INI bukan sebuah lelucon. Tapi data yang serius. Pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mamboro, Palu, Sulawesi Tengah, ternyata sebagian besar adalah guru. Menurut dr. Lucas dari RSJ tersebut, dari 319 pasien yang mengalami gangguan kejiwaan di RSJ itu sejak pertengahan tahun lalu, tercatat lebih dari 70% adalah guru yang berdomisili di kawasan Provinsi Sulawesi Tengah. Baik guru SD, SMTP, maupun SMTA. Kalangan pedagang dan masyarakat biasa hanya 20%, sisanya pegawai dan anggota ABRI. Pasien pertama RSJ ini, Saiful Manshur, 50, seorang guru SD dari Toli-toli. Pengajar tua ini agak kortsluiting gara-gara berhasrat besar menjadi penilik sekolah dan kepala kantor Departemen P & K di wilayah kerjanya. Apa mau dikata, cita-cita itu tampaknya terlalu tinggi, dan cuma membawanya ke RSJ. Mungkin menyadari beratnya stres yang bisa dipikul guru, Kepala Kanwil Departemen P k K Provinsi Sulawesi Tengah, menjelang akhir tahun ini merencanakan karya wisata dan rekreasi. Biaya ditanggung bersama pemerintah daerah. Berita itu memang menggembirakan. Menurut Sabaruddin, 35, guru di sebuah SMTP Palu, pekerjaan pendidik itu sebenarnya sederhana dan ringan. Tinggal, tergantung manusianya. "Kalau tidak mau stres, ya, harus mau menerima kenyataan, karena dalam profesi ini tidak ada obyekan atau catutan," katanya. Celakanya, ada saja yang suka mengganggu ketenteraman para guru, yang gajinya pas-pasan itu. Misalnya, sejak bulan September lalu, gaji setiap guru dan karyawan se-Kecamatan Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, dipotong Rp 2 ribu hingga 5 ribu, tergantung golongan masing-masing. Pemotongan itu untuk membangun kantor Dinas P & K baru, mengingat mulai tahun ini tidak ada subsidi lagi. Sejak semula, baik guru maupun karyawan berkeberatan dengan kutipan tersebut. Selain tanpa dimusyawarahkan, "Yang membuat hati kami tidak enak, caranya itu lho, terlalu memaksa," kata seorang guru yang enggan disebutkan namanya. Tak cuma gaji, soal birokrasi bisa membuat para guru puyeng. Ambil saja contoh yang terjadi di Jawa Tengah baru-baru ini. Sejumlah guru SD yang memperdalam pengetahuannya di IKIP terpaksa gigit jari, karena ijazah kesarjanaannya belum diakui sesuai dengan jenjang kepangkatannya, hanya karena sewaktu kuliah mereka tak minta izin atasan. Rupanya, soal surat izin itu yang dipermasalahkan. Aturan itu muncul sejak Agustus lalu, di mana setiap guru yang meneruskan sekolah harus mengajukan surat izin belajar kepada Gubernur, lewat Dinas P dan K yang terlebih dahulu direkomendasikan oleh Kantor P dan K setempat. Padahal, sebelumnya lewat surat edaran BAKN pada November 1984, guru SD diberi hak yang sama dengan pegawai sipil lainnya untuk mencapai golongan 4 A bila memenuhi syarat. Dulu hanya terbatas hingga 3 A. Tentu ketentuan itu disambut gembira, sehingga mereka berbondong-bondong nyambi kuliah. Eh, tak tahunya ada juga birokrasi tingkat daerah yang berbeda dengan tingkat nasional. Siapa tidak stres? Memang belum ada riset lebih lanjut, terutama hal apa saja yang membuat para guru di Palu terpaksa masuk RSJ. Melihat perbandingan jumlahnya dengan pasien dengan profesi non-guru, tampaknya ada sesuatu dalam pekerjaan guru ini. Fuad Hassan, Menteri P & K, kebetulan juga seorang guru besar psikologi, tapi -- mungkin karena kehatl-hatiannya -- ia belum bersedia memberikan tanggapan untuk kasus Palu. "Sebentar, saya akan menelepon ke Sulawesi Tengah, dulu," katanya, lewat ajudannya. Siapa tahu ada resep pencegah stres untuk guru dari Menteri P & K sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini