MULUT kamu, kata sebuah pepatah lama, harimau kamu.
Dapat kita bayangkan masyarakat macam apa yang telah melahirkan
diktum seperti itu: sebuah masyarakat yang mencekam. Sebab tiap
kali orang salah mengucap--setiap kali mulutnya mengutarakan hal
yang tak seharusnya dikemukakan -- tiap kali pula bencana
mencaplok. Harimau itu seakan menunggu untuk mengerkah kepala
kita.
Ada seorang Rusia yang melarikan diri ke Barat dan kemudian
bercerita tentang pipa. Pipa, baginya, adalah suatu alat untuk
menyembunyikan mulut. Dengan pipa di bibir ia dapat mencegah
mulut itu memberi isyarat dan mengungkapkan isi hatinya yang
benar.
Di masyarakat yang tak punya keleuasaan mengekspresikan isi
hati, orang emang harus mendisiplinkan diri agar tak nampak.
Sastrawan nya Ehrenburg, yang termasyhur dan dihormati Stalin,
pun punya sajak rahasia yang hanya dibacakannya di depan
sahabatnya. "Seperti setangkai kembang yang tersembunyi," tulis
rekannya, Pablo Neruda, tentang sajak itu, ia "menjaga
kelembutannya buat diri sendiri."
Banyak sekali kembang (dan juga duri) yang tersembunyi di
suasana seperti di masa itu. Hukuman dan kesalahan jadi sangat
gampang, rahasia jadi barang paling berharga. Rahasia telah
begitu rupa hingga ia ibarat tabung oksigen di laut dalam. Hanya
dengan itu orang dapat hidup terus. Sebaik ia bocor, orang yang
seharusnya menjaganya hanya punya satu pilihan: habis.
Dengan demikian, semakin banyak seseorang menyimpan rahasia,
semakin kuat dia. Maka para penguasa pun dengan sengaja memilih
bahasa yang tak bebas. Yang diucapkannya adalah kalimat klise
yang beku dan impersonal. Bahasa itu jadi semacam alat
menyembunyikan pribadi. "Merupakan previlese para raja untuk
menjaga rahasia mereka dari bapak, ibu, saudara, istri dan
teman-teman," demikian tulis sebuah naskah tua dari zaman
Persia, RisalaH Tentang Mahkota.
Konon Stalin pada suatu hari mengundang seorang rekan lamanya.
Orang ini sebelumnya santer didesas-desuskan akan kena
pembersihan. Dengan cemas ia datang. Stalin memeluknya, mesra.
Si rekan terharu. Ia pulang dan dengan istrinya minum untuk
keselamatan yang baru saja didapatkannya. Tapi pada saat itu
pintunya diketuk orang. Polisi rahasia datang, menangkapnya,
lalu menyeretnya ke pembuangan.
Pada saat orang sadar ia tak berdaya menebak apa yang
direncanakan sang penguasa, la pun akan merasa seperti makhluk
lata di depan iradah Tuhan. "Kerahasiaan berada tepat di inti
kekuasaan," tulis Elias Caneti, pemenang Hadiah Nobel 1981 untuk
kesusastraan, dalam eseinya Kerumunan dan Kekuasaan. Dan,
sebagaimana dicontohkan Caneti pula, kerahasiaan memisahkan
orang dari yang lain. Ia menimbulkan bukan saja jarak (yang
perlu bagi wibawa kekuasaan), tapi juga perpecahan (yang perlu
bagi keunggulan kekuasaan).
Caneti berkisah tentang Raja Chroesus. Tak menyukai eratnya
persahabatan dua punggawanya, sang raja menggunakan akal. Kepada
si A ia bisikan bahwa sahabatnya, si B, akan kena hukuman. Ini
rahasia yang tak boleh diungkapkan, pesan baginda. Bila si B
sampai tahu, si A sendiri yang akan kena tindak. Hasilllva si A
terpecah dari si B, dan Chroesus n)entJuasai mereka.
RAHASIA memang milik si hewan pemburu, yang berbaring rendah
menanti mangsanya. Ia membisu. Ia tak nampak. Entah di mana, ia
menyimak siapa yang lengah. Ia telah siap lebih dulu menerkam.
Seorang diktator yang ditakuti karena itu selalu dekat dengan
dinas rahasia--dengan Savak atau dengan KGB.
Tapi, sebagaimana diutarakan Caneti juga, tiap rahasia adalah
eksplosif. Ia "berkembang dengan panas batinnya sendiri,"
seperti born. Dan seperti bom, ia akan mencelakakan banyak
orang.
Tapi meletus atau tidak, kerahasiaan memerlukan kebisuan, dan
kediam-dirian pada akhirnya mengisolasi. Percakapan akan
mustahil. Pipa akan dipasang di bibir. Topeng akan dikenakan.
Kita tak akan bisa lagi membedakan mana pujian dan mana
penjilatan, mana kehangatan dan mana tipu daya. Mulut kita
harimau kita, mengerkah kepala kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini