Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Rahasia

Semakin banyak seseorang menyimpan rahasia, semakin kuat dia. maka para penguasa pun dengan sengaja memilih bahasa yang tak bebas. yang diucapkan adalah kaliman klise yang beku dan impersonal.

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULUT kamu, kata sebuah pepatah lama, harimau kamu. Dapat kita bayangkan masyarakat macam apa yang telah melahirkan diktum seperti itu: sebuah masyarakat yang mencekam. Sebab tiap kali orang salah mengucap--setiap kali mulutnya mengutarakan hal yang tak seharusnya dikemukakan -- tiap kali pula bencana mencaplok. Harimau itu seakan menunggu untuk mengerkah kepala kita. Ada seorang Rusia yang melarikan diri ke Barat dan kemudian bercerita tentang pipa. Pipa, baginya, adalah suatu alat untuk menyembunyikan mulut. Dengan pipa di bibir ia dapat mencegah mulut itu memberi isyarat dan mengungkapkan isi hatinya yang benar. Di masyarakat yang tak punya keleuasaan mengekspresikan isi hati, orang emang harus mendisiplinkan diri agar tak nampak. Sastrawan nya Ehrenburg, yang termasyhur dan dihormati Stalin, pun punya sajak rahasia yang hanya dibacakannya di depan sahabatnya. "Seperti setangkai kembang yang tersembunyi," tulis rekannya, Pablo Neruda, tentang sajak itu, ia "menjaga kelembutannya buat diri sendiri." Banyak sekali kembang (dan juga duri) yang tersembunyi di suasana seperti di masa itu. Hukuman dan kesalahan jadi sangat gampang, rahasia jadi barang paling berharga. Rahasia telah begitu rupa hingga ia ibarat tabung oksigen di laut dalam. Hanya dengan itu orang dapat hidup terus. Sebaik ia bocor, orang yang seharusnya menjaganya hanya punya satu pilihan: habis. Dengan demikian, semakin banyak seseorang menyimpan rahasia, semakin kuat dia. Maka para penguasa pun dengan sengaja memilih bahasa yang tak bebas. Yang diucapkannya adalah kalimat klise yang beku dan impersonal. Bahasa itu jadi semacam alat menyembunyikan pribadi. "Merupakan previlese para raja untuk menjaga rahasia mereka dari bapak, ibu, saudara, istri dan teman-teman," demikian tulis sebuah naskah tua dari zaman Persia, RisalaH Tentang Mahkota. Konon Stalin pada suatu hari mengundang seorang rekan lamanya. Orang ini sebelumnya santer didesas-desuskan akan kena pembersihan. Dengan cemas ia datang. Stalin memeluknya, mesra. Si rekan terharu. Ia pulang dan dengan istrinya minum untuk keselamatan yang baru saja didapatkannya. Tapi pada saat itu pintunya diketuk orang. Polisi rahasia datang, menangkapnya, lalu menyeretnya ke pembuangan. Pada saat orang sadar ia tak berdaya menebak apa yang direncanakan sang penguasa, la pun akan merasa seperti makhluk lata di depan iradah Tuhan. "Kerahasiaan berada tepat di inti kekuasaan," tulis Elias Caneti, pemenang Hadiah Nobel 1981 untuk kesusastraan, dalam eseinya Kerumunan dan Kekuasaan. Dan, sebagaimana dicontohkan Caneti pula, kerahasiaan memisahkan orang dari yang lain. Ia menimbulkan bukan saja jarak (yang perlu bagi wibawa kekuasaan), tapi juga perpecahan (yang perlu bagi keunggulan kekuasaan). Caneti berkisah tentang Raja Chroesus. Tak menyukai eratnya persahabatan dua punggawanya, sang raja menggunakan akal. Kepada si A ia bisikan bahwa sahabatnya, si B, akan kena hukuman. Ini rahasia yang tak boleh diungkapkan, pesan baginda. Bila si B sampai tahu, si A sendiri yang akan kena tindak. Hasilllva si A terpecah dari si B, dan Chroesus n)entJuasai mereka. RAHASIA memang milik si hewan pemburu, yang berbaring rendah menanti mangsanya. Ia membisu. Ia tak nampak. Entah di mana, ia menyimak siapa yang lengah. Ia telah siap lebih dulu menerkam. Seorang diktator yang ditakuti karena itu selalu dekat dengan dinas rahasia--dengan Savak atau dengan KGB. Tapi, sebagaimana diutarakan Caneti juga, tiap rahasia adalah eksplosif. Ia "berkembang dengan panas batinnya sendiri," seperti born. Dan seperti bom, ia akan mencelakakan banyak orang. Tapi meletus atau tidak, kerahasiaan memerlukan kebisuan, dan kediam-dirian pada akhirnya mengisolasi. Percakapan akan mustahil. Pipa akan dipasang di bibir. Topeng akan dikenakan. Kita tak akan bisa lagi membedakan mana pujian dan mana penjilatan, mana kehangatan dan mana tipu daya. Mulut kita harimau kita, mengerkah kepala kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus