Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Media, Culture and Politics in Indonesia | ||
Penulis | : | Krishna Sen dan David T. Hill |
Penerbit | : | Oxford University Press, 2000, x + 245 halaman |
Upaya-upaya kendali wacana itulah yang dicoba ditunjukkan buku berjudul Media, Culture and Politics in Indonesia ini. Kedua penulis buku ini, Krishna Sen dan suaminya, David T. Hill, menggambarkan bagaimana Soeharto, melalui tangan-tangan negara dan organisasi korporatisnya, memanfaatkan saluran media massa seperti televisi, radio, koran, majalah, film, musik, buku, dan internet untuk keperluan kendali itu. Penulis mengajukan tesis bahwa isi media massa tersebut dapat dilihat sebagai rekaman konsep kebudayaan "nasional" dan hegemoni politik yang dikonstruksikan oleh rezim Orde Baru Soeharto.
Cukup banyak ilustrasi dalam buku ini yang mampu menggambarkan usaha-usaha sistematis dan serius dari Orde Baru untuk menguasai alam pikiran publik. Hal ini pertama-tama terlihat dari "kebijakan" aparat Orde Baru untuk melarang buku-buku yang dinilai berpotensi melanggar pasal "mengganggu kepentingan umum". Terlepas dari perdebatan filosofis mengenai boleh-tidaknya suatu pelarangan penyebarluasan ide atau pikiran, satu fakta yang yang tak terbantahkan adalah kesewenang-wenangan penerapan pasal "mengganggu kepentingan umum" itu oleh aparat pemerintahKejaksaaan Agung pada khususnya.
Pasal ini merupakan pasal karet yang bisa digunakan untuk "menstempel" buku apa saja, dari yang dikategorikan pornografis, menyinggung isu SARA, mempertanyakan kepemimpinan nasional, sampai menyebarkan ideologi kiri. Pramoedya Ananta Toer barangkali merupakan pengarang yang karyanya paling banyak dilarang selama Orde Baru. Tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang berkisah tentang proses tumbuhnya spirit nasionalisme Indonesia, misalnya, dilarang beredar di Indonesia karena dianggap mengandung ajaran "halus" Marxisme-Leninisme di dalamnya (halaman 40). Termasuk buku-buku Pram, diperkirakan tak kurang dari 2.000 judul buku telah dibredel pemerintah Orde Baru sejak 1965 sampai 1996 (hlm. 37).
Lalu, bagaimana perlakuan rezim Orde Baru terhadap penerbitan media cetak seperti koran dan majalah? Kurang-lebih sama atau malah lebih keras. Walau pada awalnya pers adalah salah satu eksponen terdepan berdirinya Orde Baru (misalnya penelitian isi mingguan Mahasiswa Indonesia oleh Francois Raillon), rezim ini dipimpin oleh seorang jenderal yang "tidak tahu" berterima kasih. Sejarah mencatat, tak lama setelah menduduki kursi orang nomor satu Indonesia, Soeharto mulai menyalahgunakan kekuasaannya. Kritik yang dilancarkan oleh media nyaris selalu ditanggapi dengan tekanan terhadap jurnalis dan bredel atas medianya. Telah terjadi tak kurang dari tiga gelombang besar bredel persbaik sementara maupun permanenoleh Orde Baru, masing-masing pada 1974, 1978, dan 1994.
Yang kejam, para penyokong rezim ini juga berkali-kali "membredel" nyawa jurnalis yang dianggap mengancam praktek kekuasaan dan KKN yang dilakukannya. Tak ada contoh yang lebih fenomenal dari kematian wartawan harian Berita Nasional (Bernas) Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, yang kasusnya belum terbongkar tuntas hingga sekarang (hlm. 68). Tak salah kiranya bila Daniel Dhakidae (1991) dalam disertasinya menyebut negara Orde Baru sebagai "God-like State" yang bisa berlaku apa saja, termasuk mencabut nyawa manusia.
Apa akibat tekanan dan kontrol yang ketat itu? Sebagaimana diteliti oleh Daniel Dhakidae, di masa Orde Baru, pers Indonesia bertransformasi dari format "pers perjuangan" yang idealis-politis menjadi "pers pembangunan" yang melulu komersial. Komersialitas itu dapat dilihat dari dua perspektif sekaligus, baik sebagai konsekuensi akumulasi modal maupun sebagai akibat kekangan politik yang diterapkan Orde Baru kepada pers. Sejumlah media, berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, berkembang menjadi industri besar yang tidak sekadar menghidupi banyak pekerjanya, tapi juga menjadi tambang bisnis yang menguntungkan pemiliknya.
Media sebagai lahan bisnis akhirnya
menjadi ciri paling utama dari
media-media di Indonesia yang
dibahas oleh Sen dan Hill dalam buku inibaik radio, televisi, musik, maupun filmdengan pengecualian hanya pada media internet (buku ini ditulis sebelum fenomena bisnis dot.com merebak di Indonesia). Stasiun siaran radio, misalnya, harus menyesuaikan diri dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tentang Siaran Radio Swasta, yang mengatur fungsi sosial stasiun radio sebagai "program pendidikan, informasi, dan hiburan", di mana program tersebut "tidak ditujukan untuk
kegiatan-kegiatan politik" (hlm. 84).
Stasiun televisi swasta oleh kedua penulis disebut sebagai "anak kandung Orde Baru". Ada dua muasal sebutan itu. Pertama, kelahirannya yang seratus persen muncul di zaman Orde Baru (hlm. 131). Dan kedua, yang lebih substansial, peran dominan yang dimainkan keluarga Cendana plus kroninya dalam menyiapkan infrastruktur pertelevisian swasta Indonesia: Bambang Tri di RCTI, Sudwikatmono dan Henri Pribadi di SCTV, Siti Hardiyanti di TPI, dan Sudono Salim di Indosiar. Hanya Anteve, yang dimiliki keluarga Bakrie, yang relatif berjarak dari aura Istana Negara (hlm. 112).
Kedua penulis lebih jauh menegaskan pendirian stasiun televisi swasta sebagai medium kendali wacana Orde Baru: "In Indonesia, private television was not so much a paradigm shift toward more democratic or even market-driven media; it was a policy adjustment to a changing mediascape within the framework of central cultural control of the peripheries" (hlm. 112).
Meski isi media ataupun kepemilikannya banyak dikontrol dan dibatasi oleh pemerintah, buku ini mencatat sejumlah perlawanankhususnya perlawanan wacana (perlawanan institusional seperti pembentukan Aliansi Jurnalis Independen tidak dijelaskan secara memadai di buku ini)yang digelar oleh kalangan pekerja media massa. Perlawanan yang tidak langsung ini di antaranya terlihat dari perbedaan liputan RCTI dibandingkan dengan TVRI dalam kasus penyerbuan markas PDI pada 27 Juli 1996, yang berujung dengan kerusuhan massal terbesar di Jakarta pasca-Malari 1974.
Dalam wacana RCTI, peristiwa penyerbuan dan kerusuhan itu menunjukkan "something had happened". Meski pemerintah telah berusaha mengendalikan, menurut berita RCTI, konfrontasi fisik telah terjadi: gedung dibakar massa, jalanan ditutup tentara, dan kumpulan orang terkonsentrasi menjadi gerakan massa. Sebaliknya wacana TVRI. Meski massa berkumpul dan menghuru-hara, pasukan ABRI tetap (akan) mengendalikan situasi dan kondisi. Dalam wacana TVRI, 27 Juli 1996 diliput sebagai peristiwa yang nonperistiwa alias "nothing had happened".
Dari semua media, tampaknya, internetlah yang paling sulit (atau khilaf?) terjaring sensor rezim Orde Baru. Sulit atau khilaf adalah dua hal yang berbeda. Walaupun praktek penyebaran informasi melalui internet lebih efektif dan efisien daripada alat komunikasi konvensional lainnya, itu bukan berarti suatu rezim penguasa tidak dapat melakukan kontrol atasnya. Dalam buku News in Distress: the Southeast Asian Media in Time of Crisis (1999), misalnya, diceritakan bagaimana junta militer Myanmar mendaftarkan secara ketat kepemilikan komputer dan modem yang dibutuhkan untuk mengakses internet. Dari pengalaman Myanmar itu, bisa kita disimpulkan secara tentatif bahwa rezim Orde Baru telah salah perhitungan mengenai kekuatan internet sebagai "virtual politics" atau bahkan "virtual democracy".
Akibatnya, seperti dicatat oleh buku ini, di saat-saat akhir menjelang kejatuhan Soeharto, terjadi komunikasi dan sosialisasi ide dan gerakan yang sangat masif di antara aktor-aktor prodemokasi dan kalangan kelas menengah Indonesia melalui jaringan pribadi ataupun melalui milis (mailing list) terkenal seperti Indonesia-1, yang populer dengan nama Apakabar, yang dimoderatori oleh John MacDougall dari Maryland, Amerika Serikat (hlm. 200). Sejumlah kalangan di Amerika Serikat konon percaya bahwa reformasi Indonesia 1998 adalah semacam "revolusi internet"suatu kepercayaan yang tentu saja kurang berdasar karena mahasiswalah aktor terpenting dalam aksi tersebut, sementara penggunaan internet hanyalah oleh porsi kecil mahasiswa.
Akhirnya, meski terasa tidak banyak data baru yang dikemukakan, khususnya bila yang membacanya seorang pemerhati media Indonesia, kekuatan buku ini terletak pada daya rekamnya yang ensiklopedis. Kekuatan yang lain adalah keberhasilannya menunjukkan bagaimana isi media massa di Indonesia telah dapat digiring oleh penguasa Orde Baru untuk membicarakan wacana-wacana "kebudayaan" yang serba apolitis. Mungkin inilah salah satu kunci Soeharto bisa berkuasa begitu lama. Ia berhasil mengendalikan wacana-wacana politik dan demokratisasi rakyat Indonesia.
Muhammad Qodari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo