MELAMPAUI usia 13 tahun - tanggal 13 April 1977 baru lalu -
memang belum banyak yang dapat dilihat di Propinsi Sulawesi
Tengah ini. ubernur AM Tambunan mengakui hal ini. Sebab,
katanya, sesungguhnya propinsi ini mulai take-off (terutarna
dalam bidang ekonomi) baru pada Pelita III nanti. Artinya mulai
saat itu potensi-potensi yang ada dan saat ini masih banyak
terpendam itu akan mulai menyembul dari seluruh permukaan.
Selama 13 tahun itu sendiri propinsi ini selalu bergelut dengan
keterkurungannya. Sebab sejak terbentuksebagai sebuah propinsi
di tahun 1964 hampir seluruh wilayah ini terpisah satu dengan
lainnya. Satu-satunya penghubung adalah laut, melalui
kapal-kapal nelayan atau kapal-kapal motor yang mampu
mengombang-ambingkan penumpang selama berhari-hari sebelum
mencapai tujuan. Bahkan hingga akhir Pelita I, dari 3 .500 km
seluruh jalur jalan, yang dapat digunakan secara memadai hanya
mencapai sekitar 19%.
Tak heran kalau waktu itu jarak antara Palu-Parigi yang hanya 84
km ditempuh dalam waktu 12 jam - jika pun kendaraannya selamat.
Sebab jalur jalan yang dilalui tak lebih dari jalan setapak
ditambah desakan arus sungai yang harus diseberangi langsung
karena tanpa jembatan. Sisanya alat penghubung melalui darat
antara kabupatensatu dengan lainnya lebih banyak harus
menggunakan kaki, manusia maupun kuda. Lebih dari itu, jalan di
dalam kota Palu sendiri (ibukota propinsi ini) waktu itu masih
jarang didapati jalan beraspal. Walaupun ada hanya berupa tanda
bahwa di sana beberapa tahun lampau pernah disiram aspal.
Trans Sulawesi
Beruntung bahwa walaupun dengan perlahan-lahan, hingga tahun
ke-3 Pelita II baru lalu sekitar 50'70 alat berlalu-lintas di
darat itu sudah terbenahi. Tentu jalur-jalur jalan ini belum
dapat dikatakan sudah licin beraspal seluruhnya. "Tapi sudah
cukup memadai untuk menghubungkan pusat-pusat ekonomi yang ada",
ucap Tambunan. Bahkan, kata Gubernur Sulawesi Tengah itu lagi,
secara relatif wilayah-wilayah yang dulu tertutup dan tak pernah
berkomunikasi dengan daerah luar, sekarang sudah terbuka.
Lebih-lebih jika diingat bahwa bersamaan dengan itu kota-kota
pelabuhan di pantai timur dan barat masingmasing sudah mempunyai
jadwal pelayaran tetap. "Satu hal yang barangkali tak pernah
diduga sebelumnya, ialah tiap kota kabupaten di sini sekarang
sudah memiliki lapangan terbang perintis", tutur Gubernur
Tambunan.
Masih soal sarana perhubungan darat, pembuatan jalur jalan trans
Sulawesi yang melintasi propinsi ini, agaknya akan menjadi urat
nadi utama jalan di sini. Jalan ini kelak akan membentang
sepanjang 610 km mulai dari perbatasan Sulawesi Utara menyusur
pantai Teluh Tomini, melintasi perut pulau ini sampai Tidantana
yang berbatasan dengan Sulawesi Selatan. Bukan saja di sekitar
jalur jalan ini kelak akan dihuni pal a transmigran, tapi 'yuga
akan menjadi pusat kegiatan ekonomi sekaligus menjadi lebih
strategisnya wilayah ini" - begitu Tambunan meramalkan.
Dengan penduduk 1.073.600 jiwa propinsi yang luasnya 68.033 kmÿFD
ini tentu masih terbilang daerah yang langka penghuni. "Soal
kekurangan penduduk ini merupakan masalah Sulawesi Tengah nomor
dua setelah persoalan perbaikan jalan", ucap Gubernur Tambunan
kepada TEMPO di rumah kediamannya di kota Palu pertengahan
April lalu. Dengan angka-angka tadi terlihat bahwa tiap kmÿFD
wilayah propinsi itu hanya dihuni oleh rata-rata 16 orang. Apakah
arti angka angka ini bagi pembangunan Sulawesi Tengah? "Jika ada
proyek yang terlambat di sini tentulah karena kekurangan tenaga
kerja, terutama tenaga ahli (skill)", kata Tambunan.
Tidak itu saja, dan jumlah penduduk tadi hanya sekitar 370.500
orang saja yang tergolong angkatan kerja. Dan karena kebanyakan
penduduk berdiam di pedesaan (sebagai petani, terutama petani
kelapa), tak heran jika proyek-proyek pembangunan langka dari
para pekerja. Sekarang apa akal? "Satu-satunya adalah menarik
tenaga kerja sebanyak-banyaknya kemari, terutama melalui
transmigrasi", ujar Tambunan. Di samping itu disebut juga
misalnya dengan cara mendidik tenaga-tenaga ahli tingkat
menengah. "Tapi juga hingga sekarang Pemerintah Daerah Sulawesi
Tengah masih terus memberikan bea siswa kepada
mahasiswa-mahasiswa jurusan teknik", tambah Gubernur Sulawesi
Tegah.
Oleh karena itu penghasilan transmigrasi di propinsi ini
termasuk yang mendapat tempat utama. Daerah ini termasuk di
antara 9 propinsi yang dalam tahun-tahun mendatang akan selalu
membuka diri bagi transmigrasi. Hingga akhir tahun 1976 lalu
telah tercatat 8.354 KK (38.060 jiwa) transmigran menempati
lokasi-lokasi utama di daerah ini. Mereka tersebar di Toili,
Tolai, Lembentonara, Mepanga, Ongka, Malonas, Momunu dan Parigi.
Tapi mengingat wilayah yang masih banyak belum terjamah, menurut
Tambunan, sampai akhir Pelita III nanti Sulawesi Tengah kan
mempersiapkan diri untuk menerima sekitar 50.000 KK transmigran.
Mereka selain akan mengisi daerah-daerah kosong di sekitar trans
Sulawesi, juga akan ditempatkan di lokasi-lokasi yang sudah
dicadangkan di Kabupaten Banggai.
Satu hal yang cukup besar pengaruhnya bagi propinsi ini sejak
kedatangan arus transmigrasi belakangan ini adalah dalam hal
persediaan bahan pangan beras. "Sejak 3 tahun terakhir ini kami
tak perlu membeli beras lagi dari luar daerah", tutur Tambunan
dengan sedikit bangga. Bahkan jenis pangan ini sudah dianggap
berlebih bagi daerah ini sendiri, sehingga tak sedikit yang
mengalir ke propinsi lain, terutama Kalimantan Timur. Menurut
Bupati Donggala. H. Aziz Lamadjito SH, kabupaten ini setiap
tahunnya menyediakan 17.000 ton beras untuk cadangan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini