Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasien kanker payudara waswas menjalani kontrol kesehatannya ke rumah sakit
Dokter menyarankan pasien menggunakan pelayanan medis jarak jauh atau telemedicine.
Walhasil dua metode dilakoni: kontrol langsung ke dokter dan secara daring via aplikasi WhatsApp untuk bertanya ihwal progres kesehatan pasien.
JAKARTA – Ketika Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) mulai mewabah pada Maret lalu, Lola Widyani, 45 tahun, makin waswas datang ke rumah sakit. Padahal ia mesti menjalani kontrol kesehatan saban bulan lantaran kanker payudara yang dideritanya. Ketakutan Lola itu bukan tanpa sebab. Kanker masuk daftar komorbiditas atau penyakit penyerta bagi pasien yang terjangkit virus corona. Artinya, Lola menjadi bagian dari kelompok yang berisiko mengalami gejala serius apabila terinfeksi virus SARS-CoV-2 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, Lola perlu berbicara dengan dokter ihwal benjolan di dada sebelah kiri yang terasa nyeri. Dokter menyarankan Lola menggunakan layanan medis jarak jauh atau telemedicine. Lola kemudian mencoba mendaftar layanan medis jarak jauh, meski dengan berat hati. Konsultasi kanker, menurut dia, justru lebih tepat bertemu langsung dengan dokter. "Pemeriksaan kanker payudara harus diraba, tidak bisa sekadar dilihat," ujar dia saat dihubungi pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lola didiagnosis menderita kanker payudara sejak 2011 dan harus berobat rutin. Dokter sempat menyatakan Lola terbebas dari sel ganas tersebut. Namun, tak disangka, kanker muncul lagi di payudaranya pada 2016. Ia kembali diharuskan mengikuti perawatan rutin hingga kini.
Walhasil, dua metode dilakoni, yakni kontrol langsung ke dokter dan secara daring via aplikasi WhatsApp untuk bertanya ihwal progres kesehatannya. Hanya, dokter tak selalu siap sedia dan bisa membalas pesan dengan segera. Lola mafhum karena dokter melayani banyak pasien layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Ajeng Stephanie, 35 tahun, pasien kanker payudara lainnya, juga berjuang dengan berbagai cara untuk bisa mendapatkan pengobatan meski dalam kondisi pandemi. Dia beralih ke konsultasi secara daring melalui WhatsApp. "Aku berhati-hati ke rumah sakit karena takut terkena virus corona," tuturnya.
Lola dan Ajeng hanya dua dari puluhan ribu pasien kanker payudara di Indonesia. Pada 2018, Global Burden of Cancer (Globocan) menulis laporan ihwal jumlah pasien kanker payudara yang mencapai 58.256 orang. Tingkat kematian penyakit ini cukup tinggi. Mereka mencatat terdapat 22.692 pasien yang meninggal akibat kanker tersebut.
Dokter spesialis penyakit dalam hematologi dan onkologi, Ralph Girson Gunarsa, menyatakan pasien kanker saat ini intens berkomunikasi dengan dokter menggunakan WhatsApp. Namun layanan konsultasi tatap muka tetap berjalan. Komunikasi melalui WhatsApp dilakukan ketika pasien bertanya perihal jadwal berkunjung.
Shanti Persada, pendiri Komunitas Lovepink Indonesia, organisasi penyintas dan pasien kanker payudara, mengatakan sudah tidak bisa memberi pelayanan keliling selama masa pandemi. Biasanya, mereka memberi layanan ultrasonografi (USG) kepada pasien kanker payudara secara keliling. "Kami belum tahu kapan bisa mulai lagi," ujar Shanti. Kegiatan edukasi dan sosialisasi akhirnya berganti menggunakan metode daring, termasuk kampanye tahunan Breast Cancer Awareness Month yang jatuh setiap Oktober.
BRAM SETIAWAN | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo