INI mungkin kabar buruk buat pegawai negeri yang berniat
bercerai atau menikah lagi: Kini mereka harus lebih dulu
memperoleh izin pejabat atasannya. Dan pejabat pemberi izin ini
tidak tanggung-tanggung: menteri, jaksa agung, pimpinan lembaga
negara tinggi, gubernur serta pimpinan badan usaha milik
negara.
Yang paling menarik adalah para menteri pimpinan lembaga
pemerintahan nondepartemen, jaksa agung, gubernur, dan para duta
besar. Untuk menceraikan istrinya atau beristri lebih dari
seorang, mereka kini harus memperoleh izin dari Presiden
sendiri.
Kewajiban ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10
tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil. PP ini ditandatangani Presiden tepat pada Hari
Kartini, 21 April lalu dan diumumkan pekan lalu.
Tujuan dikeluarkannya PP ini "agar pegawai negeri sipil
memberikan contoh yang baik kepada bawahannya, dan menjadi
teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat,
termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan keluarga." Penjelasan
PP ini juga menyebutkan: peraturan khusus buat pegawai negeri
sipil ini tidak mengurangi ketentuan umum yang diatur dalam
Undang-Undang No. 1/1974 tentang perkawinan. Sedang sanksi
pelanggar PP ini dapat dijatuhi hukuman disiplin, berupa
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai pegawai negeri sipil.
Banyak hal baru dalam PP ini. Misalnya izin bercerai tidak akan
diberikan bila alasannya karena istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri. Dalam UU No. 1/1974 hal itu diperbolehkan, hingga
ada yang mempersoalkan. Mengapa ketentuan dalam suatu PP bisa
bertentangan dengan UU, yang statusnya lebih tinggi? Belum ada
kejelasan mengenai hal ini.
Bisa dimengerti bila banyak wanita yang menyambut gembira
keluarnya PP ini, termasuk dari ormas Islam. "Kalau pemerintah
ingin memberi contoh yang baik, peraturan itu memang dibutuhkan.
Bahkan kalau bisa bukan hanya untuk pegawai negeri saja, tapi
untuk semua orang," kata Ny. H.S.A. Wahid Hasyim, ketua Muslimat
NU Senin lalu.
Ia senang dengan ketentuan dalam PP tersebut yang secara khusus
melarang pegawai negeri sipil wanita menjadi istri
kedua/ketiga/keempat dari seorang pegawai negeri sipil. "Pegawai
negeri wanita seharusnya tak memberi contoh itu. Hendaknya
seorang wanita sadar untuk tak mengganggu kebahagiaan sesama
kaumnya," ujarnya.
Ny. Aisyah Aminy, salah seorang ketua Kowani dan anggota MPR
menganggap pasal 15 ayat I PP No. 10 ini "paling positif". Pasal
ini melarang pegawai negeri sipil "hidup bersama dengan wanita
atau pria sebagai suami-istri tanpa ikatan perkawinan yang sah,"
katanya. "Setiap atasan wajib menegur bila ia mengetahui ada
bawahan dalam lingkungannya yang hidup bersama seperti itu. Itu
suatu langkah yang baik dan maju."
Tanggapan pria? "Bagi orang yang ingin kawin lagi tentunya PP
ini menjadi persoalan. Tapi bagi saya yang cukup dengan satu
istri malah kebetulan sekali," ujar Imam Sofwan, 63 tahun, wakil
ketua F-PP di DPR. Menurut dia, "PP itu. merupakan penghargaan
yang layak untuk kaum wanita." Diakuinya, seorang pejabat yang
memiliki lebih dari satu istri akan memiliki citra yang buruk.
"Sekarang bukan zamannya orang yang banyak beristri makin
dihormati, dan meningkat status sosialnya, termasuk juga para
kiai," tambahnya.
Zaman DI (dua istri) atau TV (tweede vrouw) tampaknya akan
segera berakhir. PP ini praktis menutup pintu bagi pegawai
negeri sipil (ketentuan yang sama untuk anggota ABRI sudah lama
ada), untuk bercerai atau menikah lagi. Syarat untuk beristri
lebih dari seorang, misalnya, cukup berat: karena istri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, mendapat cacat badan
atau penyakit yang tak dapat disembuhkan ataupun tidak dapat
melahirkan keturunan.
Tidak cuma itu. Persetujuan tertulis dari istri harus ada.
Selain itu penghasilannya harus cukup untuk membiayai lebih dari
seorang istri serta harus ada jaminan tertulis dari pegawai
tersebut, bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.
Yang menjadi pertanyaan: mengapa mendadak sontak PP ini keluar?
Bukankah peribahasa bilang: tidak ada asap kalau tidak ada api?
Ada yang bilang, hasrat untuk beristri lebih dari seorang kini
makin meluas di antara bapak-bapak. "Tentu saja yang tingkat
atas," kata seorang istri pejabat.
Ternyata salah satu pendorong lahirnya PP ini adalah Dharma
Wanita, organisasi para istri pegawai negeri. "Sekitar setahun
yang lalu Dharma Wanita mengusulkan kepada pemerintah agar
masalah perkawinan dan perceraian di kalangan pegawai negeri
harus diketahui dan diberi izin atasan. Alasannya karena sering
para ibu mengeluh, suami mereka kawin lagi, diam-diam punya
simpanan, atau menceraikan istrinya lalu kawin lagi," kata Ny.
Soeprapti Soeprapto, ketua Dharma Wanita DKI Jaya.
Menurut istri Gubernur Soeprapto ini, keluarnya PP 10 berarti
pemerintah memberikan perhatian terhadap kesejahteraan lahir
batin para istri pegawai negeri. "Kini payung perlindungan buat
istri pegawai negeri makin kukuh," ujar Ny. Soeprapti. Mau apa
lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini