Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari 250 penginapan dan hotel di kawasan Kaliurang dan Kaliadem kini lindap anyep. Ketika status Merapi masih siaga, ada juga satu-dua tamu menginap. Tapi, sejak letusan 26 Oktober, semua penginapan tutup. Kawasan wisata itu masuk zona rawan 20 kilometer dari puncak Merapi.
Setiap kali Merapi menyemburkan awan panas, semua penginapan diguyur abu. Beberapa penginapan di Kaliadem dan Cangkringan malah mendapat hujan pasir dan kerikil. "Mana ada tamu yang mau menginap?" kata Farhan Hariem, pemilik hotel yang juga penasihat Masyarakat Kaliurang dan Sekitarnya, pekan lalu. Hanya tim evakuasi, SAR, dan pekerja media yang nekat mondar-mandir di kawasan itu.
Sekretaris Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono, belum menghitung kerugian para pemilik penginapan. Dengan tarif kamar rata-rata Rp 150 ribu per malam, penginapan dengan lima sampai 15 kamar bisa menanggung rugi Rp 500 ribu-2 juta per malam. Tentu itu di luar kerusakan bangunan.
Biasanya, tingkat hunian hotel dari kelas berbintang hingga melati di Yogyakarta rata-rata 80 persen. Kini angka itu turun hingga ke 60 persen. Itu pun untuk hotel berbintang. Tingkat hunian kelas melati tinggal 30 persen, meski para pengelola sepakat memberikan diskon 10-40 persen. Kebanyakan kamar dihuni relawan, pejabat, dan pengungsi.
Iwan Darmawan, 45 tahun, menginap bersama istri dan kedua anaknya di Hotel Inna Garuda, Malioboro. Pegawai Bank Rakyat Indonesia ini mengungsi dari kediamannya di Jalan Kaliurang Kilometer 14 ketika terjadi erupsi Merapi yang kedua. Meski mendapat diskon setengah harga, Iwan tetap ketar-ketir. "Bisa kolaps kalau terus nginap di hotel," katanya.
Bayu, 35 tahun, warga kompleks Rumah Sakit Gracia, Pakem, mengungsi ke Wisma Sakinah di Jalan Kaliurang Kilometer 7 bersama istri dan satu anaknya. Ia mengeluarkan biaya Rp 150-250 ribu per hari. "Sekarang mau cari rumah kontrakan," katanya. "Daripada sebulan habis hampir lima juta rupiah."
Deddy Pranowo menilai pemberitaan Merapi di televisi berlebihan, sehingga jumlah wisatawan ke Yogya menurun. Ditambah penutupan Bandar Udara Internasional Adisutjipto hingga 15 November, menyusul pembatalan penerbangan domestik dan mancanegara dengan tujuan Yogyakarta, wisatawan mengalihkan rencana kunjungan ke daerah lain, terutama Bali.
Ia khawatir situasi ini melanjut hingga libur panjang pergantian tahun, Desember mendatang. "Seharusnya November sampai Desember peak season, tapi kini sangat memprihatinkan," katanya. "Sampai saat ini masih terjadi pembatalan pemesanan kamar," kata Carla Parengkuan, Direktur Eksekutif Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia.
Sebetulnya, kegiatan di beberapa tempat di Yogyakarta, seperti di Malioboro, Pasar Beringharjo, dan Keraton, berjalan seperti biasa. Tapi, ya itu, Keraton tampak lengang. Debu menyelimuti pelataran dan gamelan yang terpajang di luar ruangan. Sayup-sayup terdengar gamelan mengalun.
Sebelum letusan Merapi, kunjungan bisa mencapai 5.500 orang per hari. Tapi, dalam dua pekan terakhir, "Rata-rata cuma 400 orang per hari," kata Brahmana, Sekretaris Tepas Keraton Ngayogyakarta.
Jumlah tamu yang berkurang mempengaruhi pendapatan pegawai, yang honornya bergantung pada penjualan tiket—yang harganya Rp 4.000-12.000. Jumlah pegawai Keraton 71 orang. Jika tetap seperti sekarang, "Penghasilan pegawai bisa kurang dari upah minimum regional yang 700 ribu rupiah," kata Brahmana.
Nieke Indrietta (Jakarta), Muh. Syaifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo