Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serangan, setelah 8 tahun

Csis, lembaga riset swasta, didirikan 1 sep'71 memperingati sewindu usianya. menerbitkan ringkasan peristiwa, analisa & the indonesian quarterly, lembaga ini dituduh dikuasai non-pri atau katholik. (nas)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPAN tumpeng -- satu di antaranya kemudian dipotong Ketua Kehormatan Ali Moertopo -- menandai sewindu usia CSIS (Pusat Pengkajian Masalah-masalah Internasional dan Strategi) yang diperingati Senin siang lalu. Sekitar 300 undangan hadir dalam acara sederhana yang dilangsungkan di gedung lembaga yang terletak di Jl. Tanah Abang 111 Jakarta itu. Yang hadir lengkap, mewakili berbagai unsur perguruan tinggi, anggota DPR, KADIN, pejabat tinggi pemerintah, bankir, pengusaha dan pers asing. Di antara diplomat asing yang hadir tampak juga Dubes AS Ed Masters. Hanya beberapa menteri yang dikenal sebagai "orang dalam" seperti Menteri Perindustrian A.R. Soehoed dan Memnud Cosmas Batubara hadir dalam peringatan yang berlangsung satu setengah jam itu. Tidak tampak tulisan atau poster. Karangan bunga dari para relasi juga tidak banyak. Dan pidato ilmiah Ketua Dewan Direktur Daoed Joesoef merupakan inti peringatan. Didirikan 1 September 1971, CSIS dikenal sebagai salah satu lembaga yang berpengaruh dan dekat dengan pemerintah. Beberapa tokoh lembaga ini memang menduduki posisi penting di lembaga pemerintah dan Golkar. Misalnya Menpen Ali Moertopo, Menteri P & K Daoed Joesoef, Menmud Cosmas satubara, Mensos Sapardjo, anggotta DPA Harry Tjan, Jusuf Wanandi dan David Napitupulu. Perlu "Bapak" Tapi menurut pengurusnya sendiri: "Ini adalah suatu lembaga riset swasta yang bersifat non-profit," ujar Direktur Pelaksana AMW Pranarka pada TEMPO. Dinaungi Yayasan Proklamasi, cikal bakal lembaga ini adalah 2 kelompok sarjana Indonesia muda usia di Eropa dan Jakarta yang sejak 1968 memulai kegiatan secara informal. Antara lain Daoed Joesoef yang waktu itu ada di Paris dan Harry Tjan Silalahi dkk. Sesudah kelompok Eropa pulang dibentuk Yayasan Proklamasi. "'Seperti biasa anak-anak muda ini butuh seorang bapak yang bisa menyatukan dan bila perlu memberikan dorongan, perlindungan dan bantuan keuangan," cerita Harry Tjan yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Direktur. Dua orang militer yang dilihat bisa menjadi "bapak" waktu itu adalah Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka berdua inilah yang kemudian diangkat sebagai Ketua Kehormatan CSIS sampai kini. Setelah CSIS banyak yayasan atau lembaga studi serupa yang lahir. Misalnya Yayasan 17-8-1945 yang dipimpin B.M. Diah Yayasan Bhinneka Tunggal Ika pimpinan II.M. Sonhadji, bekas Direktur Utama PN Sandang Lembaga Studi Pembangunan pimpinan Adi Sasono Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional pimpinan Yusuf Ismail serta Imam Waluyo dan Yayasan Kesadaran Berkonstitusi 1945 yang di antara pengurusnya terdapat Hugeng Iman Santoso dan Mochtar Lubis. Eratnya hubungan CSIS dengan kalangan pemerintah sering membuat orang ragu pada keobyektifan hasil pengkajiannya. Tapi dibantah para tokoh lembaga ini. "Cente pada asasnya tidak menampilkan suatu sikap resmi atau rekomendasi-rekomendasi atas namanya sebagai lembaga. Laporan dan analisa yang diterbitkan adalah atas nama pribadi para penulisnya masing-masing. Centre hanya bertanggungjawab atas mutu dan obyektivitas analisa-analisa yang dihasilkannya," ujar Daoed Joesoef Senin siang lalu. Selama 8 tahun CSIS telah mengadakan 30 seminar nasional, bilateral dan multilateral yang diselenggarakan bersama berbagai lembaga studi asing. Sekitar 30 judul buku telah diterbitkan lembaga ini. Selain itu ada lagi Ringkasan Peristiwa, terbitan dwipekan dan Analisa, terbitan bulanan. Yang dalam bahasa Inggeris adalah The Indonesian Quarterly. Perpustakaan Lembaga ini mempunyai sekitar 8000 judul buku terutama mengenai masalah strategi dan hubungan internasional. Bappenas Dari mana sumber keuangan CSIS "Yayasan yang menyediakan keuangan berdasar anggaran yang tiap tahun diajukan pada dewan direktur," kata Harry Tjan. Dewan Direktur kemudian membicarakannya dengan yayasan di mana duduk beberapa, pengusaha yang mewakili kalangan bisnis. Para usahawan inilah yang kemudian menyumbangkan iuran mereka. Menurut laporan keuangan CSIS 1978, anggaran lembaga ini tahun lalu berjumlah Rp 233 juta. Uniknya posisi CSIS sering mengundang serangan pada lembaga ini. Misalnya tuduhan bahwa lembaga ini dikuasai "kelompok Katholik" atau kelompok non-pri. Yang terakhir oleh drs AM Fatwa dalam khotbah Idul Fitri yang menuduh lembaga ini sebagai "suatu lembaga swasta tetapi peranannya dapat menandingi Bappenas." Serangan seperti itu oleh pihak CSIS dianggap bukan baru. "Sudah lama. Tapi kita buktikan bahwa CSIS beriktikad baik demi kepentingan nasional," kata Harry Tjan. Bagaimanapun kerasnya serangan yang dilontarkan tidak akan ditanggapi. "Lembaga ini adalah lembaga studi. Kalau kita tanggapi bisa mengurangi esensi kita sebagai lembaga studi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus