Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sayuti Melik menjadi salah satu pahlawan nasional yang berperan besar dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengetik teks proklamasi yang ditandatangani Soekarno dan Mohammad Hatta.
Profil Sayuti Melik
Dilansir dari Seri Pengenalan Tokoh Sekitar Proklamasi Kemerdekaan (2010) oleh Direktorat Nilai Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sayuti Melik merupakan seorang Perintis Kemerdekaan yang berjuang sejak zaman Kebangkitan Nasional sampai zaman Orde Baru. Ia dilahirkan di Desa Kadilobo, Renjondani, Sleman, Yogyakarta pada 25 November 1908.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama aslinya sejak lahir adalah Mohamad Ibnu Sayuti. Namun, ja dikenal dengan panggilan Sayuti atau Yuti. Sedangkan Melik merupakan nama samaran yang digunakan di Majalah Pesat, Semarang, sekitar 1938-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata Melik dalam bahasa Jawa (melik-melik) yang artinya kecil tapi tampak dari jauh. Ayahnya bernama Partoprawiro, lebih dikenal dengan sebutan Dulmaini yang berprofesi sebagai bekel jajar (jabatan pamong praja tingkat desa di Yogyakarta pada era kolonialisme Belanda). Ibunya bernama Sumilah, seorang pedagang kain di pasar.
Sayuti Melik menikahi Surastri Karma Trimurti atau lebih dikenal dengan sapaan S.K. Trimurti, seorang wartawan nasional. Dari pernikahannya itu, ia memiliki dua orang putra, yaitu Musafir Kurma Budiman dan Heru Baskoro.
Pendidikan Sayuti Melik dimulai dari Sekolah Ongko Loro (setingkat Sekolah Dasar) di Srowolan sampai kelas IV dan dilanjutkan sampai mendapatkan ijazah di Yogyakarta. Pada 1920-1924, ka meneruskan ke Sekolah Guru di Solo.
Beberapa bulan sebelum studinya tuntas, Sayuti ditangkap oleh Polisi rahasia Belanda sehingga terpaksa dikeluarkan dari sekolah saat berusia 17 tahun.
Jejak perjuangan Sayuti Melik
Meski berhenti sekolah, semangat belajar Sayuti Melik tidak pernah hilang. Ia selalu membawa semboyan “berjuang sambil belajar”. Sementara itu, ketika masih berstatus sebagai pelajar, semboyan yang dimilikinya adalah “belajar sambil berjuang”.
Sayuti juga mulai tertarik pada bidang politik setelah mengikuti ceramah-ceramah tokoh reformis Islam sekaligus pendiri Muhammadiyah, yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Namun, ternyata ia lebih memilih berguru kepada Haji Misbach, seorang propagandis komunis.
Pada 1923, Sayuti Melik mengawali kariernya sebagai tokoh pers. Beberapa tulisannya dimuat di Islam Bergerak yang diterbitkan di Solo, Penggugah di Yogyakartandan Sinar Hindia di Semarang. Ia berharap tulisannya yang banyak mengkritik Pemerintah Kolonial Belanda dapat memengaruhi pendapat masyarakat. Sayangnya, sebagian besar masyarakat saat itu masih buta huruf.
Sebagai pejuang, sebagian hidupnya dihabiskan di balik jeruji besi, baik semasa kekuasaan Belanda, Jepang bahkan ketika Indonesia merdeka. Beberapa catatan pahit yang pernah dialaminya, yaitu ditahan di Ambarawa karena dituduh menggelar rapat politik, ditangkap Belanda atas tuduhan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926 dan dibuang ke Boven Digoel.
Proses Perumusan Naskah Proklamasi
Ada tiga tokoh yang menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan, yaitu Soekarno atau Bung Karno, Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo. Selain itu, ada dua orang lagi yang duduk di meja perundingan, yaitu Sukarni dan Sayuti Melik. Sedangkan peserta rapat lainnya duduk terpisah agak jauh.
Dalam proses mengonsep, Bung Hatta dan Achmad Soebardjo lebih banyak berbicara, sedangkan Soekarno yang menulis. Coretan-coretan tangan Presiden pertama RI itu lalu dibacakan di hadapan peserta rapat. Namun, salah satu tokoh yang hadir, yaitu Chaerul Saleh dengan lantang mengatakan, “Kami golongan pemuda tidak sudi menandatangani naskah bersama dengan orang Jepang itu.” Yang dimaksud orang Jepang adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Guna menghindari ketegangan, Sayuti Melik dan Sukarni berusaha mempertemukan argumen dari semua pihak. Sayuti mengingat kejadian 15 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, saat orang-orang mendesak Bung Karno untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Atas dasar itu, Sayuti menyarankan agar naskah proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah mendengar usul, Soekarno meminta Sayuti mengetiknya dengan beberapa perubahan ejaan.
MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: 10 Pahlawan Kemerdekaan Indonesia dan Profil Singkatnya