadir secara daring, yang dipusatkan di beberapa daerah, baik di Jakarta; Palu, Sulawesi Tengah; Lampung, Lampung Barat; Semarang; Wamena; maupun Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Karena terhambat sinyal saat kick-off itu, Jokowi lantas menutup sesi tanya-jawab dengan perwakilan korban. "Koneksinya agak terganggu. Jadi, saya tutup saja. Terima kasih, terima kasih," kata Jokowi.
Menko Polhukam Mahfud MD (kiri) dan Presiden Joko Widodo menyerahkan santunan kepada para korban dan ahli waris korban pelanggaran HAM setelah peluncuran penyelesaian pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Gampong Bili Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, 27 Juni 2023. ANTARA/Khalis Surry
Hilus mengatakan korban peristiwa Wamena sesungguhnya hendak menyampaikan penolakan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Korban peristiwa Wamena tetap menghendaki pemerintah mempercepat penyelesaian secara yudisial, di samping melakukan pemulihan terhadap korban dan keluarga korban.
Korban peristiwa Wamena juga menghendaki penyelesaian insiden berdarah pada 4 April 2003 itu dengan melibatkan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebab, berkas pengusutan perkara Wamena sudah bolak-balik dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke Kejaksaan Agung, tapi Kejaksaan Agung tak kunjung melakukan penyidikan. “Selama 20 tahun ini, pemerintah seperti tidak ada keseriusan menyelesaikannya,” kata Hilus.
Situasi serupa dialami perwakilan korban peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II pada 1998-1999, peristiwa 1965-1966, penghilangan paksa 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998 yang berkumpul di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta. Mereka juga tak bisa menyampaikan aspirasi ke Presiden Jokowi dalam acara kick-off tersebut.
Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan—korban kerusuhan Mei 1998—mengatakan korban dan keluarga korban sesungguhnya menunggu sesi interaksi dengan Jokowi. Apalagi, sehari sebelumnya, mereka sudah melakukan gladi resik, yang di antaranya ada sesi tanya-jawab antara perwakilan korban dan Presiden Jokowi.
"Perwakilan kami tak bisa menyampaikan langsung ke Presiden Jokowi karena masalah teknis," kata Paian, kemarin.
Gagal bertanya ke Jokowi, kata Paian, perwakilan korban lantas menanyakannya ke anggota Tim PPHAM yang hadir secara offline di kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. Perwakilan korban menanyakan data korban peristiwa 1965 serta kriteria penerima bantuan.
Urusan kriteria ini ditanyakan karena delapan perwakilan korban yang hadir di Pidie ternyata mendapat bantuan yang berbeda-beda. Misalnya, ada keluarga korban yang hanya menerima jaminan kesehatan dan beasiswa pendidikan. Ada juga korban yang hanya dibangunkan rumah tanpa bantuan sosial lainnya. “Ini yang membingungkan," ujar Paian.
Pada kesempatan itu, kata Paian, anggota Tim PPHAM menjelaskan bahwa data korban sejumlah pelanggaran HAM berat memang belum lengkap. Anggota Tim PPHAM itu lantas berjanji bahwa kejelasan data korban akan rampung dalam sebulan ke depan.
Seorang pegiat HAM yang hadir dalam acara kick-off di kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan Ilham Aidit, anak dari D.N. Aidit, yang terlibat peristiwa 1965, mengajukan sejumlah pertanyaan kepada anggota Tim PPHAM. Ilham juga menanyakan kriteria korban yang berhak mendapat bantuan pemerintah dan kejelasan data korban. Namun anggota Tim PPHAM itu mengakui masih banyak korban yang belum terdata. Data korban hanya mengacu pada hasil investigasi Komnas HAM.
Aksi mahasiswa menuntut penuntasan penyelidikan kasus tragedi semanggi di depan Universitas Atmajaya, Jakarta, 2005. Dok Tempo/Donang Wahyu
Anggota Tim PPHAM, Ifdhal Kasim, mengakui masih banyak korban pelanggaran HAM berat yang belum didata, terutama korban peristiwa 1965 dan peristiwa dukun santet pada 1998-1999. Ia mengatakan Tim PPHAM merujuk pada data Komnas HAM, yang memang masih minim dalam mendata korban kedua peristiwa tersebut. "Setelah kick-off ini, kami akan melakukan pendataan lagi," kata Ifdhal.
Ia juga mengakui bahwa Tim PPHAM tidak menggunakan semua data korban versi Komnas HAM dalam memberikan bantuan pemerintah. Korban penerima berbagai bantuan pemerintah hanya mereka yang masuk dalam berita acara pemeriksaan Komnas HAM. “Nanti kami juga menggunakan data Komnas HAM yang belum di-BAP. Proses ini masih panjang," ujar Ifdhal.
Ifdhal tidak mengetahui secara pasti jumlah korban yang akan mendapat bantuan pemerintah lewat program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat ini. Ia juga mengakui adanya perbedaan jenis bantuan program pemulihan yang diterima setiap korban. Alasannya, bantuan pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan riil korban. "Misalnya, tidak semua korban memerlukan pelatihan atau modal kerja," kata dia.
Program Manager Asia Justice and Rights (AJAR) Indonesia, Mulki Makmun, mengatakan acara kick-off ini tidak semuanya mewakili suara korban. Sebab, korban tidak diberi kesempatan yang cukup untuk menyampaikan pelanggaran HAM yang mereka alami, dampaknya terhadap kehidupan mereka, serta harapan yang mereka inginkan. "Acara ini lebih terasa seperti acara penyerahan penghargaan. Hanya orang-orang beruntung dipilih untuk memenangi hadiah," kata dia.
Mulki menilai kegiatan tersebut terkesan terburu-buru sehingga tidak menghasilkan data korban yang jelas. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kebingungan di antara korban dan keluarga korban.
Ia pun meminta proses pendataan ini dilakukan melalui kerja sama dengan kelompok masyarakat sipil yang mendampingi korban. Mulki merujuk pada proses penyelesaian pelanggaran HAM di Filipina yang membentuk Victims Claim Board. Pemerintah juga bisa membentuk mekanisme submisi dari lembaga yang memiliki data, seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. “Pemerintah juga harus memastikan keamanan data korban, pelindungan bagi korban, dan kerahasiaan,” ujar Mulki. “Jangan sampai proses yudisial belum berjalan, korban justru diintimidasi pihak yang tidak menginginkan proses peradilan berjalan."
HENDRIK YAPUTRA | IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo