YANG Wakil Presiden yang tampan mirip bintang film Robert Redford -- itu datang dengan daftar acara yang padat. Dan Quayle, Wakil Presiden Amerika Serikat, yang baru dilantik pada 20 Januari lalu itu mampir ke Indonesia, pekan lalu, dalam rangkaian muhibah luar negerinya yang pertama ke kawasan Pasifik. Di Indonesia, kunjungan kerja Wapres Dan cuma tiga hari. Keterlambatan tibanya -- ia tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma pada pukul 21.15 malam, dua jam terlambat dari jadwal -- karena pesawat "Air Force 2", yang terbang dari Australia, mengalami gangguan teknis. Akibatnya, acara mengunjungi Presiden Soeharto di Istana dan Duta Besar AS di kediamannya, malam itu, dibatalkan. Keesokan harinya, kegiatan dimulai sejak pukul 7 pagi. Dalam acara makan pagi dengan kamar dagang AS (AMCHAM) di Indonesia itu. Quayle menegaskan komitmen pemerintahnya pada sistem perdagangan bebas. "Tujuan kami adalah untuk membuka pasar, bukan untuk menutupnya," katanya. Sekitar 650 tamu yang hadir pun bertepuk tangan. Maklum, Kongres AS mengancam akan mengeluarkan UU untuk melindungi produsen dalam negeri sebagai upaya menurunkan defisit perdagangan internasional AS. Dan ancaman ini cukup menakutkan bagi Indonesia yang baru menggalakkan pasar ekspornya di AS sejak tiga tahun lalu. Itu pun sudah tersandung oleh sistem kuota dan ancaman denda karena Indonesia memberikan subsidi pada ekspornya. Masalah perdagangan dan bantuan ekonomi ini didiskusikan secara lebih dalam pada acara berikutnya. Yakni pertemuan Quayle dengan Menteri-menteri Indonesia bidang Ekuin di Istana Negara. Rupanya pertemuan itu cukup bermanfaat, terbukti permintaan Menteri Pertanian Wardoyo agar minyak kelapa Indonesia yang diekspor ke AS tak perlu ditempel label "mengandung kolesterol kadar tinggi" dikabulkan Quayle. Selain itu, orang kedua AS ini juga menegaskan bahwa sistem perjanjian perdagangan tekstil RI-AS yang ada sekarang, Multi Fibre Arrangement (MFA), akan diintegrasikan ke sistem GATT. Ini berarti bahwa sistem kuota yang menghalangi ekspor Indonesia ke AS, terutama tekstil, akan menghilang dan diganti sistem tarif biasa. Sebaliknya, pihak AS mengharap agar Indonesia juga akan menjalankan ketentuan GA secara konsekuen, alias tak ada proteksi berbentuk nontarif. Hal lain yang juga diminta AS adalah perlindungan intellectual property rights, yang perjanjian bilateralnya telah ditandatangani dan akan berlaku mulai 1 Agustus nanti. Pemerintah AS berharap agar upaya Indonesia melindungi ntellectual property rights ini akan terus dikembangkan. Sedangkan Indonesia berharap agar pemerintah AS dapat memberikan "bantuan khusus", berupa kredit berbunga lunak, untuk meringankan beban utang Indonesia yang tahun ini naik dari US$ 1,5 milyar menjadi US$ 1,9 milyar itu. Rupanya pemerintah RI ingin mengulangi suksesnya mendapatkan kredit lunak dari Jepang, baru-baru ini. Namun jawaban AS mengenai bantuan khusus ini agaknya belum tuntas. Maklum, pemerintah Amerika Serikat sedang mengetatkan ikat pinggang karena defisit neraca perdagangannya belum terkontrol. Lagi pula -- secara politis -- Indonesia tidak termasuk negara "kesayangan", seperti Israel, Turki, Pakistan, dan Mesir. Ketika selama satu jam berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Alatas, Quayle sempat menanyakan masalah Timor Timur. Masalah Kamboja, hak asasi manusia, dan kebebasan pers, termasuk yang diperbincangkan. Masalah korupsi menjadi topik pembicaraan Wapres berusia 42 tahun ini dengan Wapres Sudharmono, sedangkan masalah keamanan dibicarakan dengan Menteri Pertahanan Keamanan L.B. Moerdani. Dalam kunjungannya ke Senayan, masalah sistem politik dibicarakannya dengan Ketua MPR/DPR Kharis Suhud. Sedangkan masalah alih teknologi dibicarakan dengan Menteri Riset & Teknologi B.J. Habibie -- yang didampingi Dr. Pratiwi Sudharmono. Kepada calon antariksawati Indonesia itu, Quayle menjanjikan bahwa pemerintah AS akan mengusahakan agar Pratiwi dapat mengikuti peluncuran ke ruang angkasa "sesegera mungkin". Alhasil, seperti dikatakan seorang pejabat senior Gedung Putih, "Wakil Presiden Quayle mengadakan sembilan pertemuan dalam satu hari". Yang terpenting, tentu saja, adalah pertemuan dengan Presiden Soeharto. Dalam pertemuan selama lebih dari satu jam itu -- padahal dijadwalkan hanya 30 menit -- tiga masalah penting dibicarakan. "Masalah Kamboja, perdagangan, dan hak. asasi manusia merupakan topik yang dibicarakan," kata pejabat senior itu. Termasuk di antara masalah hak asasi manusia itu adalah persoalan Timor Timur dan "kebebasan pers". Masalah hak asasi ini agaknya dianggap cukup penting. Terbukti Quayle menyempatkan diri menerima tiga tokoh nonpemerintah, antara lain H.J.C. Princen dan Garuda Hakim Nusantara. Dalam pertemuan selama setengah jam itu, Quayle lebih banyak mendengar daripada berbicara. "Ia tidak selalu setuju dengan yang diutarakan lawan bicaranya, namun ia mendengarkan untuk menunjukkan perhatiannya pada masalah hak asasi manusia," kata pejabat senior Gedung Putih itu. Selain lebih banyak mendengar, Quayle juga menegaskan bahwa ia tak sependapat untuk mengaitkan bantuan luar negeri AS dengan catatan hak asasi negara penerima bantuan. Ide mengaitkan bantuan luar negeri AS dengan masalah hak asasi ini sedang ramai dibicarakan di Kongres Amerika Serikat. "Saya pikir, itu ide yang bodoh," kata Quayle. Quayle berharap. keadaan politik Indonesia akan terus berkembang seperti bidang ekonominya. "Keterbukaan di bidang ekonomi harus diiringi juga dengan keterbukaan di bidang politik," kata Quayle, seperti dituturkan oleh pejabat senior Gedung Putih itu kepada pers.Yudhi Soerjoatmodjo & Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini