Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Bendera Tak Berkibar

Organisasi Papua Merdeka tak lagi mengandalkan perlawanan gerilya. Tak ada tokoh sentral.

22 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEORANG melumuri wajahnya dengan cat merah, biru, dan putih. Di dadanya tergambar bintang putih dikelilingi warna merah. Di bawah bintang membujur lima garis berwarna biru, merah, dan putih.

Gambar di tubuh pria itu seolah menggantikan kehadiran bendera Bintang Kejora dalam perayaan Organisasi Papua Merdeka, di makam mantan pemimpin kemerdekaan Papua, Theys Hiyo Eluay. Perayaan pada awal Desember di Jayapura itu memang dirancang tanpa pengibaran Bintang Kejora.

Di akhir perayaan, beberapa orang melambaikan Bintang Kejora. Sejak jauh hari, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal F.X. Bagus Ekodanto melarang Bintang Kejora.

Toh, tanpa pengibaran bendera, Deklarasi Rakyat Papua, yang berisi pernyataan kedaulatan Negara Papua Barat pada 1 Desember 1961, dibacakan oleh Thaha Muhammad Alhamid. Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua itu juga menyatakan menolak hasil Penentuan Pendapat Rakyat 1969 di depan ratusan pengunjung yang memadati makam Theys.

Deklarasi kemerdekaan ini baru terdengar kembali setelah absen lima tahun. Hadir pula Ketua Dewan Presidium Papua Tom Beanal.

Tahun ini gerakan kemerdekaan Papua lebih berenergi. Pada 15 Oktober lalu, dibentuk International Parliamentarians for West Papua di kantor parlemen Inggris, di London. Organisasi ini mendapat dukungan dari anggota parlemen seluruh dunia.

Sejak reformasi 1998, Organisasi Papua Merdeka tak lagi mengandalkan kekuatan gerilya di hutan. Menurut mantan tokohnya, Nicholas Messet, gerilya Tentara Papua Nasional sudah tak kuat lagi. Kelompok ini tinggal di pedalaman Wamena dan Papua Nugini.

”Mereka tak punya senjata api, hanya panah dan busur,” kata Nicholas, Rabu pekan lalu. Tokoh Tentara Papua Nasional, Seth Rumkorem dan Yakob Hendri Prai, tinggal di luar negeri.

Setelah reformasi 1998, kelompok prodemokrasi dan pejuang hak asasi manusia mempengaruhi bentuk perjuangan mereka. Bagai jamur di musim hujan, terbentuk kelompok pejuang penegakan hak asasi manusia, hak perempuan, perjuangan hak masyarakat asli, dan pelestarian lingkungan hidup.

l l l

BENDERA bukan sekadar lambang perjuangan kemerdekaan. Bagi Organisasi Papua Merdeka, jenis bendera menentukan kelompok dan misi yang diemban. Gerakan perjuangan kemerdekaan Papua terbagi atas kelompok mayoritas, yang berbendera Bintang Kejora, dan kelompok bendera Bintang 14.

Kelompok Bintang 14 merayakan kemerdekaan 14 Desember 1988. Kelompok ini dipelopori Thomas Wainggai, yang meninggal 1996 di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Penerus gerakan Bintang 14 antara lain Jacob Rumbiak dan Herman Wainggai, yang kemudian mencari suaka politik ke Papua Nugini dan Australia.

Pada 2006, Herman membawa 43 orang Papua mencari suaka ke Australia. Belakangan, empat pencari suaka, yakni Hana Gobay, Yubel Kareni, Yunus Wainggai, dan Anike Wainggai, kembali ke Papua.

Gerakan Bintang 14 menginginkan Papua merdeka dan mempersatukannya dengan ras Melanesia yang tersebar di Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Vanuatu, dan Fiji.

Menurut Nicholas Messet, kelompok Bintang 14 otomatis melemah sejak Tomas Wainggai meninggal. ”Mereka hanya ramai di mailing list,” kata Nicholas. Kelompok turunan Bintang 14 bentukan Jacob Rumbiak yang masih kedengaran adalah West Papua National Authority.

Lembaga ini sedang mempersiapkan Kongres Otorita Nasional Papua Barat, tahun depan. ”Kami mau mempersatukan berbagai elemen prokemerdekaan,” kata Presiden Kongres Otorita, Pendeta Teriyoku.

Ada pula West Papua National Coalition for Liberation, yang juga berkiblat ke Bintang 14. Organisasi ini didirikan pada 20 Desember 2005 oleh Richard Yoweni.

l l l

BINTANG Kejora pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961 oleh Residen Belanda di Jayapura. Ketika itu, bendera berjulukan Bintang Fajar, Sampari, atau The Morning Star ini bersanding dengan bendera Belanda.

Kini setidaknya empat organisasi mengakui Bintang Kejora sebagai lambang kemerdekaan. Mereka adalah Dewan Adat Papua, Presidium Dewan Papua, International Parliamentarians for West Papua, dan beberapa kelompok mahasiswa.

Kongres Rakyat Papua, 29 Mei-4 Juni 2000, di bawah pimpinan Theys Eluay, menjadi cikal-bakal pembentukan Dewan Adat Papua dan Presidium Dewan Papua. Theys menjadi figur sentral.

Setelah Theys meninggal, pada 2001, salah satu tokoh pergerakan, Tom Beanal, mengisi posisinya. Sepanjang 2002-2007, Tom menjabat Ketua Dewan Adat Papua dan merangkap Ketua Presidium Dewan Papua.

Dewan Adat Papua mengklaim jumlah anggotanya puluhan ribu orang. Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus, mengatakan perwakilan Dewan Adat Papua meliputi tujuh wilayah adat, di antaranya daerah perbatasan Papua Nugini, Animha, dan Jayawijaya.

Menurut perwakilan Dewan Adat Papua untuk Asia Pasifik, Yorrys Raweyai, Dewan terus melakukan komunikasi internasional untuk mencari solusi atas berbagai masalah pelanggaran hak asasi manusia. Desakan kemerdekaan dari Dewan Adat Papua, kata Yorrys, adalah bagian dari proses politik.

Internasionalisasi isu penegakan hak asasi manusia juga diusung oleh International Parliamentarians for West Papua. Tokoh penggerak organisasi ini adalah eksil politik asal Wamena, Benny Wenda, dan pendeta Inggris, Richard Samuelson. Dua anggota parlemen Inggris, yakni Lord Harries of Pentregarth M.P. dan Hon. Andrew Smith M.P., dapat mereka pengaruhi.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan Widjojo, Benny Wenda juga berhasil membangun pengaruh di kalangan aktivis dan mahasiswa. Peresmian International Parliamentarians for West Papua pada Oktober 2008, yang di antaranya dipimpin Buktar Tabuni dan Dominggu Rumaropen, merupakan hasil koordinasi dengan Benny.

Pengaruh Benny diakui oleh aktivis mahasiswa Marten Goo. Benny Wenda, kata Marten, kerap membakar semangat mahasiswa dengan pengalaman hidup orang tuanya yang dibantai militer. ”Pada setiap pertemuan dan diskusi di mailing list dia menceritakan itu,” kata Marten.

Organisasi mahasiswa yang berkibar saat ini di antaranya Front Mahasiswa Papua, Aliansi Mahasiswa Papua, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah, dan Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat. Menurut Marten, selain mengandalkan aksi demonstrasi, mereka mensosialisasikan ide kepada masyarakat. ”Kami boleh dibilang sebagai penerang masyarakat,” katanya.

Menurut Muridan, organisasi perjuangan kemerdekaan yang ada di Papua sedikit melemah karena tak ada tokoh sentral setelah kematian Theys. Masalah kultur suku juga mempengaruhi kepemimpinan organisasi. ”Masing-masing ingin menjadi pemimpin,” katanya.

Kecenderungan ini, menurut dia, membuat organisasi kemerdekaan tak berbahaya. Namun konflik harus segera diakhiri. ”Bila pemerintah masih menerapkan kebijakan represif, mereka akan semakin eksis,” katanya.

Yuliawati, Tjahjono E.P. (Timika), Cunding Levi (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus