BALI kini mempunyai "sekolah untuk raja". Namanya SMA Siddha Mahan, berada di Desa Sidemen, kaki Gunung Agung, tapal batas Kabupaten Karangasem dan Klungkung. "Berdirinya SMA Siddha Mahan itu merupakan tuntutan sejarah. Sebab, ide itu lahir karena Desa Sidemen, menurut sejarahnya, adalah tempat menuntut ilmu sastra, agama, dan kesenian para calon pemuka agama dan raja," kata Gusti Lanang Kebon, Wakil Ketua Yayasan Siddha Mahan, kepada TEMPO. Selain itu, daerah terpencil tersebut agaknya memang sangat memerlukan sebuah SMA. Desa itu sangat jauh dari SMA, baik yang di Kota Karangasem maupun Klungkung. Atas pertimbangan itu, maka didirikan sebuah sekolah umum. Namun, yang lebih penting lagi, lembaga pendidikan itu harus juga berfungsi sebagai tempat pewarisan tradisi, adat, dan budaya Bali. SMA Siddha Mahan didirikan 1987, atas kerja sama dengan sebuah yayasan di Swiss, "Basel Berterima Kasih pada Bali" (Basel Thanks Bali. Hubungan Sidemen dan Swiss tumbuh sejak 70 tahun lalu, ketika Tom Maier, warga Swiss, tinggal di desa itu. Hubungan intim kemudian diteruskan seorang antropolog, Dr. Urs. Ramseyer, yang banyak menulis soal Bali. Yayasan itu membantu pembangunan gedung dan biaya operasional SMA "plus' itu sampai 1992. Puncaknya, Sabtu 7 April lalu, Dubes Swiss Bernard Freymond dan beberapa pejabat Provinsi Bali menghadiri acara peresmian pembangunan tahap pertama gedung SMA itu. "Yayasan itu punya tujuan unik, tanpa menghilangkan identitas Bali," kata Sardjono Sigit, Direktur Sekolah Swasta Departemen P dan K yang hadir dalam peresmian itu, kepada TEMPO. Statusnya masih terdaftar. Sekolah itu menggabungkan kurikulum SMA umum dan pelajaran tradisional. "Di sekolah ini diajarkan menulis huruf Bali di daun lontar, masalah persubakan, dan dasar-dasar arsitektur Bali atau Asta Kosala-kosali," kata Kebon. Di samping itu, masih ada lagi pelajaran bahasa Jawa kuno (Kawi), fabuh (karawitan), tari, kerajinan tangan, pertanian tradisional, adat, pengobatan tradisional (usadha), sejarah dan sastra Bali. Pelajaran yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali, kata kepala sekolah Dewa Gde Raka, diberikan paling banyak 4 jam sehari. Itu pun dilakukan di luar jam pelajaran berdasarkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Para siswa dilibatkan langsung dengan kegiatan adat, budaya dan keagamaan sebagai bagian pelajaran "ekstra kurikulum SMA". "Kecuali bahasa daerah, yang diberikan dalam kurikulum sebagai muatan lokal Bali," kata Raka. Jumlah siswa seluruhnya 210 orang. Pertama kali pendaftaran masuk 1987. Ketika itu, semua siswa berasal dari Desa Sidemen. Kini SMA itu dibagi menjadi tujuh kelas untuk kelas I sampai III. Kelas III, sebanyak dua kelas, sudah menempati gedung baru yang diresmikan 7 April lalu. Sementara itu, kelas I dan II masih meminjam gedung SD yang berada di dekat kompleks. Setelah dua tahun, ternyata banyak juga siswa yang datang dari luar desa. Bahkan ada yang tak beragama Hindu. "Kami memang tak membatasi siswa cuma yang berasal dari Sidemen atau yang beragama Hindu," kata Kebon. Guru yang mengajar, kata Raka, sebanyak 36 orang berstatus honorer dan berasal dari Desa Sidemen, ada alumni STSI, Universitas Udayana, dan beberapa perguruan tinggi. "Namun, ada pula guru yang tak pernah sekolah sama sekali," kata Raka. Yang dimaksud adalah Ida Bagus Nyoman Arnawa, yang dikenal sebagai guru pembuat lontar (pekaseh). Ia diminta mengajar teori persubakan. Semua siswa diharuskan membayar SPP Rp 1.500, termasuk Rp 250 untuk tabungan. Memang, sampai kini SMA "plus" Bali itu belum meluluskan siswa. "Para lulusan SMA ini diharapkan bisa menjadi kader pewaris budaya Bali," kata Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini