Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 menjadi momen bersejarah yang mengubah perjalanan bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teks proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno di di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, tidak hanya merupakan deklarasi kemerdekaan tetapi juga simbol kebangkitan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, siapa sebenarnya tokoh yang berperan dalam mengetik teks proklamasi tersebut? Jawabannya adalah Sayuti Melik, seorang tokoh muda yang memiliki peran penting dalam momen bersejarah ini. Berikut profil dan perjalanan hidup Sayuti Melik.
Profil Sayuti Melik
Dikutip dari buku Seri Pengenalan Tokoh: Sekitar Proklamasi Kemerdekaan, Sayuti Melik merupakan seorang tokoh perintis kemerdekaan yang juga dikenal sebagai wartawan.
Ia lahir dengan nama Mohammad Ibnu Sayuti pada 25 November 1908 di Sleman, Yogyakarta. Nama Melik merupakan nama samaran yang ia gunakan di Semarang sekitar tahun 1938 pada majalah Pesat.
Ayah Sayuti Melik bernama Partoprawiro atau yang lebih dikenal dengan panggilan Dulmaini, seorang bekel jajar (jabatan pamong praja pada tingkat desa di daerah Yogyakarta pada zaman Kolonial Belanda). lbunya bernama Sumilah, seorang pedagang kecil yang berjualan kain di pasar.
Sayuti Melik mempunyai istri bernama Surastri Karma Trimurti atau lebih di kenal dengan S. K. Trimurti, seorang tokoh pers nasional. la juga mempunyai dua orang putra bernama Musafir Kurma Budiman dan Heru Baskoro.
Pendidikan dan Awal Karier
Sayuti memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro setingkat SD di desanya hingga kelas IV dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di Yogyakarta. Ia melanjutkan ke Sekolah Guru di Solo antara tahun 1920-1924.
Namun, di usia 17 tahun atau tepat beberapa bulan sebelum studinya selesai, ia dikeluarkan karena ditangkap polisi rahasia Belanda. Meskipun begitu, penangkapan ini tidak mematahkan semangatnya untuk belajar secara otodidak.
Dalam kurun waktu tersebut, Sayuti mulai tertarik di bidang politik. Awalnya ia mengikuti pelajaran dan ceramah tokoh reformis Islam seperti K.H. Ahmad Dahlan. Namun, kemudian ia lebih terinspirasi oleh Haji Misbach, seorang propagandis komunis.
Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, ia sempat belajar di Universitas Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik walau hanya sebentar. Di tahun 1923, ia mulai menulis di surat-surat kabar seperti Islam Bergerak yang terbit di Solo, Penggugah terbit di Yogyakarta, Sinar Hindia terbit di Semarang.
Saat itu ia berharap tulisannya bisa mempengaruhi pendapat masyarakat karena isi tulisannya banyak mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Namun, pada waktu itu sebagian besar masyarakat masih buta huruf.
Berkali-kali Dipenjara
Sebagai pejuang, sebagian hidup Sayuti Melik dinikmati di balik jeruji besi. Ia tercatat beberapa kali masuk penjara semasa kekuasaan kolonial Belanda, semasa pendudukan Jepang, bahkan ketika bangsa Indonesia sudah merdeka.
Pada 1924, Sayuti sempat ditahan selama beberapa hari dipenjara Ambarawa karena menggelar rapat politik. Pada tahun 1926, ia kembali ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PKI. Setahun kemudian, ia diasingkan ke Boven Digoel dan baru dibebaskan pada tahun 1933.
Pada tahun 1936, ia ditangkap oleh intelijen Inggris dan dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari Singapura, Belanda kembali menangkapnya dan membawanya ke Jakarta, di mana ia dipenjara di Gang Tengah pada tahun 1937-1938.
Selama masa pendudukan Jepang, pada tahun 1942, Sayuti ditahan dengan tuduhan menyebarkan pamflet Partai Komunis Indonesia (PKI) dan baru dibebaskan menjelang Proklamasi Kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan Indonesia atau pada Maret 1946, ia ditahan di Madiun oleh pemerintah Republik Indonesia dan dipindahkan ke Solo. Pada Juli 1946, ia kembali ditangkap di Yogyakarta atas perintah Amir Syarifuddin karena diduga terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946 yang bertujuan menggulingkan pemerintahan. Namun, setelah pemeriksaan oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948, Sayuti Melik kembali ditangkap dan dipenjara di Ambarawa. Ia baru dibebaskan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) selesai.
Pada tahun 1965, ia kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait tulisan bersambungnya berjudul "Belajar Memahami Soekarnoeisme", yang bertujuan mengingatkan agar kepemimpinan Bung Karno tidak ditunggangi oleh PKI.
Peran Sayuti Melik dalam Proklamasi
Dalam proses perumusan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik turut berperan penting. Naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikonsep oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo, sementara Sukarni turut membantu menyelaraskan berbagai pendapat.
Dalam proses penyusunan naskah itu yang banyak berbicara adalah Bung Hatta dan Mr. Achmad Soebardjo, sedangkan Bung Karno yang menulisnya. Coretan-coretan oleh tangan Bung Karno pada konsep naskah yang ditulisnya itu adalah hasil dari perundingan mereka bertiga.
Namun setelah konsep naskah proklamasi selesai, terjadi perdebatan mengenai siapa yang seharusnya menandatangani naskah. Sayuti Melik lalu mengusulkan agar teks proklamasi ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Usulan ini diterima dan Sayuti kemudian mengetik naskah tersebut dengan menggunakan mesin tik pinjaman dari kantor Laksamana Maeda.
Saat mengetik, Sayuti juga membuat beberapa perubahan kecil, seperti mengganti frase "Wakil-wakil Bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama Bangsa Indonesia" dan menambahkan nama Soekarno-Hatta di akhir teks. Karena waktu yang mendesak, naskah ketikan tidak dibuat rangkap, sehingga hanya ada satu salinan resmi yang dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi di rumah Laksamana Maeda di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Pilihan Editor: Peran Tiga Sosok Penting saat Upacara Bendera Pertama