Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Hadi Poernomo meninggi ketika menjelaskan raibnya nama-nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam laporan audit investigatif proyek Hambalang tahap kedua. Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu, tak ditulisnya keterlibatan politikus bukan berarti nama mereka sengaja disembunyikan. "Saya memastikan BPK tetap independen," kata Hadi, Kamis pekan lalu.
Hadi menyanggah ada dua versi laporan audit investigatif proyek Hambalang tahap II. "Yang pasti, audit resmi adalah yang diserahkan ke DPR dan KPK," ujarnya. Faktanya, ada dua versi laporan audit Hambalang. Kedua sahifah dikeluarkan Badan Pemeriksa. Dokumen pertama dicetak pada Juli setebal 77 halaman minus lampiran. Yang kedua tertanggal 23 Agustus dengan jumlah halaman 108.
Laporan versi Juli menyebutkan 15 anggota Komisi Olahraga ikut memuluskan penambahan anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga, termasuk untuk proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor. Dalam audit tertanggal 23 Agustus, yang diserahkan ke DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi, nama mereka lenyap.
Peran ke-15 orang itu ditulis secara rinci pada audit pertama sepanjang 24 halaman. Menurut Badan Pemeriksa, mereka ikut menyetujui tambahan anggaran untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga meskipun belum dibahas dan ditetapkan dalam rapat kerja Komisi Olahraga.
Sembilan orang dari lintas fraksi meneken tambahan dana Rp 600 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010. Ditulis di laporan dengan inisial, mereka adalah Mahyuddin N.S., Rully Chairul Azwar, Hery Ahmadi, Abdul Hakam Naja, dan Angelina Sondakh. Ada juga Wayan Koster, Kahar Muzakir, Juhaini Alie, dan Mardiana Indraswari.
Berselang bulan, 12 orang menyepakati tambahan dana Rp 920 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011. Mahyuddin, Rully, Angelina, Koster, Kahar, dan Juhaini kembali membubuhkan paraf. Yang lain: Utut Adianto, Akbar Zulfakar, Eko Hendro Purnomo, Machmud Yunus, Hanif Dhakiri, dan Herry Lontung Siregar.
Wayan Koster menyangkal ikut meneken persetujuan anggaran. Heri Akhmadi dan Hakam Naja tak ingat pernah menyetujui anggaran itu. "Rapat anggaran selalu dipimpin oleh Mahyuddin atau Rully," kata Heri. Rully dan Utut mengatakan keputusan menyetujui anggaran itu melalui pembahasan dengan Kementerian. Pengacara Angelina Sondakh, Teuku Nasrullah, menolak berkomentar. Mahyuddin belum bisa dimintai konfirmasi.
Pembahasan anggaran dimulai sejak 20 Januari 2010 dalam rapat kerja Komisi Olahraga dengan Kementerian Olahraga. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng mengatakan sertifikat tanah Hambalang sudah dikantongi. Kementerian kemudian menyurati Komisi meminta tambahan anggaran untuk proyek Hambalang Rp 625 miliar dari bujet total Rp 2,5 triliun.
Setelah sekian kali rapat, pada 22 April, pemimpin Komisi Olahraga menyurati Badan Anggaran DPR perihal tambahan anggaran untuk Kementerian. Komisi mengklaim telah menggelar rapat dengan Kementerian sejak 12 hingga 15 April 2010. Topiknya: perubahan rencana kerja anggaran 2010. Berdasarkan hasil rapat, tambahan anggaran untuk Kementerian diusulkan Rp 900 miliar. Dalam pemeriksaan BPK, rapat mulai 12 hingga 15 April itu ternyata fiktif.
Usulan tambahan anggaran itu kandas jua. Dalam nota keuangan pemerintah, pagu tambahan anggaran hanya Rp 350 miliar—jauh dari yang diusulkan Komisi (Rp 900 miliar) dan yang diminta Kementerian (Rp 2,125 triliun). Jatah Rp 350 miliar itu pun hanya untuk membiayai SEA Games.
Kecewa hanya hinggap sebentar. Dalam rapat 29 April, Angelina Sondakh mewakili Kelompok Kerja Anggaran Komisi Olahraga menyampaikan kabar baik: ada tambahan Rp 600 miliar dari dana optimalisasi. Maka APBN Perubahan untuk Kementerian Olahraga menjadi Rp 950 miliar. Rapat mengamanatkan Komisi dan Kementerian bertemu lagi untuk membuat rincian anggaran.
Tapi rapat itu tak pernah ada. Meski begitu, Komisi Olahraga menyetujui detail anggaran tadi pada 3 Mei. Yang meneken sembilan anggota Komisi dan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. Anggaran dibagi untuk SEA Games dan Para Games Rp 515 miliar, Hambalang Rp 150 miliar, serta kegiatan kepemudaan Rp 285 miliar. Menurut BPK, di sinilah kesalahan anggota DPR: meneken rincian anggaran tanpa membahas dan menetapkannya dalam rapat dengan Kementerian.
Badan Pemeriksa juga menulis, ketika Angelina Sondakh mengumumkan ada tambahan Rp 600 miliar pada 29 April, alokasi itu sebenarnya belum diputuskan Badan Anggaran. Keputusan resmi diambil dalam rapat kerja Badan Anggaran pada 1 Mei. Tertera di audit, Angelina mengetahui informasi tambahan anggaran dari komputer Sekretariat Badan Anggaran.
Begitupun dalam pembahasan APBN 2011. Dua belas anggota Komisi Olahraga meneken persetujuan tambahan dana tanpa membahas rinciannya. Lembar persetujuan diedarkan anggota staf Sekretariat Komisi. Rapat 1 November 2010 hanya menyebutkan ada tambahan duit Rp 920 miliar sehingga total anggaran Kementerian Olahraga pada 2011 menjadi Rp 3 triliun. Dari Rp 920 miliar, proyek Hambalang dijatah Rp 500 miliar.
Itulah yang hilang dari laporan resmi audit Hambalang tertanggal 23 Agustus. Dalam laporan versi resmi ini, BPK mengganti bagian tentang DPR dengan menyorot lagi peran Agus Martowardojo, yang saat itu menjabat Menteri Keuangan, dan Anny Ratnawati, Wakil Menteri Keuangan yang waktu itu merangkap Direktur Jenderal Anggaran. Seperti ditulis dalam audit tahap pertama, dalam laporan kali ini pun mereka dituding ceroboh menyetujui kontrak tahun jamak yang diajukan Wafid Muharam.
Seorang sumber mengatakan lenyapnya bagian yang menyorot DPR dimulai dari Sidang Badan Pemeriksa—rapat anggota BPK—pada Juli lalu. Sidang itu membahas laporan audit versi Juli. Dalam pertemuan, kabarnya Hadi Poernomo berkukuh memasukkan proses penganggaran di DPR. Ini berarti nama dan peran Komisi Olahraga tercantum dalam laporan. Tapi usulan Hadi ditolak anggota yang lain. Dalih mereka, BPK tak berwenang menilai proses pengambilan keputusan di DPR.
Alasan sebenarnya lebih dari itu. Menurut sumber, ada anggota BPK yang berkepentingan mengamankan rekannya di DPR. Bukan kebetulan pula Agung Firman Sampurna, anggota V yang membidangi keuangan daerah, adalah putra Kahar Muzakir—anggota Komisi Olahraga dari Golkar. Ditanya soal kenapa nama dan peran anggota DPR hilang, Agung menjawab bahwa tidak ada draf versi Juli. "Informasi itu ngaco," ujarnya. "Kecuali ada dua BPK di negeri ini."
Ada pula anggota BPK masih butuh dukungan DPR supaya bisa menjabat dalam periode selanjutnya. Dari sembilan komisioner BPK, enam orang baru menjalani periode pertama. Mereka adalah Rizal Djalil, Ali Masykur Musa, Moermahadi Soerja Djanegara, Bahrullah Akbar, Agung Firman, dan Agus Joko Pramono. Tahun depan Rizal, Ali, dan Moermahadi habis masa jabatannya.
Hasan Bisri dan Sapto Amal Damandari sudah dua kali terpilih. Adapun Hadi Poernomo akan pensiun tahun depan karena umurnya sudah 67 tahun.
Sebagaimana Agung Firman, Bahrullah Akbar mengatakan hanya ada versi laporan audit lembaganya. Ia juga mengatakan tidak adanya nama anggota DPR bukan karena ada main mata. Hasan Bisri menolak berkomentar.
Anton Septian, Martha Thertina, Angga Sukma Wijaya, Sundari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo