Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Susup-Menyusup Gaya PKI

Cara PKI menyebarkan sayapnya di masyarakat. Punya taktik bermuka dua dan sejumlah kaki tangan/onderbouw. misalnya, garwani, sobsi, bti, pr, dan lekra. tak segan-segan melakukan taktik memecah belah.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK mudah mengenali gelagat orang komunis. Lebih-lebih bila mereka bergerak "di bawah tanah". Dalam keadaan terpaksa, selagi lemah, mereka konon bisa menjelma bak bunglon, musang berbulu ayam, bermuka dua. Karena itu, dalam hal taktik dan strategi, sangat terkenal "petuah" Ketua CC PKI D.N. Aidit kepada kader-kadernya: teguh dalam prinsip, luwes dalam penerapan. Artinya, mereka tetap teguh dalam pendirian, tapi menampilkan diri secara luwes tanpa menimbulkan kecurigaan. Itu bila mereka masih lemah. Tapi, manakala kekuatan sudah di tangan, mereka mulai unjuk gigi. Dan bangkit. Sementara itu, untuk mencapai tujuan, mereka bisa menempuh cara apa pun. Dengan kata lain, tujuan menghalalkan cara. Dalam praktek operasional, sudah bukan rahasia lagi bila mereka selalu menerapkan penyusupan ke dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan perjuangan. Taktik yang terkenal dengan sebutan "sistem sel" ini mereka lakukan di semua bidang untuk kemudian mereka kuasai: parpol, ormas, angkatan bersenjata, lembaga pemerintahan. Dan itulah pula yang terjadi dalam proses penyusunan kekuatan mereka. Sudah tiga kali PKI memberontak -- pada 1926, 1948 dan 1965 -- dan ketiga-tiganya gagal. Dan segera setelah "revolusi" itu tidak berhasil, mereka menghilang, menyamar, menyusup, bergerak di bawah tanah. Lalu diam-diam menghimpun kekuatan kembali. Setelah G30-S/PKI gagal misalnya, mereka melakukan taktik GTM (gerakan tutup mulut) dan OTB (organisasi tanpa bentuk). Maka, tidaklah heran bila di masa sekarang -- 22 tahun setelah PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966 -- banyak yang mulai mengkhawatirkan usaha penyusupan kader-kader PKI dengan "sistem sel" ke dalam beberapa lembaga penting. Celakanya, kekhawatiran itu ada di antaranya yang terbukti. Misalnya, Ketua DPD Golkar Payakumbuh sudah terbukti PKI golongan B2. Itu sebabnya untuk menjadi anggota sebuah lembaga yang andal dan memiliki kekuatan sangat potensial seperti ABRI, seseorang harus "bersih lingkungan". Lingkungan pergaulan, terutama lingkungan keluarga, bersih dari pengaruh komunis. Sikap berhati-hati seperti itu kini agaknya mulai diterapkan di berbagai bidang. Sepanjang sejarahnya sejak berdiri pada 23 Mei 1920, taktik bermuka dua dan susup-menyusup memang selalu jadi "gaya" PKI. Sejarah mencatat bagaimana tiga pemuda "kiri" -- Semaun, Darsono, dan Alimin -- berusaha menguasai Sarekat Islam, yang pada 1915 merupakan satu-satunya kekuatan massa yang besar dan sangat berpengaruh. Dan mereka berhasil, hingga dalam muktamar di Bandung, Juni 1916, SI terbelah dua. SI yang asli, di bawah trio Tjokro-Agus Salim-Abdul Muis belakangan mendapat julukan "SI Putih", berhadapan dengan "SI Merah" pimpinan trio Semaun-Darsono-Alimin. Tak lama kemudian secara resmi SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat. Dengan modal itu, pada 23 Mei 1920, mereka mendirikan PKI di Semarang, yang semula merupakan kepanjangan dari Partai Komunis India. Enam tahun kemudian, PKI melancarkan pemberontakan. Dan gagal. Menjelang meletusnya "Peristiwa Madiun" pada 1948, taktik yang sama masih mereka lakukan. Amir Syarifuddin, yang sempat menjadi menteri pertahanan, misalnya, mula-mula tidak ketahuan sebagai komunis. Tapi belakangan mengaku sebagai anggota PKI ilegal. Ketika itu PKI juga berusaha menguasai beberapa parpol dan ormas dalam sebuah front yang disebut Front Demokrasi Rakyat yang didominasi orang-orang komunis. Setelah merasa kuat, mereka menyulut kudeta di Madiun. Menjelang meletusnya G-30-S/PKI pada 1965, pola taktik PKI hampir tidak berubah. Yaitu menyusup ke dalam tubuh PNI hingga partai ini pecah: PNI Ali-Surachman alias A-Su (yang kekiri-kirian) dan PNI Osa-Usep. PKI kemudian juga menguasai Partindo, bahkan jua partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Belakangan ketahuan bahwa Haji Siradjuddin Abbas, Ketua Umum Perti, ternyata "sel" PKI. Begitu pula Sudibyo anggota PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) yang kemudian ditokohkan sebagai Sekjen PB Front Nasional. Pada 1948 mereka membentuk FDR, sedangkan menjelang 1965 mereka membentuk Front Nasional (FN) -- yang semula, ketika itu, merupakan sarana untuk membebaskan Irian Barat. Ketika FN tampil sebagai wadah "kekuatan massa berporoskan Nasakom", praktis badan itu didominasi oleh PKI dan PNI A-Su. Sebagaimana partai komunis di seluruh dunia, PKI merupakan partai yang mempraktekkan ajaran "menggalang dan menggunakan kekuatan massa" guna merebut kekuasaan. Karena itu, PKI berusaha seintensif mungkin menguasai semua bidang kehidupan masyarakat. Sebagai partai, PKI memang memiliki cabang dan ranting-ranting di seluruh Indonesia. Istilahnya: Comite Daerah Besar Comite Daerah, dan Comite Resor. Tapi partai ini juga memiliki "kaki tangan" yang dalam istilah partai politik disebut onderbouw, atau organisasi mantel. Misalnya di kalangan wanita (Gerwani), buruh (SOBSI), petani (BTI), pemuda (PR), dan kebudayaan (Lekra). Hal ini kemudian ditiru oleh partai politik lain. PNI misalnya membentuk Wanita Demokrat, Pemuda Demokrat, Lembaga Kebudayaan Nasional, dan sebagainya. Begitu pula NU, memiliki Pemuda Ansor, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, dan lain-lain. Dua tahun sebelum G-30-S/PKI meletus, dalam rapat Comite Central PKI (lembaga eksekutif partai), Aidit menyatakan, "PKI sekarang sudah combat ready." Rupanya, ia sudah yakin benar untuk "siap tempur". Mereka mengaku anggotanya sudah mencapai 3,5 juta ditambah 20 juta simpatisan yang tersebar di berbagai organisasi mantel tadi. Onderbouw yang paling diandalkan PKI agaknya SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Sebab, buruh dan tani, "hanya akan menang atas kaum modal dan tuan tanah bila mereka bersatu di bawah pimpinan partai" yaitu PKI. Kaum buruh, yang bekerja di semua sektor kehidupan, bisa membantu memboikot atau mogok bila PKI melancarkan suatu gerakan. Sedang kaum tani memang sangat penting di negeri agraris seperti Indonesia. Mula-mula SOBSI yang berdiri pada November l946 merupakan onderbouw Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir. Setelah partai ini pecah dan Amir Syarifuddin keluar, SOBSI bergabung dengan PKI. Tokoh-tokoh SOBSI yang terpenting: Nyono, Harjono, Oey Gwee Hwat, Tan Ling Djie. Belakangan SOBSI berkembang dan merupakan "vaksentral" dari 15 organisasi buruh di berbagai sektor kehidupan. Di antaranya Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang sangat dominan di berbagai perkebunan seperti karet, teh, tebu, kopi bekas milik Belanda. Sampai tahun 60-an, diperkirakan jumlah anggotanya tak kurang dari 390.000 orang. Ada pula SBG (Sarekat Buruh Gula) yang setiap saat dapat menyabot produksi gula di pabrik-pabrik gula. Jumlah anggotanya tercatat 305.000 orang. Di sektor kehutanan ada Sarbuksi (Sarekat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia) dengan 250.000 anggota, sementara di sektor pelabuhan ada SBPP (Sarekat Buruh Pegawai Pelabuhan) yang anggotanya 70.000. Di sektor transportasi, banyak buruh sudah dibina oleh PKI. Mereka membentuk Serbaud (Serikat Buruh Angkutan Udara) dengan anggota 3.000 orang, SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) dengan jumlah 70.000 anggota, SBKB (Serikat Buruh Kendaraan Bermotor) dengan anggota 40.000 orang. Dalam pada itu, sektor-sektor pemerintahan juga praktis mereka kuasai. Ketika itu ada misalnya Sepda (Serikat Pegawai Daerah) dengan anggota 9.900 orang, SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum) yang beranggota 51.000 orang, SB Postel (Serikat Buruh Pos dan Telekomunikasi) dengan anggota 50.000 orang. Ada pula SB Tekstil Batik (94.000 orang), Perbum (Perserikatan Buruh Minyak) dengan 30.000 anggota, SB Kepenjaraan dengan anggota l0.000 orang. Di bidang Hankam pun ada SB Kementerian Pertahanan (80.000 orang). Bahkan di bidang perfilman ada Sarbufis dengan 8.000 anggota. Dalam simposium "Artis Film dan Politik" yang diselenggarakan oleh Persatuan Pers Film Indonesia (Perpefi) pada 1957, dengan menggebu-gebu Sekretaris Sarbufis, Tann Sing Hwat, menegaskan perlunya para artis film berpolitik, bahkan menjadi anggota partai politik. "Partai politik bagi artis film adalah sama dengan kamera bagi kameraman," katanya. Di sektor pertanian, kaki tangan PKI menguasai wilayah yang sangat luas. Menurut Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, pada 1957 saja PKI telah berhasil membuka ranting partai sebanyak 84% di antara 21.047 buah desa Indonesia. PKI juga mengembangkan organisasi petani di samping merangkul organisasi yang sudah ada. Ada tiga organisasi yang dapat dikuasai, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia) yang sudah berdiri pada 1948, Rukun Tani Indonesia (RTI), dan Serikat Tani Indonesia (Sakti). Ketiga-tiganya kemudian dihimpun dalam Front Persatuan Tani. Tapi pada 1955, ternyata, hanya BTI yang menonjol. Dua tahun kemudian, BTI mengaku punya anggota sebanyak tiga juta orang. BTI pula yang melancarkan "aksi sepihak" (aksep) di desa Trucuk, Klaten, pada tahun 60-an. Mereka merebut dan menduduki tanah-tanah milik anggota PNI dan NU yang kebetulan memang lebih berada. PKI ternyata juga tidak melupakan nelayan. Mereka berhasil mempengaruhi sekitar 70.000 nelayan. Meski PKI memusuhi kaum borjuis, termasuk borjuis kecil seperti pamong-pamong desa, untuk sementara kekuatan mereka diperlukan. Karena itu, mereka juga dihimpun. PKI punya PPDI (Persatuan Pamong Desa Indonesia) yang mengaku beranggota 350.000 orang. Itu semua agaknya baru sebagian kecil data yang tercatat dalam Rangkaian Peristia Pemberontakan Komunis di Indonesia. Masih ada lagi organisasi mantel PKI yang lain seperti HSI (Himpunan Sarjana Indonesia) yang di antara tokohnya terdapat Dr. Carmel Budiardjo, yang sampai sekarang termasuk tokoh Amnesti Internasional di London. Lalu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), PR (Pemuda Rakyat), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Perbepbsi (Persatuan Bekas Pejuan Bersenjata Seluruh Indonesia). Di antara organisasi-organisasi itu, PR dan CGMI cukup menonjol. Dalam setiap pawai -- misalnya dalam merayakan ulang tahun PKI ke-45 pada 1965 -- PR tampil berbaris paling depan. Berjajar sembilan orang, barisan para pemuda itu memenuhi jalan-jalan raya. Mereka mengenakan seragam loreng dan baret berkotak-kotak hitam-putih. Wajah mereka tampak garang. Pimpinannya yang terkenal, Sukatno. Berapa persisnya jumlah anggota PKI dan segenap ormas-ormasnya? Menurut Aidit sendiri dalam Harian Rakyat 20 Agustus 1965, sebagaimana dikutip oleh Arnold C. Brackman dalam The Communist Collapse in Indonesia, pada 1965 PKI mempunyai anggota lebih dari 3 juta orang, Pemuda Rakyat juga 3 juta, SOBSI 3,5 juta, BTI punya 6 juta orang, Gerwani dengan 3 juta orang, Lekra setengah juta, dan CGMI setengah uta orang. Ada sebuah anekdot menggelikan pada rapat samudera menyambut Kongres CGMI 1965 di Istora Senayan. Ketika itu Aidit antara lain berseru, "Kalau para CGMI tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja." Ketika G-30-S/PKI gagal, anak-anak HMI membalas ucapan Aidit itu dengan corat-coret di tembok, "Hayo, CGMI pakai sarung ...." Tapi yang juga menarik adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra. Majalah kebudayaan yang diterbitkannya, Zaman Baru, menampilkan karya-karya sastra barisan senimannya, yang sarat slogan politik. Beberapa tokohnya: Rivai Apin (penyair seangkatan dengan Chairil Anwar dan Asrul Sani), Utuy Tatang Sontani (penulis drama), Bachtiar Effendi (sutradara film), Sobron Aidit (penyair seangkatan Ayip Rosidi), Joebaar Ajoeb (kini banyak menerjemahkan buku-buku agama) Subronto K. Atmodjo (pemusik, belakangan bekerja di lingkungan gereja). Adapun Pramoedya Ananta Toer, yang semula bukan komunis tapi belakangan muncul sebagai tokoh Lekra -- bahkan membentuk Lembaga Sastra Lekra -- lebih dikenal sebagai redaktur rubrik kebudayaan Lentera pada harian Bintang Timur, terompet Partindo. Pram, ketika itu, terkenal amat garang mengganyang para seniman nonkomunis, terutama yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan, yang dinilainya "kontrarevolusi". Ketika itu Partindo memang sudah menjadi satelit PKI. Tidak diketahui secara luas, pencipta lagu Garuda Pancasila, yaitu Sudharnoto, juga pernah bergabung dengan Lekra. Bahkan pelukis besar Affandi pernah duduk mewakili PKI di Konstituante pada 1955 -- meski mungkin tanpa ia sadari. Yang jelas, penyair Sitor Situmorang dan penulis cerita pendek Virga Belan, meski keduanya aktivis Lembaga Kebudayaan Nasional/PNI, ternyata satu kubu benar dengan Lekra. Tokoh seperti Pram dan Sitor bahkan terdengar lebih galak daripada orang Lekra dalam mengejar-ngejar kaum Manifes, yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno. Di tahun 60-an, PKI memang sudah tampil sebagai institusi dengan jangkauan yang mencengkeram cukup luas. PKI juga memiliki sebuah badan penerbitan, Yayasan Pembaruan, yang menerbitkan berbagai lektur komunis baik berupa terjemahan maupun karangan asli para tokoh PKI. Ada pula sebuah penerbit yang banyak mendistribusikan buku-buku komunis seperti Yayasan Kebudayaan Sadar. Bahkan ada sebuah toko buku yang khusus menjual karya-karya komunis. Dalam harian Bintang Timur edisi 12 Mei 1964, misalnya, dimuat iklan sebuah buku Tentang Gerakan Pembebasan Nasional karangan N.S. Khrushchev, Sekjen CC PKUS ketika itu, yang dapat dipesan pada toko buku dan seni lukis Double-T Jalan Kebon Sirih, Jakarta, dengan harga hanya Rp100. Tersedia pula karya-karya sastra para pengarang Rusia. PKI juga menghimpun organisasi warga negara keturunan Cina seperti Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Republik Indonesia). Di antara tokohnya antara lain Siauw Giok Tjari (almarhum), dan Oei Tjoe Tat, S.H., yang sempat menjadi menteri negara. Pada 1964 Universitas Baperki berdiri dengan Rektor Nyonya Utami Suryadarma, dan sekretaris Ir. Suharjo. Menjelang 1965, dalam proses persiapan meletusnya G-30-S, PKI masih sempat memecah dua organisasi di sektor pendidikan: PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Ketika itu dikenal PGRI nonvaksentral dan IPPI pimpinan Robby Sumolang yang pro-PKI. Dalam bidang pendidikan, rupanya perhatian PKI juga sangat besar. Barangkali PKI memang punya kepentingan untuk mendidik kader-kader partai yang lahir dari keluarga kurang mampu, sementara pengetahuan umum mutlak diperlukan. Ketika itu mereka mendirikan beberapa akademi yang diberi nama beberapa tokoh komunis atau nama tokoh yang mereka anggap "progresif". Misalnya Akademi Ilmu Politik "Bachtaruddin" dengan ketua direksi Sjarifuddin, S.H. dan sekretaris Sumaun Utomo, atau Akademi Sastra dan Bahasa "Multatuli" dengan ketua direksi Bakri Siregar. Dalam diesnatalisnya yang pertama pada 9 Mei 1964, hadir antara lain Prof. Dr. Tjan Tjoe Sim, sementara Nyoto, tokoh PKI itu, memberikan ceramah umum. Ada pula sebuah akademi yang mengambil nama seorang tokoh komunis kawakan, Aliarcham. Menguliti tubuh PKI dan ormas-ormasnya, ada satu hal yang menarik ditelaah. Yaitu mengenai hubungan Pesindo (Pemuda Sosialis) dengan PKI. Mendengar nama Pesindo, orang-orang yang berusia 45 tahun ke atas mungkin membayangkan sebuah "laskar rakyat", partisan yang militan, dan sangat dekat dengan PKI. Bayangan semacam itu bisa dimaklumi. Kenapa? Sebab, menjelang "Peristiwa Madiun" meletus pada 18 September 1948, PKI yang ketika itu merasa combat ready telah berhasil menghimpun beberapa laskar rakyat dan badan-badan perjuangan lainnya dalam FDR -- yang dipersenjatai. Dan sebagian besar di antara mereka adalah anak-anak Pesindo. Ketika itu pasukan bersenjata FDR meliputi 25.000 orang. Dan adalah anak-anak Pesindo pula yang kelihatan tampil angkat senjata memberontak di Madiun, kemudian ditumpas oleh pasukan TNI. Padahal, sejak lahirnya pada 10 November 1945, Pesindo sesungguhnya bukan organisasi pemuda komunis. Begitu kesaksian Machfudi Mangkudilaga, 55 tahun, Kepala Pusat Konservasi Kearsipan di Arsip Nasional, Jakarta. "Ketika itu Pesindo merupakan onderbouw Partai Sosialisnya Bung Sjahrir," ujar Machfudi, yang sempat mengikuti proses pembentukan Pesindo. Organisasi ini merupakan gabungan tujuh organisasi pemuda dalam masa revolusi bersenjata. Ketika menghadapi Inggris di Surabaya, pamor Pesindo naik. Lebih-lebih ketika laskar Pesindo menggeruduk ke Solo hendak membebaskan ketua mereka, Sjahrir, yang diculik oleh kelompok "Persatuan Perjuangan" pimpinan Tan Malaka yang didukung oleh laskar Barisan Bantengnya Dr. Muwardi. Untunglah, Panglima Besar Sudirman segera menengahi hingga perang saudara terhindar. Tapi belakangan Pesindo semakin bergeser ke kiri yaitu ketika gembong PKI Muso, kembali dari Moskow pada 18 Juli 1948 dan menggalang kekuatan dengan membentuk FDR. Dan ia ikut berontak di Madiun. Budiman S.H., Priyono B. Sumbogo, Agung Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus