Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tak Ada Keluhan, Sri ?

Pabrik karung goni PTP XVII Semarang di Delanggu, Klaten, tidak berproduksi karena tidak ada bahan baku serat Rosella. Untuk itu diproduksi Sri (Serat Rakyat Intensifikasi). (dh)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pabrik karung goni, berdiri di kota kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten milik PT Perkebunan XVII Persero Semarang. Pabriknya yang lain masih ada di Jepara dan Surabaya. Tetapi yang di Delanggu ini, tidak lagi mengepulkan asap. Padahal kebutuhan akan karung goni demikian banyaknya untuk memenuhi permintaan pabrik gula. Anehnya gudang pabrik karung goni Delanggu ini sampai disewakan kepada Bulog untuk menyimpan beras. "Dibandingkan nganggur dan kebetulan ada instruksi dari atas," kata Mulyono, sang juru bicara pabrik membenarkan. Juga pabrik ini memproduksi kebutuhan lain yang tak ada hubungannya dengan karung atau gula, yaitu batu bata. Ir. Soeparno Hardjosaputro, Kepala Bagian Tanaman PTP XVII menjelaskan kepada Metese Mulyono dari TEMPO, batu bata itu dibuat pabrik "untuk merendahkan dataran tanah pada persawahan." Tambahan lagi "pabrik membutuhkan batu bata dan karyawan lagi nganggur. " Terhentinya pabrik karung goni yang berdwifungsi itu tentu bersumber pada tiadanya bahan baku, yaitu serat rosella. Bahan ini harus ditanam di sawah. Jika pabrik gula punya TRI (tebu rakyat intensifikasi) maka, agar pabrik tidak larna menganggur dan terutama permintaan karung goni terpenuhi, PTP XVII Semarang menelorkan: SRI yaitu Serat Rakyat Intensifikasi. "Dan proyek ini telah didiskusikan secara mendalam mulai dari tingkat kepala desa, Bapel/Bapem Bimas Propinsi, jauh sebelum dicetuskan kepada petani," kata ir. Soeparno. Lagi pula kata Soeparno "proyek ini menaikkan pendapatan petani dan memelihara kelestarian lingkungan." Untuk lebih jelasnya, manfaat tanaman rosella ini, Soeparno bercerita, bahwa rosella bisa meninggalkan pupuk hijau sebanyak 10 sampai 15 ton di dalam setiap hektar tanah sawah. Bisa dibayangkan bagaimana suburnya sawah itu. Jadi, "proyek SRI ini untuk menyela tanaman padi yang 3 kali dalam setahul itu." Tiga kali menanam padi setahun dengan hasil yang tinggi dan sekali dalam setahun menanam rosella untuk mengembalikan kesuburan tanah. "Yah kami menyadari hasil rosella lebih sedikit dibandingkan padi. Tapi proyek SRI ini kan menciptakan rice fertility management sehingga produksi padi dapat ditingkatkan secara tepat," ini masih penjelasan ir. Soeparno. Sedang komentar Kepala Diperta Klaten Darmono lebih gamblang lagi. "Tanpa perhitungan jlimet, saya pun tahu kalau padi lebih banyak keuntungannya," katanya. Tetapi Darmono menyarankan agar petani yang kena kewajiban tanam rosella berfikir lebih praktis "bandingkan dengan tanah sawah jika disewa pabrik". Perbandingan itu, memang beda sekali. Produksi serat rosella per hektar 3.000 kg. Harga pembelian pabrik Rp 105 per kg. Hasil per hektar Rp 315.000. Ada lagi hasil dari kayu rosella yang per hektarnya (kalau laku) Rp 102.000. Pendapatan petani menjadi Rp 417.000. Lalu potong kredit sarana produksi Rp 52.880, tinggal Rp 364.120. Nah, coba kalau disewa pabrik, dalam jangka tanam 10 bulan itu, sewa per hektar cuma Rp 150.000. Dengan sistim SRI ini petani masih untung Rp 214.120 tiap hektar. Kok Begitu "Tapi yang itu kan jika disewa pabrik. Kok begitu . . . " ini bukan omongan pejabat, tapi keluar dari mylut seorang petani di Juwiring. Roto, petani itu, bukannya buta membuat kalkulasi. Ia yakin sekali, angka produksi serat dalam perhitungan tadi dinaikkan. "Jangan-jangan betul seperti ditulis koran hasil per hektar cuma 1.000 kg serat," katanya. Keresahannya memang jumlah hasil itu, karena proyek SRI ini baru pemula dan asing bagi petani sekitar Juwiring. "Bukan masalah membangkang atau tidak membangkang pada proyek pemerintah, tapi kenapa petani tidak boleh memilih tanam padi di sawahnya sendiri, kalau hasilnya diakui lebih baik" Ini gerutuan petani seperti Roto. Tetapi memang sulit menyimpulkan, kalau petani telah dipaksa menanam rosella, tanpa boleh memilih. Karena menurut ir. Soeparno dari PTP XVII yang juga dibenarkan Humas Pemda Klaten Mas'ud Sutrisno, petani yang "disarankan" menanam rosella telah menyetujui tanpa protes, ketika gagasan SRI dicetuskan di Kantor Camat Delanggu 16 Pebruari lalu. Tapi yang dikumpulkan agaknya bukan petani, namun para kepala desa (lurah) dengan alasan "supaya lebih sederhana". Celakanya, lurah yang kumpul ini tidak menanyakan kepada petani bawahannya sebelum berangkat senang atau tidak menanam rosella. Lurah Segaran Kec. Delanggu, Susanto misalnya, berkata: "Petani sudah setuju menanam rosella." Sepulangnya dari Delanggu, Susanto bingung mengumpulkan tarjet yang diberikan padanya sebanyak 18 petani. Susanto terpaksa membagikan formulir dan minta agar petani menaruh cap jempol tanda setuju menanam rosella. Petani mau, Susanto senang, karena targetnya akan tercapai. Tapi ketika waktu mengerjakan tanah tiba, pertengahan Agustus lalu, petani itu mogok. Mereka tak mau mengerjakan tanahnya. "Ini bertentangan dengan instruksi bupati, bahwa petani harus menggarap sendiri," ujar Susanto kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Susanto bingung. Karena program mengerjakan sawah untuk SRI serentak 22 Agustus -- seperti ditentukan PTP XVII -- maka Susanto membentuk "panitia kelurahan" untuk mencari tenaga kerja menggarap sawah milik ke 18 petani yang sudah memberi cap jempol itu. Hasilnya "ya, ini proyek pemerintah harus jalan. Sudah mulai membuat saluran got di sawah," ujar Susanto dan menyebutkan tenaga kerja yang didapat "panitia kelurahan" dibayar Rp 300 per hari tanpa makan. Mungkin itulah tanda protes dari petani. Soalnya, seperti kata Suripto seorang dari 18 petani itu -- "kami tidak disuruh memilih kalau boleh pilih, yah tetap padi." Sawah yang terkena proyek SRI, memang termasuk sawah subur. Inipun diakui oleh llumas Pemda Klaten Mas'ud Sutrisno. Karenanya menurut Sutrisno, di setiap kelurahan tidak semua sawah kena "wajib tanam rosella". Sebagai perbandingan, cuma 20 prosen yang wajib. Di Kecamatan Juwiring seluas 58 hektar, Kec. Delanggu 75 hektar, Kec. Wonosari 60 hektar, Kec. Polan 50 hektar dan Kec. Manisrenggo cuma satu hektar. Di Kecamatan Manisrenggo proyek ini paling mendapat tantangan, padahal di sini petani sudah biasa menanam rosella. Alasannya karena harga serat per kg, tidak dinaikkan dari harga lama yaitu Rp 105. Tentang ini ir. Soeparno dari PTP XVII menjawab "itu memang harga lama, karena SKP Gubernur untuk harga dalam musim tanam 1978/79 belum keluar." Karung Plastik7 Harga baru belum keluar, jadwal pengerjaan sawah sudah dimulai serentak 22 Agustus untuk mengejar masa tanam September ini. Itulah kegelisahan yang lain. Konon, ada kelompok petani di wilayah Manisrenggo yang sampai berucap begini: "Mana yang lebih penting, karung atau beras? Buat saja karung plastik." Tentu saja itu mustahil. Karena seperti kata jurubicara pabrik karung Delanggu, gula yang dibungkus plastik akan mengeras menjadi kerikil-kerikil. "Kalau gula mengkerikil, pabrik susu yang protes," lanjutnya. Tapi, petani kan tidak peduli urusan ini. Dan susahnya lagi, petani di areal program SRI ini sulit diyakinkan kalau sawahnya suatu waktu akan kurang subur kalau terusterusan menanam padi, sehingga adanya tanaman rosella dilihat dari sudut ekonomi semata-mata. Kurang penyuluhan atau petaninya memang lebih pintar? Yang pasti program SRI ini berjalan lancar dan menurut pejabat yang menangani masalah ini di Klaten "tidak ada laporan resmi mengenai keluhan petani."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus