PEKAN lalu Timor Timur melangkah setapak lebih maju menuju ke arah "daerah terbuka". Enam proyek besar diresmikan Presiden Soeharto Rabu pekan lalu, seusai membuka Musyawarah Nasional Pramuka 1988 sehari sebelumnya. Lima proyek itu adalah Gereja Katedral Immaculata Conception, Sekolah Teknik Menengah (STM) bernilai Rp3,038 milyar, sebuah stadion (Rp1,168 milyar), sebuah jembatan sepanjang 180 m (Rp687 juta), dan dua buah kantor bupati (Rp850.350.000). Semua kegiatan ini jelas mencerminkan dua hal: keamanan yang mantap dan dinamika pembangunan yang tinggi. Sebab, tanpa keamanan yang mantap tak mungkin Munas Pramuka dapat diadakan di perkemahan yang terletak 10 km di luar Dili. Dinamika yang tinggi ini memang diperlukan oleh provinsi yang baru menjadi wilayah RI dua belas tahun silam itu. Sebab, meski pendapatan per kapita penduduk setelah bergabung ke RI naik lima kali lipat menjadi 200 dolar AS, toh masih di bawah rata-rata RI yang 560 dolar AS. Wajar kalau Presiden Soeharto mengatakan, "Kita semua mengharapkan agar pembangunan di daerah ini dapat terus maju, sehingga kesejahteraan dan taraf hidup rakyat Timor Timur dapat terus meningkat." Tentu saja kesejahteraan ini bukan hanya menyangkut materi. Terbukti yang diresmikan adalah gereja dan sekolah. Arah ini memang sedang dituju. Sebab, dengan semakin terdidiknya penduduk Timor Timur, semakin besar keinginan agar provinsi itu dinyatakan terbuka. "Saat ini rakyat Timor Timur tak berbahagia karena adanya pembatasan-pembatasan," kata Gubernur Tim-Tim Mario Carrascalao beberapa bulan lalu dengan terus terang. Pembatasan-pembatasan ini, diakui Mario, sebenarnya berdasarkan niat baik. Yakni untuk melindungi rakyat Timor Timur dari kemungkinan tergilas oleh kaum pendatang yang lebih maju. Namun, suksesnya program pendidikan di provinsi yang menargetkan bebas buta huruf tahun depan ini menyebabkan kekhawatiran itu semakin lama semakin tak beralasan. Apalagi ketertutupan daerah ini juga merugikan citra Indonesia di dunia internasional. Terbukti 47 senator dan 182 anggota DPR AS menulis surat kepada Menteri Luar Negeri George Shultz, akhir bulan lalu. Isi surat: meminta pemerintah AS agar bekerja sama dengan pemerintah RI untuk menyelesaikan konflik Timor Timur. Permintaan itu dilandaskan atas kekhawatiran pada hak-hak asasi penduduk provinsi ini. Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menanggapi surat terbuka itu dengan cukup diplomatis. "Kami mendukung usaha-usaha pemerintah Indonesia untuk menegakkan hak-hak asasi di Timor Timur," kata Charles Redman, juru bicara Deplu AS. "Dan kami menerima penggabungan Timor Timur dalam wilayah Indonesia," tambahnya. Yang belum juga menerima penggabungan ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terutama karena Portugal tetap bersikeras menganggap penggabungan ini tidak berdasarkan keinginan penduduk Timor Timur. Bahkan sebuah nota protes sempat dilayangkan Portugal kepada Australia. Negara Kanguru ini dipersalahkan karena menandatangani perjanjian dengan RI untuk mengeksploitasi kekayaan di Celah Timor (Timor Gap) Protes Portugal ini tak berhenti pada nota diplomatik saja. Menteri Luar Negeri Portugal, Joao de Deus Pinheiro, mengatakan akan menuntut Australia di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Sedangkan Duta Besarnya di PBB mengajukan protes kepada Sekjen Javier Perez de Cuellar. Segala protes ini mungkin akan terhenti jika Timor Timur sudah dinyatakan sebagai wilayah terbuka, yang konon akan dilakukan sekitar akhir tahun ini. Lampu hijau sudah diberikan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno. "Tim-Tim sudah terbuka, tak ada masalah lagi dengan Depdagri," katanya. BHM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini