Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Zaman Segera Berakhir

Peraturan pemerintah (pp) no.10/1983: tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. (nas)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI mungkin kabar buruk buat pegawai negeri yang berniat bercerai atau menikah lagi: Kini mereka harus lebih dulu memperoleh izin pejabat atasannya. Dan pejabat pemberi izin ini tidak tanggung-tanggung: menteri, jaksa agung, pimpinan lembaga negara tinggi, gubernur serta pimpinan badan usaha milik negara. Yang paling menarik adalah para menteri pimpinan lembaga pemerintahan nondepartemen, jaksa agung, gubernur, dan para duta besar. Untuk menceraikan istrinya atau beristri lebih dari seorang, mereka kini harus memperoleh izin dari Presiden sendiri. Kewajiban ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. PP ini ditandatangani Presiden tepat pada Hari Kartini, 21 April lalu dan diumumkan pekan lalu. Tujuan dikeluarkannya PP ini "agar pegawai negeri sipil memberikan contoh yang baik kepada bawahannya, dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan keluarga." Penjelasan PP ini juga menyebutkan: peraturan khusus buat pegawai negeri sipil ini tidak mengurangi ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang No. 1/1974 tentang perkawinan. Sedang sanksi pelanggar PP ini dapat dijatuhi hukuman disiplin, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil. Banyak hal baru dalam PP ini. Misalnya izin bercerai tidak akan diberikan bila alasannya karena istri mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dalam UU No. 1/1974 hal itu diperbolehkan, hingga ada yang mempersoalkan. Mengapa ketentuan dalam suatu PP bisa bertentangan dengan UU, yang statusnya lebih tinggi? Belum ada kejelasan mengenai hal ini. Bisa dimengerti bila banyak wanita yang menyambut gembira keluarnya PP ini, termasuk dari ormas Islam. "Kalau pemerintah ingin memberi contoh yang baik, peraturan itu memang dibutuhkan. Bahkan kalau bisa bukan hanya untuk pegawai negeri saja, tapi untuk semua orang," kata Ny. H.S.A. Wahid Hasyim, ketua Muslimat NU Senin lalu. Ia senang dengan ketentuan dalam PP tersebut yang secara khusus melarang pegawai negeri sipil wanita menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang pegawai negeri sipil. "Pegawai negeri wanita seharusnya tak memberi contoh itu. Hendaknya seorang wanita sadar untuk tak mengganggu kebahagiaan sesama kaumnya," ujarnya. Ny. Aisyah Aminy, salah seorang ketua Kowani dan anggota MPR menganggap pasal 15 ayat I PP No. 10 ini "paling positif". Pasal ini melarang pegawai negeri sipil "hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami-istri tanpa ikatan perkawinan yang sah," katanya. "Setiap atasan wajib menegur bila ia mengetahui ada bawahan dalam lingkungannya yang hidup bersama seperti itu. Itu suatu langkah yang baik dan maju." Tanggapan pria? "Bagi orang yang ingin kawin lagi tentunya PP ini menjadi persoalan. Tapi bagi saya yang cukup dengan satu istri malah kebetulan sekali," ujar Imam Sofwan, 63 tahun, wakil ketua F-PP di DPR. Menurut dia, "PP itu. merupakan penghargaan yang layak untuk kaum wanita." Diakuinya, seorang pejabat yang memiliki lebih dari satu istri akan memiliki citra yang buruk. "Sekarang bukan zamannya orang yang banyak beristri makin dihormati, dan meningkat status sosialnya, termasuk juga para kiai," tambahnya. Zaman DI (dua istri) atau TV (tweede vrouw) tampaknya akan segera berakhir. PP ini praktis menutup pintu bagi pegawai negeri sipil (ketentuan yang sama untuk anggota ABRI sudah lama ada), untuk bercerai atau menikah lagi. Syarat untuk beristri lebih dari seorang, misalnya, cukup berat: karena istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan ataupun tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak cuma itu. Persetujuan tertulis dari istri harus ada. Selain itu penghasilannya harus cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri serta harus ada jaminan tertulis dari pegawai tersebut, bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Yang menjadi pertanyaan: mengapa mendadak sontak PP ini keluar? Bukankah peribahasa bilang: tidak ada asap kalau tidak ada api? Ada yang bilang, hasrat untuk beristri lebih dari seorang kini makin meluas di antara bapak-bapak. "Tentu saja yang tingkat atas," kata seorang istri pejabat. Ternyata salah satu pendorong lahirnya PP ini adalah Dharma Wanita, organisasi para istri pegawai negeri. "Sekitar setahun yang lalu Dharma Wanita mengusulkan kepada pemerintah agar masalah perkawinan dan perceraian di kalangan pegawai negeri harus diketahui dan diberi izin atasan. Alasannya karena sering para ibu mengeluh, suami mereka kawin lagi, diam-diam punya simpanan, atau menceraikan istrinya lalu kawin lagi," kata Ny. Soeprapti Soeprapto, ketua Dharma Wanita DKI Jaya. Menurut istri Gubernur Soeprapto ini, keluarnya PP 10 berarti pemerintah memberikan perhatian terhadap kesejahteraan lahir batin para istri pegawai negeri. "Kini payung perlindungan buat istri pegawai negeri makin kukuh," ujar Ny. Soeprapti. Mau apa lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus