INI bukan berita buku baru, tapi ini baru berita buku. Hampir 1.000 judul dari 79 penerbitan swasta, yang sudah sekian lama beredar, dinyatakan "tak memenuhi syarat" untuk digunakan di sekolah. Pembuat vonis ini, Direktorat Sarana Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K. Pekan lalu, berita itu sampai pada penerbit. Dari sekian buku yang dinilai tak dipujikan itu, ada yang populer. Misalnya: Sewindu Dekat Bung Karno, karya Bambang Wijanarko, bekas ajudan presiden pertama itu. Sebuah buku pengantar puisi yang oleh para kritikus dianggap bermanfaat juga dinyatakan tak layak, yakni Puisi Indonesia Modern, susunan Ajip Rosidi. Ada juga buku yang disusun antara lain oleh seorang tokoh pendidikan yang tak asing bagi lingkungan P & K sendiri, Prof. Dr. Conny R. Semiawan, yakni Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Karena itu, banyak yang jadi penasaran. Tolok ukur apa yang dipakai P & K? "Sewindu Dekat Bung Karno sudah cetak ulang lima kali. Sekali cetak 10.000 eksemplar. Di mana letak ketaklayakannya?" tanya A.M. Sutartono, 44 tahun, Kepala Litbang Penerbitan Buku PT Gramedia. Direktur PT Dunia Pustaka Jaya, Yus Rusamsi, juga tak mengerti kenapa buku Puisi Indonesia Modern yang diterbitkannya masuk daftar tak memenuhi syarat. "Buku itu bukan untuk pelajaran, tapi penambah wawasan. Bisa dibaca oleh guru dan siswa," katanya. Kalangan penulis pun bingung. Eko Budiharjo, dosen arsitektur Undip, penyusun buku Arsitek Bicara tentang Arsitektur Indonesia yang juga ditaklayakkan menyatakan bukunya memang bukan pelajaran SMP atau SMA, "tapi untuk kalangan perguruan tinggi dan arsitek profesional." Ia heran buku itu dinilai oleh instansi yang mengurus pendidikan dasar dan menengah. Hal senada diutarakan Dr. Conny R. Semiawan, penyusun buku Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. "Menurut saya, itu salah alamat. Sebab, buku saya untuk mahasiswa tingkat sarjana," katanya. Apa jawab Direktur Sarana Pendidikan, H. Sumuan, sumber keputusan P & K itu? Jawabnya: yang dinilai instansinya tak terbatas pada buku bacaan SD hingga SMTA. Tapi diperluas, termasuk buku umum yang akan masuk ke perpustakaan sekolah, "sebagai bacaan guru". Acuan penilaian, katanya, "tak sembarangan". Ada kriteria dari segi "isi, bahasa, dan hankamnas", misalnya. Instansinya setiap tahun secara rutin melakukan penilaian (yakni pada April dan November) terhadap buku bacaan SD sampai SMTA. Hasilnya disampaikan kepada penerbit. "Bila ada yang tak layak, penerbit masih diberi kesempatan melakukan revisi," kata Sumuan. Menteri P & K Fuad Hassan (yang juga penulis) kepada TEMPO menyatakan bahwa tak benar penerbit tak pernah diberi kriterianya. Bila ada penerbit yang belum menerima penjelasan dari P & K, "yang harus ditanya adalah Ikapi", atau Ikatan Penerbit Indonesia. Fuad tak melarang sebuah perpustakaan sekolah memiliki koleksi buku lengkap. "Cuma mestinya koleksi disesuaikan dengan jenjangnya. Masa, misalnya perpustakaan SMP diisi dengan buku perguruan tinggi?" Menteri Fuad Hassan tentunya tak akan mengharamkan juga bila misalnya perpustakaan itu menerima sumbangan buku tingkat perguruan tinggi. Dan bila ada murid yang mencoba membaca buku itu, siapa tahu kelak ia terdorong belajar lebih hebat. Menteri (yang juga psikolog) mungkin akan setuju bila soal layak dan tak layak itu justru dijadikan bahan pelajaran sekolah di bidang kritik kepustakaan. Dan tim itu? Lebih baik menerbitkan majalah resensi, atau menulis timbangan buku di penerbitan terkemuka, dan dengan terbuka -- agar bisa juga dipelajari orang lain -- membahas ketaklayakan sebuah buku. Aries Margono, Sri Indrayati (Jakarta), dan Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini