Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Penghancur Hujan Dari Semanggi

Kelompok yang menamakan diri "the blue hydrolight" mengaku telah menemukan alat untuk menangkal & membuat hujan, dinamai: ser-18-f. ada beberapa ahli meragukan alat itu. PT Jasa Marga memanfaatkannya.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Penghancur Hujan Dari Semanggi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BENTUKNYA silinder panjang mirip bazooka. Pagi itu, ia ditongkrongkan di teras loteng rumah Alphonsus P. Lolong, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dengan cekatan Alphons, 70 tahun, mengatur posisi "bazookanya", yang disangga tripot itu. Batang "senjata" itu dia geser-geser, hingga moncongnya menghadap ke arah barat daya, dengan sudut sekitar 45 derajat. Lantas, mata Alphonsus menatap tajam ke arah langit, seakan mencari sasaran untuk dibidik. Tapi, sayang, "Sasaran tak muncul pagi ini," ujar pensiunan kolonel TNI-AL itu. Sasaran yang diincar Alphonsus bukan pesawat terbang atau helikopter, tapi awan hitam. Soalnya, selama Maret-April lalu ia diserahi tugas -- untuk mengamankan kawasan udara sepanjang jalur proyek jalan tol dan jembatan layang Semanggi-Grogol -- terhadap ancaman "serangan air dari udara". "Tugas saya menjaga agar hujan tidak jatuh di sekitar proyek itu. Jadi, awan yang mengantung di atasnya harus dihancurkan," kata Alphonsus. Caranya? "Dengan ini," kata Alphonsus sembari menepuk-nepuk "bazookanya". Order penghancuran awan di sepanjang jalur Semanggi-Grogol itu, kata Alphonsus, datang dari PT Jasamarga, sebagai pemilik proyek jalan tol itu. "Kontrak uji-cobanya 50 hari, dan habis akhir April lalu." tutur Alphonsus. Hasilnya? "Cukup memadai". Jawaban ini dari Ir. Adi Soewito, 56 tahun, pensiunan pegawai PU, yang bersama Alphons membentuk tim penangkal hujan The Blue Hydrolight. Selama instrumen unik itu dioperasikan, "Hujan jarang turun di jalur emanggi -- Grogol," kata Adi. Instrumen "canggih" penangkal hujan itu. kata Adi, asli buatan kelompok Blue Hydrolight. Mereka menamai alat itu SER-18-f. "Selain untuk menghancurkan awan, alat ini bisa juga digunakan mendatangkan hujan", ujar Adi, sarjana Hydrologi lulus Jepang. Di punggung SER-18-f itu memang terdapat dua panil, satu untuk menghancurkan awan, yang lain untuk membuat hujan. Selain mudah ditenteng, SER (Selected Electro Radiation)-18-f itu gampang dioperasikan. Tinggal panjangkan antena di moncong alat itu, lalu tekan tombol. Kalau mau menolak hujan, tekan tombol di ujung belakang. Sebaliknya, jika mau mendatangkan hujan, tombol di tengah yang ditekan. Di dalam perut silender SER-18-f itu terdapat bermacam-macam komponen. Yang terpenting transmiter, kumparan kawat yang melilit batuan "Alphonsium", dan batere 12 volt. Dari batu "Alphonsium", kata Adi, bisa muncul foton panas dan foton dingin. Foton dingin dipakai sebagai penghancur awan, sedangkan yang panas bermanfaat untuk mendatangkan hujan. Kedua jenis foton itu bisa dikontrol lewat tombol yang ada. Istilah foton panas-dingin tak pernah dijumpai di buku-buku fisika. Lalu, batu jenis apa pula "Alphonsium" itu? Jangan kaget, itu diambil dari nama Alphonsus Lolong. "Batu itu kami ambil dari pantai Laut Kidul (selatan)" ujar Deden Sadikin, wiraswastawan asal Bogor, yang dianggap sebagai "otak" kelompok Blue Hydrolight itu. Ikan-ikan laut, kata Deden, suka ngumpet di balik batu "Alphonsium" itu. "Karena batu itu bisa memancarkan hawa dingin," tuturnya. Alat "ajaib" itu pernah pula dibawa ke UI, untuk dimintakan pengesahan ilmiah. Tapi Dr. Parangtopo, dekan Fakultas Matematika & Ilmu Pasti Alam, menolak. "Soal itu di luar kemampuan disiplin ilmu yang kami miliki," ujarnya. Bahkan Parangtopo menganggap prinsip kerja SER-18-f itu condong ke "ilmu pawang hujan". Klaim Alphonsus bahwa "bazookanya" mampu menangkal hujan, juga sangat diragukan oleh Dr. Bayong Tjasyono, pakar meteorologi ITB, yang seumur-umur tak pernah mendengar alat sejenis SER-18-f itu. "Mana landasan teoretisnya," kata Tjasyono, "kalau alat itu sanggup menangkal hujan pada bulan-bulan Desember-Februari, itu baru ampuh. "Di luar bulan basah itu, memang, orang lebih mudah mengklaim bisa menolak hujan. "Ini 'kan soal probabilitas," tambah Tjasyono. Namun Ir. Muharyanto, Kepala Divisi Pembangunan PT Jasamarga, yakin betul akan keampuhan alat itu. "Landasan teorinya memang belum ada, tapi kita jangan buru-buru menolaknya," ujar alumnus Teknik Sipil ITB 1970 itu, sembari membandingkannya dengan gejala "reaksi fusi pada suhu kamar" yang kini sedang diributkan di Amerika dan Eropa. "Ingat, reaksi fusi itu belum ada teorinya, tapi orang telah melihat gejalanya," tambahnya. Tampaknya Jasamarga sangat yakin akan kesaktian alat itu. Ketika menimbun tubuh jembatan layang itu dengan tanah, para pelaksana proyek haqul-yakin bahwa hujan tak akan datang, karena Alphons telah bersiaga dengan "bazookanya". Maka perut jembatan layang itu pun ditimbun dengan tanah sebanyak 80 rit truk. Tiba-tiba hujan besar turun. Padahal tak selembar plastik pun disiapkan untuk menutupnya. Akibatnya, tanah timbunan itu melumpur dan proses pemadatannya tertunda 4 - 5 hari. Apa kata Muharyanto? "Sebagai aparat Jasamarga, saya menilai bahwa uji-coba alat itu gagal. Tapi sebagai pribadi, saya menganggapnya berhasil," ujarnya. Ia mencatat, tingkat kegagalan SER-18-f hanya sekitar 10%. "Ketika peluang gagal yang 10% terjadi, kebetulan kami sedang mengerjakan penimbunan," ujarnya. Muharyanto berniat akan tetap memberikan perusahaan berupa Letter of Satisfaction (pernyataan puas) untuk Alphonsus dkk, walau tanpa imbalan uang. Dia pun setuju dengan hipotesa Alphonsus bahwa di dalam perut SER-18-f itu terjadi reaksi fusi, walau belum tersedia teori untuk menjelaskannya. Kalau ditanya soal landasan teori, Alphonsus memang bungkam. Soal rumus? "Ada," kata Deden Sadikin yakin, sembari menunjukkan sebuah corat-coret angka dan huruf, yang mirip kode SDSB. "Rumus ini datang dari bisikan alam semesta," tutur Deden. Kemudian dalil ajaib itu dimatematikakan pula oleh Deden. Sayang, logika matematikanya sulit dimengerti. Kendati dilindungi oleh "bazooka" Alphonsus, selama April lalu, menurut catatan Meteorologi, Jalur Semanggi-Grogol menerima curah hujan sebanyak 280 mm lebih tinggi dibandingkan dengan April 1988 dan 1987 yang masing-masing 208 mm dan 250 mm. Sementara itu, rata-rata jangka panjang curah hujan bulan April di kawasan itu hanya 133 mm. Putut Tri Husodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus