Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegiat antikorupsi dan pengajar hukum menilai langkah Presiden Prabowo bertentangan dengan putusan MK.
Putusan MK terhadap uji materi Pasal 34 Undang-Undang KPK mengatur seleksi dan rekrutmen capim KPK tidak dilakukan presiden dan DPR yang sama.
Posisi Presiden Prabowo terjepit karena tidak mungkin melakukan seleksi calon pimpinan KPK dalam waktu dua bulan.
KEPADA tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakat Yusril Ihza Mahendra menyampaikan keputusan Presiden Prabowo Subianto tentang pemilihan calon pimpinan KPK dan anggota Dewan Pengawas KPK periode 2024-2029 pada 8 November 2024. Tiga pimpinan KPK yang menemui Yusril adalah ketua Nawawi Pomolango serta dua wakil ketua, yaitu Nurul Ghufron dan Johanis Tanak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada ketiganya, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan itu mengatakan Presiden Prabowo tidak akan menarik sepuluh calon pemimpin dan anggota Dewan Pengawas KPK yang sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo ke DPR. Yusril menjelaskan, pemerintah berpijak pada ketentuan Pasal 30 Undang-Undang KPK yang mengatur bahwa proses seleksi calon pimpinan dimulai enam bulan sebelum masa jabatan pimpinan KPK berakhir. Adapun masa jabatan pimpinan KPK periode 2019-2024 akan berakhir pada 20 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping itu, kata Yusril, pemerintah juga mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Putusan itu menyatakan bahwa presiden hanya diberi kesempatan satu kali mengajukan nama calon pimpinan KPK ke DPR.
Berbagai pertimbangan itu menjadi dasar pemerintahan Prabowo dalam merespons surat dari pimpinan DPR. Dalam suratnya, DPR menanyakan sikap Presiden Prabowo terhadap sepuluh calon pemimpin KPK dan anggota Dewas KPK yang diajukan oleh Presiden Jokowi pada Oktober 2024. DPR juga menanyakan kemungkinan Presiden Prabowo melakukan seleksi ulang calon pimpinan KPK dengan jalan membentuk panitia seleksi lebih dulu.
“Presiden Prabowo telah menjawab surat DPR dan menyatakan setuju dengan nama-nama yang telah diusulkan (Presiden Jokowi),” kata Yusril lewat pesan pendek kepada Tempo, Ahad, 10 November 2024.
Yusril berdalih keputusan Presiden Prabowo itu merupakan jalan tengah agar Pasal 30 Undang-Undang KPK maupun putusan Mahkamah Konstitusi tetap dipatuhi oleh pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, 5 November 2024. ANTARA/Fauzan
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan Presiden Prabowo sudah mengirim surat presiden kepada DPR yang berisi sepuluh calon pemimpin KPK dan anggota Dewan Pengawas KPK. “Presiden Prabowo memutuskan mengirim surat presiden kembali dengan nama-nama yang sama ke DPR, mengingat masa jabatan pimpinan KPK akan berakhir pada 20 Desember 2024,” kata politikus Partai Gerindra ini kepada Tempo, Ahad, 10 November 2024.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni dan tiga anggota Komisi III DPR, yaitu Muhammad Nasir Djamil, Benny Kabur Harman, dan Sarifuddin Suding, mengatakan Komisi Bidang Hukum belum mendapat surat dari Presiden Prabowo mengenai calon pimpinan KPK tersebut. “Saya belum terima infonya,” kata Sahroni.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga mengatakan belum mendapat informasi mengenai surat Presiden Prabowo tentang calon pimpinan KPK tersebut. “Saya belum cek apa sudah (diterima) atau belum,” kata Dasco.
Presiden Jokowi memulai proses seleksi calon pimpinan KPK dan anggota Dewan Pengawas KPK dengan membentuk panitia seleksi pada Mei 2024. Selanjutnya, panitia seleksi yang diketuai oleh Muhammad Yusuf Ateh tersebut memulai proses seleksi. Hasil kerja panitia seleksi tersebut yaitu menyodorkan sepuluh nama calon pemimpin KPK dan anggota Dewas KPK kepada Presiden Joko Widodo pada 1 Oktober 2024.
Ketua Panitia seleksi KPK Muhammad Yusuf Ateh memimpin tes wawancara bagi Calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK di Gedung Setneg, Jakarta, 17 September 2024. TEMPO/Subekti
Dua pekan berselang atau lima hari sebelum Jokowi tak lagi menjabat presiden, mantan Wali Kota Solo itu mengirim surat presiden ke DPR yang berisi sepuluh nama calon pemimpin KPK dan anggota Dewas KPK periode 2024-2029. Sepuluh calon pemimpin KPK itu adalah Agus Pramono, Ahmad Alamsyah Saragih, Djoko Poerwanto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Ida Budhiati, Johanis Tanak, Michael Rolandi Cesnanta Brata, Poengky Indarti, dan Setyo Budiyanto.
Selanjutnya, sepuluh calon anggota Dewan Pengawas KPK itu adalah Benny Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Elly Fariani, Gusrizal, Hamdi Hassyarbaini, Heru Kreshna Reza, Iskandar Mz, Mirwazi, Sumpeno, dan Wisnu Baroto.
Ahmad Sahroni mengatakan DPR akan memakai satu surat presiden untuk melanjutkan proses pemilihan pimpinan KPK serta anggota Dewan Pengawas KPK ke tahap uji kelayakan dan kepatutan.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman menentang langkah Presiden Prabowo dan DPR tersebut. Boyamin mengatakan panitia seleksi calon pimpinan KPK yang dibentuk oleh Presiden Jokowi adalah tidak sah. Sebab, Presiden Jokowi tidak berhak dan tak berwenang membentuk panitia seleksi calon pimpinan KPK serta anggota Dewas KPK sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Boyamin merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap uji materi Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 Undang-Undang KPK. Putusan itu memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun dalam satu periode. Dalam putusannya, kata Boyamin, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa seleksi dan rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh presiden dan DPR periode 2019-2024, yaitu pada Desember 2019. Sedangkan seleksi untuk pengisian jabatan pimpinan KPK periode 2024-2029 akan dilakukan oleh presiden dan DPR periode berikutnya.
“Pansel sah hanya apabila dibentuk oleh Bapak Prabowo, sedangkan yang dibentuk oleh Jokowi tidak sah,” kata Boyamin, Sabtu, 9 November 2024.
Boyamin juga merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang memaknai Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang KPK. Ia mengatakan MK sudah memaknai bahwa seleksi dan rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh presiden dan DPR, tapi masih ada pihak yang menafsirkan berbeda. Karena itu, advokat ini menguji materi ulang Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang KPK itu ke Mahkamah Konstitusi, Selasa lalu. Ia meminta Mahkamah Konstitusi kembali memaknai pasal tersebut secara lebih spesifik.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan ada implikasi jika pimpinan KPK yang berasal dari hasil proses seleksi pada masa pemerintahan Jokowi tetap dipakai. Salah satunya adalah tersangka korupsi yang diusut oleh komisi antirasuah dapat menggugat status pimpinan KPK tersebut dalam praperadilan karena legitimasinya dianggap tidak kuat.
“Karena memang perintah Putusan MK Nomor 112 itu supaya proses seleksi pimpinan KPK dilakukan linier dengan masa pemerintahan atau periode presiden dan DPR terpilih,” kata Herdiansyah.
Ia berpendapat, jika Presiden Prabowo memaksakan sepuluh calon pemimpin KPK dan anggota Dewas KPK hasil seleksi di era pemerintahan Jokowi tetap dilanjutkan ke DPR dengan alasan waktu, langkah tersebut akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. “Jadi, legitimasi secara hukumnya akan lemah karena tidak memenuhi perintah MK dan itu gampang sekali dikalahkan koruptor,” katanya.
Menurut Herdiansyah, Presiden Prabowo masih mempunyai waktu yang cukup selama dua bulan untuk melakukan seleksi ulang calon pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK.
Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Diky Anandya, berpendapat berbeda. Dia mengatakan alasan pemerintahan Prabowo tetap melanjutkan sepuluh nama calon pemimpin KPK hasil seleksi di era Presiden Jokowi cukup rasional. Sebab, Pasal 30 Undang-Undang KPK juga mengatur bahwa proses seleksi calon pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK paling lambat dilakukan enam bulan sebelum masa jabatan pimpinan KPK berakhir. Sedangkan masa jabatan pimpinan KPK periode ini akan berakhir pada Desember 2024.
Dalam kondisi tersebut, kata Diky, Presiden Prabowo tidak memiliki opsi lain, kecuali menyetujui sepuluh nama calon pemimpin KPK dan anggota Dewas KPK yang disodorkan oleh Presiden Jokowi ke DPR. "Kalau dilakukan proses seleksi ulang, artinya bakal ada proses yang dipangkas karena waktu yang tidak mencukupi," kata Diky, Ahad, 10 November 2024.
Meski begitu, kata dia, langkah Presiden Prabowo itu juga berpeluang merugikan pemerintahannya ke depan. Yaitu ketika DPR memilih lima pemimpin KPK dan anggota Dewas KPK yang memiliki rekam jejak buruk atau mempunyai konflik kepentingan. Risiko itu terbuka lebar karena ada beberapa nama dari 10 calon pemimpin KPK maupun anggota Dewas KPK itu merupakan figur bermasalah, baik secara etik maupun kompetensi.
“Saya meyakini Prabowo akan terkena getahnya. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah ketika kinerja KPK buruk karena pemimpinnya juga buruk,” kata Diky. “Maka persepsi publik terhadap penindakan korupsi pemerintah Prabowo akan buruk.”
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, sependapat dengan Diky. Alvin mengatakan Presiden Prabowo memang tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan seleksi ulang calon pimpinan KPK. Di samping itu, Undang-Undang KPK tidak mengatur pengangkatan pelaksana tugas atau pejabat sementara pimpinan KPK.
“Jadi, tak ada urgensi lain kecuali melanjutkan proses seleksi yang sudah berjalan,” kata Alvin.
Sufmi Dasco Ahmad meminta masyarakat sipil tidak membelokkan tafsir putusan Mahkamah Konstitusi. Ketua Harian Partai Gerindra ini mengatakan putusan MK tidak secara tegas menyebutkan bahwa seleksi harus dilakukan oleh presiden periode 2024-2029. Namun putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan agar calon pimpinan KPK tidak dipilih oleh presiden dan DPR yang sama.
“Dia (capim KPK) tidak boleh dipilih oleh presiden dan DPR yang sama. Jangan ngomong diseleksi,” kata Dasco.
Muhammad Nasir Djamil mengatakan hasil seleksi calon pimpinan KPK pemerintahan terdahulu tidak mungkin dibatalkan. Sebab, pembatalan itu akan berisiko menimbulkan kekosongan pimpinan KPK yang berwenang mengambil keputusan atas tindakan-tindakan hukum di lembaga komisi antirasuah tersebut.
“Bagaimana nasib kasus-kasus hukum di KPK selama tidak ada pemimpin definitif,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Sarifuddin Suding mengatakan Komisi Bidang Hukum menunggu hasil rapat Badan Musyawarah DPR untuk menjadwalkan uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Andi Adam Faturahman, Novali Panji Nugroho, Dinda Shabrina, dan Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini