Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara Rusland Dan Najoan

Dua anggota MPR yang dituduh terlibat manipulasi reboisasi, willy arnold najoan (sul-ut) dan rusland (kal-sel), membantah. Proyek tersebut merupakan proyek politis yang dimanfaatkan kampanye Golkar. (nas)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WILLY Arnold Najoan dan istrinya tampak cerah Senin sore lalu. "Kami senang didatangi wartawan. Selama ini koran-koran hanya memberitakan yang negatif tentang kami," ujar Ny. Willy. "Bagaimana mungkin saya melakukan korupsi. Sebagai orang yang taat beragama, bagaimana tanggung jawab kami kepada Tuhan nanti?" Suami istri itu tampaknya tak terguncang oleh berita media massa beberapa pekan terakhir ini. Menurut berita itu, Willy merupakan salah satu "oknum" anggota DPR/MPR yang terlibat kasus manipulasi reboisasi meliputi milyaran rupiah. Kejaksaan Agung telah memperoleh izin Presiden untuk mengusut dan memeriksa Willy. Dari Manado pekan lalu juga diberitakan: Pengadilan Negeri Manado Mei ini juga akan menyidangkan kasus manipulasi tersebut. Willy, 40 tahun, tak menyalahkan pihak kejaksaan, "karena memang tugas mereka untuk memeriksa". Yang disesalkannya adalah berita koran seolah-olah dia korup. "Sebagai pemimpin waktu itu saya rela berkorban dan bertanggung jawab secara keseluruhan. Tapi saya tidak menggunakan uangnya," katanya. Kalau begitu siapa? "Saya tidak tahu," sahut Willy. Bekas kepala Dinas Pertanian Sulawesi Utara ini pada 1979-1980 memegang jabatan Pimpinan Proyek Rehabilitasi Pengembangan Tanaman Ekspor di Sul-Ut. Ini adalah proyek peremajaan tanaman kelapa dan dilaksanakan berdasar "akselerasi perimbangan perkebunan" yang digalakkan setelah Kenop 15. Untuk 1979 sasaran peremajaan adalah 2.350 ha dengan anggaran Rp 636 juta, sedang untuk 1980 dan 1981 sasarannya 10.400 ha dengan biaya Rp 2,2 milyar. Willy mengakui waktu memulai tugasnya ia tidak mempunyai pola kerja yang jelas. Atasannya dari pusat tak pernah memberikannya. "Tapi karena menghadapi akselerasi saya harus mengikuti perintah pusat. Yang penting tujuan tercapai," katanya. Ia juga menyalahkan musim kemarau panjang tahun lalu telah mematikan banyak bibit kelapa. Menurut pengusutan kejaksaan, pelaksanaan proyek peremajaan itu ternyata tak mencapai sasaran, baik banyaknya bibit yang ditanam maupun luas lahan. Dana yang dianggap tak bisa dipertanggungjawabkan sekitar Rp 1,5 milyar. Proyeksemacam itu seharusnya juga dipimpin langsung dari pusat. Menurut suatu sumber, proyek peremajaan penanaman kelapa Sul-Ut sebenarnya suatu "proyek politis" yang dimanfaatkan untuk kampanye Golkar dalam Pemilu 1982. Pelaksanaannya memang "tergesa-gesa", hingga misalnya tatkala dana dari Bank Dunia terlambat keluar pada tahap pertama terpaksa dipakai dana dari pos lain. Akibatnya administrasi proyek itu sendiri kurang tertib. Proyek ini ternyata ada "hasilnya". Dalam Pemilu 1982 Golkar menang di Sul-Ut, bahkan merebut 5 dari 6 kursi DPR, dibanding sebelumnya yang cuma 3. Salah satu kursi DPR itu kini diduduki Najoan Willy Arnold. "Jadi sebetulnya itu bukan sepenuhnya kesalahan Willy," ujar sumber TEMPO. Mungkin karena itu Willy kini menyerahkan persoalannya kepada Fraksi Karya Pembangunan. Dan memasrahkan nasibnya pada Tuhan. "Tuhan tampaknya sedang memberi cobaan kepada saya dan keluarga," ujarnya pada Yulia S. Madjid dari TEMPO. "Oknum" anggota MPR lain yang juga mengelak tuduhan korupsi proyek reboisasi adalah Rusland Kasmiri, 40 tahun. "Demi Allah saya tak ada niatan sedikit pun untuk manipulasi. Anda bisa melihat keadaan saya. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya ingin hidup tenang, cukup dengan pensiun DPR dan gaji saya sebagai anggota MPR (sekitar Rp 400.000)," ujar Rusland. Rusland mendirikan dan memimpin PT Enggang Kencana sejak 1975. Pada 1979 PT ini mendapat kontrak reboisasi di Kalimantan Selatan seluas 1.007 ha dengan nilai Rp 167 juta. Karena ada peninjauan kembali akibat medan yang tak memungkinkan, kontrak ini diciutkan menjadi 864 ha bernilai Rp 143,4 juta. Surat Perintah Kerja (SPK) baru keluar Januari 1980 dengan ketentuan proyek harus selesai 6 bulan. Menurut Rusland ternyata tanah yang harus dihijaukan kembali itu berbukit hingga sulit dicapai. Musim hujan juga tiba begitu SPK keluar. Pengadaan bibit yang semestinya ditanggung pemerintah ternyata tak lancar, hingga PT-nya harus menyemai sendiri. Akibatnya penyelesaian proyek melar menjadi 2 1/2 tahun, dengan persetujuan perpanjangan. Selama itu tak ada eskalasi biaya. Kesimpulan Rusland: proyek ini sama sekali tak memberinya untung. Sebelum 31 Maret 1983 Dinas Kehutanan Kal-Sel mengecek di lapangan, dan mufakat proyek itu memenuhi syarat untuk diserahterimakan, karena kadar tumbuh dinilai memenuhi syarat: antara 70 dan 80%. Setelah itu muncul beberapa penilaian lain. Petugas Lapangan Reboisasi menilai kadar tumbuh 67,43%. Badan Pengawas Proyek (BPP) menilai 59,8%, P3RPDAS (Pembina dan Pengawas Proyek Reboisasi Daerah Aliran Sungai) 44,7% dan terakhir BPP menilai lagi hanya 37,33%. "Kalau dilihat kronologisnya, jelas itu bukan salah saya. Jika benar makin hari susut kadar tumbuhnya, itu mungkin karena faktor alam," kata Rusland pada wartawan TEMPO Mustafa Helmy. "Saya tidak mengerti mengapa saya dituduh memanipulasi Rp 80 juta. Perhitungan itu dari mana? Biaya mengolah tanah saja sudah berjumlah sekian," lanjut ayah dari 9 orang anak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus