Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difabel

Stigma Perempuan Disabilitas Mental Psikososial Hambat Akses Pendidikan Mereka

Stigma berat yang dialami perempuan penyandang disabilitas mental psikososial menghambat akses mereka dalam bidang pendidikan.

19 Maret 2025 | 16.28 WIB

Ilustrasi disabilitas intelektual. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi disabilitas intelektual. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Stigma berat yang dialami perempuan penyandang disabilitas mental psikososial menghambat akses mereka dalam bidang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Beberapa contoh stigmatisasi yang sering diterima oleh perempuan penyandang disabilitas mental psikososial adalah tidak dipercaya dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar atau mengganggu kegiatan belajar mengajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stigmatisasi ini menyebabkan banyak perempuan disabilitas mental psikososial yang tidak mau membuka identitas kedisabilitasannya agar tidak dijustifikasi dan didiskriminasi. Akibatnya, saat mengalami kekambuhan, banyak pihak yang menganggap bahwa mereka tidak sanggup menyelesaikan pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Stigmatisasi inilah yang sering membuat angka drop out perempuan disabilitas mental psikososial cukup tinggi di perguruan tinggi,” ujar ketua perhimpunan jiwa sehat (PJS), Yeni rosa Damayanti, dalam webinar bertajuk “Menembus Batas Pendidikan Tinggi bagi Perempuan Disabilitas Mental Psikososial” yang diinisiasi oleh Australia awards Indonesia, Rabu 19 Maret 2025.

Padahal, menurut Yeni, kemampuan perempuan disabilitas mental psikososial dalam pendidikan adalah sama dengan perempuan lain yang tidak memiliki disabilitas mental psikososial. Alasan Yeni, yang membuat perempuan disabilitas mental psikososial tidak dapat menyelesaikan pendidikannya adalah kekambuhan atau masa relapse yang tidak dapat dimengerti dan ditoleransi oleh lingkungan sekitar tempat mereka belajar.

“Karena saat menghadapi masa rileks, perempuan disabilitas mental sering tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas,” kata Yenny.

Perempuan dengan disabilitas mental psikososial yang berhasil menyelesaikan jenjang magister di Universitas Gajah Mada, Salwa Paramitha bercerita, saat terberat ketika mengikuti kegiatan perkuliahan adalah menjelaskan kondisinya kepada teman dan dosen yang tidak mau mengerti dan memberikan toleransi mengenai kondisi kekambuhannya.

Masa-masa ini terjadi ketika Salwa menempuh pendidikan S1 Hukum di UGM. Iya yang baru didiagnosa memiliki bipolar mengalami kekambuhan yang membuatnya sering absen di kelas. “Absen saya otomatis jadi bolong-bolong dan ini yang dipermasalahkan oleh pihak kampus, serta mempengaruhi nilai saya pada akhirnya,” kata Salwa dalam kesempatan yang sama.

Keadaan ini memberikan tekanan yang lebih besar bagi Salwa. Puncaknya, saat mengerjakan tugas akhir Salwa mengalami kekambuhan yang sangat berat dan hampir saja memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari gedung baru Fakultas Hukum UGM. Namun, Salwa saat itu diselamatkan oleh seorang temannya. Meskipun kejadian tersebut membuat dirinya ditertawakan dan lagi-lagi menerima stigma yang berat. “Bayangkan, kejadian itu dijadikan bahan bercandaan terus-menerus sampai sekarang oleh teman-teman saya,” kata Salwa.

Perempuan disabilitas lain, yang merupakan lulusan magister Ilmu Komunikasi Universitas Melbourne, Levrina Yustriani juga bercerita, stigma berat dari lingkungan sekitar terhadap penyandang disabilitas mental psikososial membuatnya khawatir tidak lolos seleksi beasiswa Australia awards. Padahal saat itu, Levrina sudah terdeteksi memiliki bipolar dan sempat dirawat di sanatorium Dharmawangsa. Mulai dari pendaftaran hingga masa pendidikan, iya tidak mau membuka sama sekali mengenai kondisi kedisabilitasannya.

“Sampai pada akhir semester satu dan sudah berada di Australia, saya rileks. Namun keadaannya di Australia berbeda, karena justru dengan membuka kondisi saya, saya malah bisa mendapatkan akomodasi yang layak dari dosen,” Kata Levrina.

Lantaran itu, menurut Yeni rosa Damayanti, solusi terbaik bagi perempuan disabilitas mental psikososial yang sedang menempuh pendidikan adalah dukungan dari pihak kampus, lingkungan, dan keluarga dalam penyediaan akomodasi yang layak.

Kedua, memberikan edukasi kepada para pihak di perguruan tinggi untuk tidak menstigmatisasi dan menjustifikasi perempuan penyandang disabilitas mental psikososial. Akomodasi yang layak ini antara lain adalah toleransi terhadap ketidakhadiran disabilitas mental psikososial di dalam kelas, akses konsultasi dan kesehatan kepada psikolog serta psikiater, juga penyediaan obat-obatan dan ruang tenang bagi siswa dengan disabilitas mental psikososial, khususnya ketika mengalami relapse.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus