Tubuh yang renta tak menghalanginya untuk terbang ke Timur Tengah. Paus Yohanes Paulus II, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, bersilaturahmi ke komunitas muslim di Syria, komunitas Kristen Ortodoks di Yunani, selain menemui sekitar 200 ribu umat Katolik di Malta. Perjalanan selama enam hari yang berakhir Rabu pekan lalu itu adalah bagian dari perjalanan milenium Gereja Vatikan. Juga untuk napak tilas perjalanan Santo Paulus, orang suci abad pertama.
Langkah Paus yang bakal berusia 81 tahun pada 18 Mei ini memicu kontroversi. Di lingkaran dalam Vatikan sendiri, Paus harus menjelaskan panjang lebar soal kunjungan itu. Sambutan yang tak bersahabat juga muncul dari sebagian penganut Kristen Ortodoks di Yunani dan umat Islam di Syria, dua negeri yang pernah terluka oleh perang agama.
Toh Paus jalan terus. Di Syria, yang berpenduduk mayoritas muslim, kedatangan Paus disambut Mufti Besar Suriah Sheikh Ahmad Kaftaro. Kunjungan itu bersejarah karena untuk pertama kalinya seorang pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma menginjakkan kakinya di Masjid Omayyad, Damaskus. Bagi umat Katolik, masjid itu juga bersejarah, karena bangunan itu bekas Katedral Byzantin.
Apakah Paus datang untuk mengakui Islam sebagai agama wahyu, sebagaimana Islam bersikap terhadap Kristen? Tak sampai sejauh itu. Namun, dalam pidatonya, Paus menyuarakan pesan perdamaian. "Karena dulu orang Islam dan Kristen pernah saling menyerang, kita perlu memohon ampun kepada Yang Mahakuasa dan berharap masing-masing sekarang saling memafkan," kata Paus.
Soal hubungan yang sensitif antara Katolik dan Kristen Ortodoks juga mencuat dalam kaitan kunjungan Paus ke Yunani, negeri dengan 98 persen penduduknya beragama Kristen Ortodoks (Eastern Ortodox). Perpecahan antara kedua agama itu menghunjam ke masa lalu yang jauh.
Pada tahun 451, gereja menyelenggarakan Konsili Kalkedonia tentang ketuhanan. Mereka memperdebatkan apakah Yesus manusia atau Tuhan. Perbedaan tafsir muncul. Ada yang mempercayai bahwa Yesus adalah manusia sekaligus Tuhan, sedangkan lainnya meyakini bahwa Yesus adalah manusia. Akibat perbedaan tafsir itu, gereja terpecah menjadi Gereja Roma, Byzantin atau Barat, dan Gereja Kristen Ortodoks atau Timur. Nama ortodoks dipakai untuk menunjukkan bahwa mereka menganut ajaran agama yang asli.
Bagaimana persisnya perpecahan itu? Menurut cendekiawan Katolik Frans Magnis Suseno, secara resmi gereja timur dan barat berpisah pada 1074. "Mereka tidak berkomunikasi dengan alasan sepele," kata Magnis. Pihak timur tidak mau mengakui kedudukan patriarki Gereja Roma, sementara pihak barat memandang hal itu merupakan keharusan.
Hubungan buruk antargereja juga dipengaruhi politik. Kerajaan Romawi pada abad IV terpecah. Bagian timur berpusat di Konstantinopel dan bagian barat berpusat di Roma. Ketika bagian barat hancur, Kekaisaran Romawi baru di bawah pimpinan Jerman berdiri. Ketika Perang Salib berkecamuk, tentara gereja barat menjarah Konstantinopel pada 1202. "Itulah perbuatan buruk Kristen barat yang paling diingat kaum Kristen timur," kata Magnis. Dan sejuah ini, gereja barat tidak pernah meminta maaf.
Ketegangan hubungan antara Katolik Roma dan Kristen Ortodoks masih berlangsung hingga kini. Di wilayah Polandia Timur, Ukraina, dan Lithuania, kekerasan sering terjadi. Selama ini pihak timur menuntut agar Paus meminta maaf atas penyerbuan gereja barat terhadap Konstantinopel. Gayung bersambut. Dalam kunjungan ke Yunani itu, Paus memohon maaf atas kesalahan masa lalu umat Katolik. Apa maknanya? "Lawatan ini memecahkan es di antara dua kubu," kata Magnis.
Langkah Paus yang rendah hati itu bukan yang pertama. Sebelum itu tokoh kelahiran Polandia itu pernah meminta maaf (mea culpa) atas kesalahan gereja yang "menutup mata" atas kekejaman Nazi terhadap kaum Yahudi, yang dikenal dengan peristiwa Holocaust. Tahun lalu Paus juga mengunjungi Yerusalem, kota suci bagi agama Islam, Yahudi, dan Kristen, serta menyerukan pesan perdamaian bagi ketiga agama monoteis itu.
Kelik M. Nugroho, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini