WILLY Arnold Najoan dan istrinya tampak cerah Senin sore lalu.
"Kami senang didatangi wartawan. Selama ini koran-koran hanya
memberitakan yang negatif tentang kami," ujar Ny. Willy.
"Bagaimana mungkin saya melakukan korupsi. Sebagai orang yang
taat beragama, bagaimana tanggung jawab kami kepada Tuhan
nanti?"
Suami istri itu tampaknya tak terguncang oleh berita media massa
beberapa pekan terakhir ini. Menurut berita itu, Willy merupakan
salah satu "oknum" anggota DPR/MPR yang terlibat kasus
manipulasi reboisasi meliputi milyaran rupiah. Kejaksaan Agung
telah memperoleh izin Presiden untuk mengusut dan memeriksa
Willy. Dari Manado pekan lalu juga diberitakan: Pengadilan
Negeri Manado Mei ini juga akan menyidangkan kasus manipulasi
tersebut.
Willy, 40 tahun, tak menyalahkan pihak kejaksaan, "karena memang
tugas mereka untuk memeriksa". Yang disesalkannya adalah berita
koran seolah-olah dia korup. "Sebagai pemimpin waktu itu saya
rela berkorban dan bertanggung jawab secara keseluruhan. Tapi
saya tidak menggunakan uangnya," katanya. Kalau begitu siapa?
"Saya tidak tahu," sahut Willy.
Bekas kepala Dinas Pertanian Sulawesi Utara ini pada 1979-1980
memegang jabatan Pimpinan Proyek Rehabilitasi Pengembangan
Tanaman Ekspor di Sul-Ut. Ini adalah proyek peremajaan tanaman
kelapa dan dilaksanakan berdasar "akselerasi perimbangan
perkebunan" yang digalakkan setelah Kenop 15. Untuk 1979 sasaran
peremajaan adalah 2.350 ha dengan anggaran Rp 636 juta, sedang
untuk 1980 dan 1981 sasarannya 10.400 ha dengan biaya Rp 2,2
milyar.
Willy mengakui waktu memulai tugasnya ia tidak mempunyai pola
kerja yang jelas. Atasannya dari pusat tak pernah memberikannya.
"Tapi karena menghadapi akselerasi saya harus mengikuti perintah
pusat. Yang penting tujuan tercapai," katanya. Ia juga
menyalahkan musim kemarau panjang tahun lalu telah mematikan
banyak bibit kelapa.
Menurut pengusutan kejaksaan, pelaksanaan proyek peremajaan itu
ternyata tak mencapai sasaran, baik banyaknya bibit yang
ditanam maupun luas lahan. Dana yang dianggap tak bisa
dipertanggungjawabkan sekitar Rp 1,5 milyar. Proyeksemacam itu
seharusnya juga dipimpin langsung dari pusat.
Menurut suatu sumber, proyek peremajaan penanaman kelapa Sul-Ut
sebenarnya suatu "proyek politis" yang dimanfaatkan untuk
kampanye Golkar dalam Pemilu 1982. Pelaksanaannya memang
"tergesa-gesa", hingga misalnya tatkala dana dari Bank Dunia
terlambat keluar pada tahap pertama terpaksa dipakai dana dari
pos lain. Akibatnya administrasi proyek itu sendiri kurang
tertib.
Proyek ini ternyata ada "hasilnya". Dalam Pemilu 1982 Golkar
menang di Sul-Ut, bahkan merebut 5 dari 6 kursi DPR, dibanding
sebelumnya yang cuma 3. Salah satu kursi DPR itu kini diduduki
Najoan Willy Arnold. "Jadi sebetulnya itu bukan sepenuhnya
kesalahan Willy," ujar sumber TEMPO.
Mungkin karena itu Willy kini menyerahkan persoalannya kepada
Fraksi Karya Pembangunan. Dan memasrahkan nasibnya pada Tuhan.
"Tuhan tampaknya sedang memberi cobaan kepada saya dan
keluarga," ujarnya pada Yulia S. Madjid dari TEMPO.
"Oknum" anggota MPR lain yang juga mengelak tuduhan korupsi
proyek reboisasi adalah Rusland Kasmiri, 40 tahun. "Demi Allah
saya tak ada niatan sedikit pun untuk manipulasi. Anda bisa
melihat keadaan saya. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya ingin
hidup tenang, cukup dengan pensiun DPR dan gaji saya sebagai
anggota MPR (sekitar Rp 400.000)," ujar Rusland.
Rusland mendirikan dan memimpin PT Enggang Kencana sejak 1975.
Pada 1979 PT ini mendapat kontrak reboisasi di Kalimantan
Selatan seluas 1.007 ha dengan nilai Rp 167 juta. Karena ada
peninjauan kembali akibat medan yang tak memungkinkan, kontrak
ini diciutkan menjadi 864 ha bernilai Rp 143,4 juta. Surat
Perintah Kerja (SPK) baru keluar Januari 1980 dengan ketentuan
proyek harus selesai 6 bulan.
Menurut Rusland ternyata tanah yang harus dihijaukan kembali itu
berbukit hingga sulit dicapai. Musim hujan juga tiba begitu SPK
keluar. Pengadaan bibit yang semestinya ditanggung pemerintah
ternyata tak lancar, hingga PT-nya harus menyemai sendiri.
Akibatnya penyelesaian proyek melar menjadi 2 1/2 tahun, dengan
persetujuan perpanjangan. Selama itu tak ada eskalasi biaya.
Kesimpulan Rusland: proyek ini sama sekali tak memberinya
untung.
Sebelum 31 Maret 1983 Dinas Kehutanan Kal-Sel mengecek di
lapangan, dan mufakat proyek itu memenuhi syarat untuk
diserahterimakan, karena kadar tumbuh dinilai memenuhi syarat:
antara 70 dan 80%. Setelah itu muncul beberapa penilaian lain.
Petugas Lapangan Reboisasi menilai kadar tumbuh 67,43%. Badan
Pengawas Proyek (BPP) menilai 59,8%, P3RPDAS (Pembina dan
Pengawas Proyek Reboisasi Daerah Aliran Sungai) 44,7% dan
terakhir BPP menilai lagi hanya 37,33%.
"Kalau dilihat kronologisnya, jelas itu bukan salah saya. Jika
benar makin hari susut kadar tumbuhnya, itu mungkin karena
faktor alam," kata Rusland pada wartawan TEMPO Mustafa Helmy.
"Saya tidak mengerti mengapa saya dituduh memanipulasi Rp 80
juta. Perhitungan itu dari mana? Biaya mengolah tanah saja sudah
berjumlah sekian," lanjut ayah dari 9 orang anak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini