Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Talqin semacam itu adalah tradisi tarekat tradisional yang merupakan fenomena pedesaan. Namun, pemandangan seperti itulah yang terjadi di sela-sela acara kajian keagamaan bertema "Thoriqot-thoriqot Muktabaroh: Ajaran dan Amalan" yang diselenggarakan Indonesian Islamic Media Network (IIMaN) di Jakarta, Sabtu pekan lalu. Berlangsung hingga akhir Mei mendatang, kajian itu menyedot sekitar 100 orang peminat tarekat. Bukan jumlahnya yang penting, melainkan ini: kebanyakan dari mereka adalah pengusaha berkocek tebal, intelektual, atau direktur perusahaan swasta.
Apakah gejala itu menunjukkan lapisan menengah ke atas Jakarta mulai tertarik ke tarekat tradisional? Barangkali iya. Namun, tak semudah itu menyimpulkannya karena tak pernah ada lembaga yang mendata berapa banyak masyarakat kota yang menggandrungi tarekat. "Sulit untuk menghitungnya," kata Dr. Kautsar Azhari-Noer, cendekiawan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Maklum, banyak orang yang sengaja merahasiakan kesertaannya di tarekat karena alasan pribadi, seperti yang dilakukan seorang direktur perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia. "Saya tidak mau dipublikasikan. Ini kan sangat pribadi," katanya.
Kajian tarekat tradisional itu sendiri baru pertama kali ini diselenggarakan IIMaN. Sebelumnya, lembaga yang dipimpin intelektual muslim Haidar Bagir itu telah sering menggelar kajian tasawuf yang bersifat populer dan generik, yang cocok untuk masyarakat kelas menengah kota. Kalau sekarang materi kajian meningkat ke tarekat, menurut Musa Kazhim, Direktur Pelaksana IIMaN, itu atas permintaan para eksekutif.
IIMaN menghadirkan para guru tarekat dan intelektual kampus, antara lain Prof. Dr. Ahmad Tafsir, dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung, Ustad Ikyan Badruzzaman, dan Kiai Abdullah Abbas, ulama cukup dikenal dari Pesantren Buntet, Cirebon. Selain mengupas ajaran tarekat-tarekat tradisional, seperti Kadiriah wa Naqsabandiah, Tijaniah, Saziliah, dan Idrisiah, mereka memaparkan aspek amalan setiap tarekat.
Apakah thariqat muktabarah itu? Thariqat (sebut saja tarekat) adalah jalan mendekatkan diri kepada Allah melalui latihan-latihan (riyadhah) spiritual berupa pembacaan wirid dan zikir. Ada pula yang menggunakan musik dan gerak. Para sufi menyistematiskan ajaran dan metode tarekat secara eksplisit dari ajaran yang diturunkan kepada mereka melalui suatu garis keguruan yang, bila dirunut terus, akan sampai ke Nabi Muhammad.
Silsilah perguruan itu menjadi legitimasi bagi sebuah tarekat dan kemudian melahirkan istilah muktabarah (yang dihormati) untuk tarekat yang bersilsilah jelas dan ghairu muktabarah (yang tidak dihormati) untuk yang bersilsilah tak lazim. "Yang tak jelas silsilahnya diragukan muktabarahnya," kata Kiai Habib Luthfie bin Yahya, Ketua Umum Jam'iyah Atthariqah Almu'tabroh Annahdliyah, organisasi payung tarekat yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama.
Dari sekitar 300 aliran, hanya 45 tarekat yang bergabung dalam Jam'iyah. Naqsabandiah, Kadariah, dan Sazaliah adalah yang terbesar dan terpenting. Mursyid (guru) utamanya sekarang adalah Kiai Abdullah Salam (Kajen, Pati) dan Kiai Syahid (Rembang)keduanya dari Naqsabandiah. Penganut tarekat di Indonesia kini berjumlah sekitar 20 juta orang.
Tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat pedesaan, tarekat beberapa tahun belakangan ini memperoleh pengikut baru di kalangan masyarakat urban perkotaan. Sifat rural kaum tarekat sendiri juga bergeser ketika modernisasi merambah masyarakat. Kalangan tarekat tak lagi hanya berkutat dengan ajaran keagamaan, tapi juga ikut memecahkan persoalan masyarakat akibat modernisasi. Contohnya, Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, menggunakan metode zikir Naqsabandiah untuk mengobati pasien ketergantungan narkotik dan obat-obatan.
Gejala "tarekat masuk kota" sebenarnya sudah bisa terbaca pada awal 1990-an, ketika beberapa pejabat dan bekas pejabat mulai masuk tarekat. Sejak 1996, beberapa kelompok pengajian tasawuf juga mulai muncul di Jakarta. Salah satunya Yayasan Tazkia Sejati, yang diasuh cendekiawan Jalaluddin Rahmat. Anggotanya kalangan eksekutif dan kelas menengah ke atas lain. Semua gairah itu masih sebatas amalan tasawuf secara generik. Kini tarekat, yang memiliki potensi untuk menjadi lembaga yang hierarkis dan otoriter, pun ternyata diminati publik metropolitan.
Kelik M. Nugroho, Agus Hidayat, Bandelan Amaruddin (Kudus)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo