DELAPAN tumpeng -- satu di antaranya kemudian dipotong Ketua
Kehormatan Ali Moertopo -- menandai sewindu usia CSIS (Pusat
Pengkajian Masalah-masalah Internasional dan Strategi) yang
diperingati Senin siang lalu. Sekitar 300 undangan hadir dalam
acara sederhana yang dilangsungkan di gedung lembaga yang
terletak di Jl. Tanah Abang 111 Jakarta itu.
Yang hadir lengkap, mewakili berbagai unsur perguruan tinggi,
anggota DPR, KADIN, pejabat tinggi pemerintah, bankir, pengusaha
dan pers asing. Di antara diplomat asing yang hadir tampak juga
Dubes AS Ed Masters.
Hanya beberapa menteri yang dikenal sebagai "orang dalam"
seperti Menteri Perindustrian A.R. Soehoed dan Memnud Cosmas
Batubara hadir dalam peringatan yang berlangsung satu setengah
jam itu. Tidak tampak tulisan atau poster. Karangan bunga dari
para relasi juga tidak banyak. Dan pidato ilmiah Ketua Dewan
Direktur Daoed Joesoef merupakan inti peringatan.
Didirikan 1 September 1971, CSIS dikenal sebagai salah satu
lembaga yang berpengaruh dan dekat dengan pemerintah. Beberapa
tokoh lembaga ini memang menduduki posisi penting di lembaga
pemerintah dan Golkar. Misalnya Menpen Ali Moertopo, Menteri P
& K Daoed Joesoef, Menmud Cosmas satubara, Mensos Sapardjo,
anggotta DPA Harry Tjan, Jusuf Wanandi dan David Napitupulu.
Perlu "Bapak"
Tapi menurut pengurusnya sendiri: "Ini adalah suatu lembaga
riset swasta yang bersifat non-profit," ujar Direktur Pelaksana
AMW Pranarka pada TEMPO. Dinaungi Yayasan Proklamasi, cikal
bakal lembaga ini adalah 2 kelompok sarjana Indonesia muda usia
di Eropa dan Jakarta yang sejak 1968 memulai kegiatan secara
informal. Antara lain Daoed Joesoef yang waktu itu ada di Paris
dan Harry Tjan Silalahi dkk. Sesudah kelompok Eropa pulang
dibentuk Yayasan Proklamasi.
"'Seperti biasa anak-anak muda ini butuh seorang bapak yang bisa
menyatukan dan bila perlu memberikan dorongan, perlindungan dan
bantuan keuangan," cerita Harry Tjan yang kini menjabat Wakil
Ketua Dewan Direktur. Dua orang militer yang dilihat bisa
menjadi "bapak" waktu itu adalah Ali Moertopo dan Soedjono
Hoemardani. Mereka berdua inilah yang kemudian diangkat sebagai
Ketua Kehormatan CSIS sampai kini.
Setelah CSIS banyak yayasan atau lembaga studi serupa yang
lahir. Misalnya Yayasan 17-8-1945 yang dipimpin B.M. Diah
Yayasan Bhinneka Tunggal Ika pimpinan II.M. Sonhadji, bekas
Direktur Utama PN Sandang Lembaga Studi Pembangunan pimpinan
Adi Sasono Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional pimpinan
Yusuf Ismail serta Imam Waluyo dan Yayasan Kesadaran
Berkonstitusi 1945 yang di antara pengurusnya terdapat Hugeng
Iman Santoso dan Mochtar Lubis.
Eratnya hubungan CSIS dengan kalangan pemerintah sering membuat
orang ragu pada keobyektifan hasil pengkajiannya. Tapi dibantah
para tokoh lembaga ini. "Cente pada asasnya tidak menampilkan
suatu sikap resmi atau rekomendasi-rekomendasi atas namanya
sebagai lembaga. Laporan dan analisa yang diterbitkan adalah
atas nama pribadi para penulisnya masing-masing. Centre hanya
bertanggungjawab atas mutu dan obyektivitas analisa-analisa yang
dihasilkannya," ujar Daoed Joesoef Senin siang lalu.
Selama 8 tahun CSIS telah mengadakan 30 seminar nasional,
bilateral dan multilateral yang diselenggarakan bersama berbagai
lembaga studi asing. Sekitar 30 judul buku telah diterbitkan
lembaga ini. Selain itu ada lagi Ringkasan Peristiwa, terbitan
dwipekan dan Analisa, terbitan bulanan. Yang dalam bahasa
Inggeris adalah The Indonesian Quarterly. Perpustakaan Lembaga
ini mempunyai sekitar 8000 judul buku terutama mengenai masalah
strategi dan hubungan internasional.
Bappenas
Dari mana sumber keuangan CSIS "Yayasan yang menyediakan
keuangan berdasar anggaran yang tiap tahun diajukan pada dewan
direktur," kata Harry Tjan. Dewan Direktur kemudian
membicarakannya dengan yayasan di mana duduk beberapa, pengusaha
yang mewakili kalangan bisnis. Para usahawan inilah yang
kemudian menyumbangkan iuran mereka. Menurut laporan keuangan
CSIS 1978, anggaran lembaga ini tahun lalu berjumlah Rp 233
juta.
Uniknya posisi CSIS sering mengundang serangan pada lembaga ini.
Misalnya tuduhan bahwa lembaga ini dikuasai "kelompok Katholik"
atau kelompok non-pri. Yang terakhir oleh drs AM Fatwa dalam
khotbah Idul Fitri yang menuduh lembaga ini sebagai "suatu
lembaga swasta tetapi peranannya dapat menandingi Bappenas."
Serangan seperti itu oleh pihak CSIS dianggap bukan baru. "Sudah
lama. Tapi kita buktikan bahwa CSIS beriktikad baik demi
kepentingan nasional," kata Harry Tjan. Bagaimanapun kerasnya
serangan yang dilontarkan tidak akan ditanggapi. "Lembaga ini
adalah lembaga studi. Kalau kita tanggapi bisa mengurangi esensi
kita sebagai lembaga studi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini