Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akibat Bisnis Galunggung

Banyak penduduk protes, dengan merusak tanggul dan rel lori dengan dibangunnya tanggul-tanggul untuk melindungi beberapa sungai dari pedangkalan, desa dan sawah penduduk terancam lahar dingin. (nas)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUNUNG Galunggung sudah lama diam. Tapi banyak orang mengkhawatirkan bencana yang lebih buruk. Yaitu bila musim hujan tiba dan menyeret tumpukan lahar dari punggung gunung meluberi kawasan di sekitarnya. Syukurlah sampai kini musibah itu tidak datang. Tapi muncul bahaya lain mengancam: banyak penduduk -- baik yang mengungsi maupun bertransmigrasi -- yang pulang kembali dan merusak tanggul dan rel lori. Tanggul-tanggul itu dibuat untuk melindungi beberapa sungai -- seperti Sungai Ciloseh, Cimampang, Cikunir atau Ciponyo -- dari bahaya pendangkalan. Dengan begitu Kota Tasikmalaya yang berpenduduk sekitar 200.000 orang juga terlindung dari serbuan pasir lahar yang dikhawatirkan meluncur lewat sungai-sungai tersebut. Tapi akibatnya, lahar dingin itu meluberi desa dan sawah-sawah di sekitarnya. Adapun rel-rel itu rencananya untuk melancarkan roda lori dan kereta api pengangkut pasir lahar dingin, untuk dijual sebagai bahan bangunan di kota. Lahar itu memang sudah teruji baik sebagai bahan bangunan (TEMPO, 28 Agustus 1982?. Dibangun sejak November tahun lalu, jaringan rel itu menurut rencana akan siap bulan depan. Dua jalur rel lori dibangun oleh PJKA (bekerja sama dengan Bina Marga) menghubungkan tanggul Cimampang dan Ciponyo -- yang banyak menampung lahar di sekitarnya -- dengan Desa Pirusa, Kecamatan Indihiang. Dari Pirusa dibangun rel kereta api sepanjang 5,1 km ke Babakan Jawa, desa yang dilintasi jalur kereta api jurusan Bandung-Surabaya. Nah, dari Cimampang lahar diangkut dengan lori ke Pirusa, dari sini dibawa dengan kereta api ke Tasikmalaya kemudian diteruskan ke Bandung, Surabaya atau Jakarta. Rel lori itu antara lain melintas di Desa Sinagar, Kecamatan Indihiang. Desa ini termasuk yang dinyatakan sebagai "daerah merah", yang harus dikosongkan karena setiap saat terancam bahaya lahar dingin. Tapi rel itu akhir bulan lalu tahu-tahu bengkok dan tergeser ke samping sepanjang kurang lebih 4 meter. Beberapa penduduk sudah diperiksa. Sampai akhir pekan lalu belum ketahuan pelakunya. "Kami masih meneliti siapa yang berbuat, tapi tak ada penduduk yang ditangkap," kata Komandan Sektor Kepolisian Indihiang, Letda Itang Sudradjat. Ternyau ini bukan keiadian yang pertama. Penduduk kabarnya sudah 5 kali merusak tanggul Cimampang dan Ciponyo yang menelan Rp 3,5 milyar. Pertengahan bulan lalu misalnya, sekitar 12 meter tanggul Ciponyo bobol dan banjir lahar dingin leluasa menderas di sana. Hari-hari ini hujan memang menderas di sekitar Galunggung. Tapi setelah diperiksa ternyata kawat beronjong yang menjadi urat-urat tanggul itu seperti sengaja diputus orang. Penduduk tampaknya memang tak senang dengan kehadiran sang tanggul. "Karena tanggul itulah, lahar yang mestinya mengalir ke sungai lantas menyerbu ke darat. Rumah dan tanah saya terkubur jadinya," kata Aminuddin, 32 tahun, penduduk Desa Parakan Kawung yang rumahnya tak jauh dari tanggul Cimampang. Selama ini tanggul Cimampang menjadi penghadang lahar yang hendak mengalir ke Sungai Ciloseh, Cimampang, dan Cikunir. Sebelumnya, sekitar 50 penduduk Sinagar yang seharusnya bertransmigrasi itu berkumpul di sekitar bagian tanggul Cimampang yang jebol. Ketika itu para petugas PU sedang memperbaikinya. Rupanya mereka hendak protes, ada pula yang menuntut ganti rugi atas tanah mereka yang terendam lahar. Untunglah para petugas keamanan dapat meredakan suasana. Tapi ternyata sekarang rel lori yang jadi sasaran. Tanggul-tanggul itu memang berhasil membantu mengumpulkan pasir lahar dingin, dan jaringan rel dapat mengangkut lahar sebagai bahan bangunan untuk dijual. Hitung saja: kalau pasir sekarang berharga Rp 4.000 per m3, berapa nilai sekitar belasan juta meter kubik lahar dingin di sekitar kedua tanggul itu. Di tengah bisnis Galunggung itu, tampaknya banyak penduduk yang merasa cuma jadi penonton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus