NATUNDUHON Siregar alias Tunduk kini punya gelar baru: Nero. Seperti kaisar Romawi itu, yang memperoleh hiburan dengan membakar kota Roma, Tunduk pun merasa memperoleh kenikmatan dengan membakar bangunan. Akhir Desember lalu, Tunduk mulai diadili di Pengadilan Negeri Padangsidempuan, 371 km dari Medan. Jaksa A. Hafi mendakwa perjaka 36 tahun itu membakar 12 rumah di Simpang Simangambat, serta 10 masjid Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sum-Ut, 325 km dari Medan, pada 17 Juni 1988. Kebakaran dimulai lewat magrib, berawal dari rumah -- juga toko perabot, milik Fahmi Harahap, di pasar Sipirok. Sekejap, api menjalar ke mana-mana, dibantu angin kencang dari kaki Gunung Sibual-buali. Api cepat marak karena umumnya rumah dan toko-toko di pasar itu terbuat dari dinding papan yang sudah tua, beratap seng. Istri Fahmi bergelut dengan api, ketika dia berusaha memadamkan si jago merah serta menyelamatkan barang-barang jualannya. Ketika api padam lima jam kemudian, mayat istri Fahmi ditemukan hangus terbakar. Dan 190 rumah dan toko di pasar itu ikut terbakar, rata dengan bumi. Pada saat api marak di pasar Sipirok itu, 10 masjid di 7 desa di kecamatan itu bergiliran terbakar. Bermula di Desa Simaninggir, dan berakhir di Desa Bulu Mario. Ketujuh desa itu tak jauh dari pasar Sipirok. Yang paling jauh, Desa Baringin, 5 km dari pasar Sipirok. Dua jam setelah kobaran api di pasar Sipirok padam, 12 rumah di Simpang Simangambat musnah terbakar. Menurut jaksa, Tunduk hanya membakar rumah di Simpang Simangambat dan ke-10 masjid tadi. Saksi-saksi yang dikutip jaksa mengatakan, Tunduk lari kencang dari satu desa ke desa lain membakar masjid-masjid tersebut. Sayangnya, tak seorang pun penduduk pada malam itu melihat cara Tunduk -- seperti diakuinya membakar masjid itu. Lebih dahulu Tunduk mengumpulkan semua tikar sembahyang, kain-kain pembatas saf laki-laki dan perempuan. Benda-benda itu dibawanya ke menara masjid masing-masing, lalu dibakarnya. Tercatat 214 rumah yang musnah, di antaranya belasan rumah yang terpaksa dirobohkan untuk memutus kobaran api. Kerugian Rp2 milyar. Pemeriksaan di Polda Sum-Ut dan Bakorstanasda di Medan tak membuat Tunduk mengaku tindakannya karena pengaruh politik. Dukun pun dipanggil untuk mempengaruhi Tunduk. Tak juga mempan. "Kalau kalian tak percaya, lepaskan aku, biar kota Medan kubakar," kata Tunduk. Setelah sejumlah pemeriksaan selama 45 hari, akhirnya disimpulkan bahwa Tunduk bertindak sendirian. "Saya membakar pasar itu, supaya segera dibangun yang baru," kata Tunduk di persidangan. Ia membantah dakwaan jaksa. "Seluruh bangunan itu aku yang bakar," kata Tunduk, yang tak lulus SMP itu. Empat tetangga Tunduk, yang disangka satu komplotan, turut diperiksa. Sebelum pembakaran itu, keempat penduduk Desa Simaninggir itu mengadakan rapat. Namun, mereka tak lagi diperiksa, setelah ada keyakinan, penduduk Desa Simaninggir tersebut melakukan rapat untuk membentuk koperasi. Menurut Tunduk, dia prihatin melihat pasar Sipirok dan Simpang Simangambat yang tak maju. Semua rumah dan toko yang ada di sana dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Tunduk ingin agar pasar Sipirok yang berjarak 200 meter dari Simpang Simangambat, dan wilayah sekitarnya, punya bangunan bertingkat. Rumah Tunduk, di Desa Simaninggir, 1,5 km dari pasar Sipirok. "Wilayah itu kebanggaan saya," kata Tunduk Tunduk menghilang dari desanya setelah kebakaran itu. Dua hari kemudian, Tunduk, anak kedua dari lima bersaudara itu, ditangkap anggota Koramil ketika tidur nyenyak d kolong tempat tldur, karena kekenyangan makan. Soripada Siregar, 20 tahun, adik Tunduk, melaporkan abangnya itu tertidur di rumahnya, kepada Koramil setempat. Menurut jaksa, perbuatan Tunduk, pemuda setinggi 155 cm itu diduga untuk menjalankan ilmunya. Merantau sejak 1971 sampai 1987 ke Aceh dan Sumatera Selatan, Tunduk konon berguru pada delapan dukun. Sekali-sekali, dia pulang kampung. Di desanya, dia suka mencuri ayam, sepeda, dan bekal orang yang bekerja di sawah. Orang-orang kampungnya percaya, Tunduk bisa menghilang kalau memakai baju merah. Gelarnya pun "si baju merah". Dia pun disebut sakti. Ramli Piliang, penduduk Sipirok, pernah menyaksikan parang yang dibuat dari per mobil, digulun-gulungnya dan dibikin gelang. Tunduk pun dikabarkan bisa masuk ke ruangan terkunci. Awal 1988, Tunduk yang kurus pulang ke kampungnya. "Saya mau jadi orang baik-baik," katanya. Caranya? Tunduk mau beternak ayam. Dia pun meminta-minta ayam tetangga untuk dipelihara. Sayangnya, belum seekor pun ayam diperolehnya, niatnya membakar itu muncul. "Pikiran itu saya dapat, setelah menenggak minuman keras," katanya. "Ada yang berbisik, supaya saya membakar Sipirok." Maka, bak Kaisar Nero, Tunduk membakari kotanya. Tapi di persidangan jaksa balik tak percaya kepada Tunduk, yang berkulit kuning itu. Menurut Tunduk, rumah Fahmi Harahap tadi -- sumber api pertama, dibakarnya dari depan. Padahal, menurut jaksa, rumah itu mulai terbakar di ruang tengah. "Mereka lupa mematikan kompor," kata jaksa. Sakitkah Tunduk? "Dia sehat, jawabannya tetap," kata sumber TEMPO. Kini, sementara Tunduk terus disidangkan, pembangunan pasar Sipirok yang baru yang lebih modern -- seperti yang diimpikan Tunduk -- sedang giat dilakukan. Bahkan awal Januari lalu, Gubernur Sum-Ut, Raja Inal Siregar, meletakkan batu pertama pembangunan sebuah hotel berbiaya Rp1,5 milyar di Sipirok. "Itu bukan karena tuntutan Tunduk," kata sumber TEMPO di kantor Bupati Tapanuli Selatan. MS & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini