KALAU ada pemilihan menteri paling ''vokal'' dalam Kabinet Pembangunan V, pasti Menteri Dalam Negeri Rudini berada di peringkat pertama. Pernyataan yang dilontarkan arek Malang ini selalu keras, tajam, dan langsung ke sasaran. Ungkapan-ungkapannya, dalam bahasa pers, quotable, alias selalu layak untuk dikutip. Belum lagi genap setahun menjadi menteri, dari kantornya di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, sudah terdengar tonjokan tajam untuk kalangan berduit di negeri ini. Kata Rudini, tanah dan bangunan di daerah akan disita oleh negara bila pajaknya tak dibayar sang pemilik, yang biasanya berdomisili di kota-kota besar. Dalam nada yang sama, Rudini juga melempar ide yang lebih keras: rumah mewah dengan tanah luas yang tak produktif yang dijulukinya white house milik orang kota agar dikenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara khusus. Bila perlu, besar pajak itu 100 kali tarif biasa. ''Rumahnya saja miliaran rupiah, maka pantas kalau dikenai pajak 200 juta,'' kata Rudini. Sayangnya, kemudian ide ini tak terdengar bergulir lagi. Dan kata-kata Rudini kemudian seperti tertelan oleh gemuruh pembangunan rumah-rumah kelas wah di seantero negeri. Di Jakarta, salah satu contohnya, dibangun perumahan mewah Pantai Indah Kapuk yang belakangan dikritik ahli lingkungan karena menggusur hutan bakau. Hasil kerja Rudini tak hanya statement atau imbauan. Dia juga menentukan masa jabatan bupati dan wali kota dibatasi hanya sekali. Seorang bupati atau wali kota masih mungkin memerintah dua kali masa jabatan, tapi dengan kriteria prestasi yang sangat mencolok. Dalam menjalankan ketentuan ini Rudini bersikap tegas dan lugas. Beberapa wali kota dan bupati, yang diusulkan oleh DPRD setempat untuk memegang jabatan yang kedua kalinya, ditolak Rudini. DPRD dimintanya mengajukan calon baru. Contoh paling menarik terjadi ketika Bupati Bogor Soedradjat Nataatmadja terpilih oleh sidang DPRD untuk masa jabatan kedua. Rudini menolak nama ini. Akhirnya nama baru muncul sebagai bupati. Terobosan politik lain dibuat Rudini dalam hal pemilihan gubernur. Jenderal purnawirawan ini menghapuskan budaya calon pendamping yang tugasnya sekadar mengantar jago yang sudah ditetapkan akan menjadi gubernur. Maka akibat kebebasan ini para calon gubernur yang tampil selalu seimbang, lalu pemilihan gubernur belakangan ini misalnya di Sumatera Barat atau Sulawesi Tenggara terasa lebih riuh-rendah. Benarkah pemilihan menjadi lebih demokratis? Ichlasul Amal, Dekan Fisipol UGM Yogyakarta, menganggapnya belum demokratis. Alasannya, pusat masih menyeleksi lima nama calon gubernur yang diajukan daerah, untuk menjadi hanya tiga nama. ''Dalam penentuan dari lima menjadi tiga itu, daerah sepenuhnya tak berperan. Kalau tiga nama yang dipilih bukan yang mendapat dukungan paling besar, lantas bagaimana?'' ujar doktor ilmu politik dari Monash University, Australia, itu kepada R. Fadjri dari TEMPO. Masih ada konsep lain yang dibuat Rudini: soal otonomi daerah. Menurut dia, daerah otonom itu seharusnya berada di tingkat dua atau kabupaten, karena yang memiliki daerah dan rakyat adalah kabupaten dan kota madya. DPRD yang merupakan wadah wakil rakyat hanya ada di tingkat dua. Provinsi akan menjadi daerah administratif saja. Konsep ini akan menghemat dana dan membuat sistem administrasi jauh lebih ramping. Konsep otonomi gaya Rudini ini juga dipertanyakan Ichlasul Amal. ''Rudini akan berhadapan dengan sistem pemerintahan yang sudah build in. Jadi tak mungkin Rudini bisa merealisir ide untuk memberikan hak-hak kepada daerah tingkat dua,'' kata Amal. Toh ada juga nilai plus untuk Rudini. Ichlasul Amal melihat Rudini berhasil mengerem ikut sertanya birokrasi dalam Pemilu. ''Semua orang merasakan Pemilu menjadi lebih demokratis karena instruksi dan restriksi khususnya dari Rudini,'' ujar Amal lagi. Rudini memang sudah mencoba menjadi wasit yang baik. Dan itulah kenangan yang akan terus melekat pada seorang Rudini. Akankah arek Malang ini terus membantu Soeharto? Itu tergantung nilai plus-minus Rudini yang kini ada di kantong Presiden Soeharto. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini