GUNUNG Galunggung sudah lama diam. Tapi banyak orang
mengkhawatirkan bencana yang lebih buruk. Yaitu bila musim hujan
tiba dan menyeret tumpukan lahar dari punggung gunung meluberi
kawasan di sekitarnya. Syukurlah sampai kini musibah itu tidak
datang. Tapi muncul bahaya lain mengancam: banyak penduduk --
baik yang mengungsi maupun bertransmigrasi -- yang pulang
kembali dan merusak tanggul dan rel lori.
Tanggul-tanggul itu dibuat untuk melindungi beberapa sungai --
seperti Sungai Ciloseh, Cimampang, Cikunir atau Ciponyo -- dari
bahaya pendangkalan. Dengan begitu Kota Tasikmalaya yang
berpenduduk sekitar 200.000 orang juga terlindung dari serbuan
pasir lahar yang dikhawatirkan meluncur lewat sungai-sungai
tersebut. Tapi akibatnya, lahar dingin itu meluberi desa dan
sawah-sawah di sekitarnya.
Adapun rel-rel itu rencananya untuk melancarkan roda lori dan
kereta api pengangkut pasir lahar dingin, untuk dijual sebagai
bahan bangunan di kota. Lahar itu memang sudah teruji baik
sebagai bahan bangunan (TEMPO, 28 Agustus 1982?. Dibangun sejak
November tahun lalu, jaringan rel itu menurut rencana akan siap
bulan depan.
Dua jalur rel lori dibangun oleh PJKA (bekerja sama dengan Bina
Marga) menghubungkan tanggul Cimampang dan Ciponyo -- yang
banyak menampung lahar di sekitarnya -- dengan Desa Pirusa,
Kecamatan Indihiang. Dari Pirusa dibangun rel kereta api
sepanjang 5,1 km ke Babakan Jawa, desa yang dilintasi jalur
kereta api jurusan Bandung-Surabaya. Nah, dari Cimampang lahar
diangkut dengan lori ke Pirusa, dari sini dibawa dengan kereta
api ke Tasikmalaya kemudian diteruskan ke Bandung, Surabaya atau
Jakarta.
Rel lori itu antara lain melintas di Desa Sinagar, Kecamatan
Indihiang. Desa ini termasuk yang dinyatakan sebagai "daerah
merah", yang harus dikosongkan karena setiap saat terancam
bahaya lahar dingin. Tapi rel itu akhir bulan lalu tahu-tahu
bengkok dan tergeser ke samping sepanjang kurang lebih 4 meter.
Beberapa penduduk sudah diperiksa. Sampai akhir pekan lalu belum
ketahuan pelakunya. "Kami masih meneliti siapa yang berbuat,
tapi tak ada penduduk yang ditangkap," kata Komandan Sektor
Kepolisian Indihiang, Letda Itang Sudradjat. Ternyau ini bukan
keiadian yang pertama. Penduduk kabarnya sudah 5 kali merusak
tanggul Cimampang dan Ciponyo yang menelan Rp 3,5 milyar.
Pertengahan bulan lalu misalnya, sekitar 12 meter tanggul
Ciponyo bobol dan banjir lahar dingin leluasa menderas di sana.
Hari-hari ini hujan memang menderas di sekitar Galunggung. Tapi
setelah diperiksa ternyata kawat beronjong yang menjadi
urat-urat tanggul itu seperti sengaja diputus orang. Penduduk
tampaknya memang tak senang dengan kehadiran sang tanggul.
"Karena tanggul itulah, lahar yang mestinya mengalir ke sungai
lantas menyerbu ke darat. Rumah dan tanah saya terkubur
jadinya," kata Aminuddin, 32 tahun, penduduk Desa Parakan Kawung
yang rumahnya tak jauh dari tanggul Cimampang. Selama ini
tanggul Cimampang menjadi penghadang lahar yang hendak mengalir
ke Sungai Ciloseh, Cimampang, dan Cikunir.
Sebelumnya, sekitar 50 penduduk Sinagar yang seharusnya
bertransmigrasi itu berkumpul di sekitar bagian tanggul
Cimampang yang jebol. Ketika itu para petugas PU sedang
memperbaikinya. Rupanya mereka hendak protes, ada pula yang
menuntut ganti rugi atas tanah mereka yang terendam lahar.
Untunglah para petugas keamanan dapat meredakan suasana. Tapi
ternyata sekarang rel lori yang jadi sasaran.
Tanggul-tanggul itu memang berhasil membantu mengumpulkan pasir
lahar dingin, dan jaringan rel dapat mengangkut lahar sebagai
bahan bangunan untuk dijual. Hitung saja: kalau pasir sekarang
berharga Rp 4.000 per m3, berapa nilai sekitar belasan juta
meter kubik lahar dingin di sekitar kedua tanggul itu. Di tengah
bisnis Galunggung itu, tampaknya banyak penduduk yang merasa
cuma jadi penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini