Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara dari kota pahlawan

Lembaga penelitian fisip unair meneliti partisipasi politik pemuda kota. pemilih golput pada pemilu 1992 cukup tinggi. sebagian besar menghendaki calon presiden lebih dari satu.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Suara dari kota pahlawan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"TIDAK." Inilah jawaban atas pertanyaan apakah nilai-nilai heroisme berkaitan dengan partisipasi politik. Jawaban ini muncul tak sengaja dari penelitian Lembaga Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Hasil penelitian yang berjudul "Perilaku Memilih Pemuda Kota" ini kemudian dijadikan topik bahasan dalam diskusi Dies Natalis ke-36 universitas itu, Kamis pekan lalu. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap 280 pemuda di Surabaya, dari 375 kuesioner yang disebarkan, 15% memilih Golput (Golongan Putih) yang tidak akan menggunakan hak pilihnya. Meski kecil, dibandingkan dengan jawaban yang memilih Golkar (35%), jumlah tersebut cukup berarti. Bandingkan dengan jawaban terhadap PPP (11,4%) atau PDI (8,57%). Dari pemilih pemula, yaitu baru pertama kali ikut Pemilu 1992, kecenderungan memilih Golput lebih besar. Dari 19,28% responden pemilih pemula, 20,37% mengaku akan memilih Golput. Sedangkan 33,33% memilih Golkar, 11,11% PPP, dan 11,11% PDI. Padahal, sebagian besar responden itu anak pegawai negeri (37,14%) dan anak ABRI (16,43%). Dalam penelitian ini responden tak ketat ditentukan meskipun cukup merata untuk melihat suara pemuda Surabaya. Untuk itu, kuesioner disebar ke beberapa strata sosial berdasarkan tempat tinggal. Tingkat pendidikan mereka juga bervariasi. Penelitian ini bahkan mencatat perubahan perilaku dalam menentukan pilihan. Lihatlah jawaban yang mereka berikan ketika ditanya alasan memilih salah satu kontestan pada Pemilu 1982 dan 1987. Dari 140 responden yang memilih pada pemilu 1982, tokoh yang ditampilkan kontestan menempati prioritas pertama untuk menentukan pilihan (9,26%). Kemudian baru disusul pertimbangan agama (7,86%), orangtua (7,14%), dan program (6,43%). Pada Pemilu 1987, prioritas alasan memilih bergeser ke program yang ditawarkan kontestan (23,57%). Baru kemudian sang tokoh yang ditampilkan, orangtua, dan agama. "Tingkat rasionalitas memang berpengaruh terhadap perilaku politik," kata Kacung Maridjan, dosen yang ikut meneliti. Yang juga perlu diangkat dari penelitian ini adalah: 92,86% responden menghendaki calon presiden sebaiknya lebih dari seorang. Kenyataan tingginya angka yang memilih Golput, menurut tim peneliti yang diketuai Drs. Priyatmoko, M.A., merupakan ungkapan ketidakpercayaan responden terhadap lembaga legislatif dan parpol. Artinya, menurut Soeleiman Fadeli, Ketua DPW PPP Jawa Timur, salah satu pembicara di dalam diskusi tadi, "Pendidikan politik kita gagal." "Mengingat sampel penelitian ini diambil dari Kota Pahlawan, kecenderungan pemuda memilih Golput memang merisaukan," kata Rachmat Witoelar, Sekjen Golkar. Namun, pembicara lain, yaitu Menpan Sarwono Kusumaatmadja menyangsikan, "Golput belum tentu berarti protes terhadap sistem, tapi bisa karena tidak berminat pada politik." Penelitian yang hampir sama Oktober lalu pernah dilakukan di Bandung. Kala itu penelitian lewat angket yang disebarkan pengelola majalah mahasiswa Ganesha. Untuk pertanyaan: "Organisasi politik yang Anda pilih pada Pemilu 1992?", didapat jawaban 19%, yakni 76 responden (dari 400 kuesioner), menyatakan tak akan mencoblos. Alias Golput. Pemilih muda adalah lahan basah bagi kontestan. Memang, mereka mengambil porsi terbesar dari calon pemberi suara. Pada pemilu mendatang, dari 110 juta pemilih yang akan didaftar, 59% adalah pemilih muda (61 juta). Sekitar 19 juta di antaranya calon pencoblos pertama. Ada pula tip untuk kontestan agar bisa memenangkan pemilu mendatang. "Beri kami pekerjaan," kata 72,86% responden. Rustam F. Mandayun (Jakarta) dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus