NASIB Akbar Tandjung seperti digantung di awang-awang. Kejaksaan Agung belum juga memanggil dan memeriksanya, sementara tuduhan korupsi terhadapnya kian kencang beredar setelah Presiden Abdurrahman Wahid membolehkan dia diinterogasi.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Bachtiar Fachri Nasution sendiri menolak menjelaskan, selain hanya mengatakan bahwa kasus Akbar masih dalam penyelidikan dan belum ada pembahasan lebih lanjut. Tapi, apa sebenarnya kesalahan Akbar?
Seorang menteri dalam kabinet Abdurrahman Wahid mengungkapkan, Akbar terlibat dalam korupsi dana nonbujeter Bulog semasa menjabat Menteri Sekretaris Negara dalam kabinet B.J. Habibie. "Bukti-buktinya sangat kuat," kata menteri yang tidak mau disebut namanya itu. "Misalnya, ada surat perintah penghapusan data arus dana ke Golkar dari pembukuan Bulog yang diteken Akbar."
Selain itu, masih kata menteri itu, Akbar pernah memerintahkan secara tertulis agar bunga simpanan Bulog di empat rekening disalurkan ke kas Golkar. "Data ini datang dari sejumlah pejabat Badan Pemeriksa Keuangan dan telah dilaporkan ke Jaksa Agung Marzuki Darusman, tapi tersimpan di laci yang dikunci rapat-rapat," kata sang menteri.
Namun, sumber TEMPO di Kejaksaan Agung punya versi lain. Menurut dia, kasus Akbar berawal ketika sebuah tim audit khusus yang memeriksa dana Bulog meminta lembaga ini menghentikan kegiatan penerimaan dan pengeluaran dana non-neraca di kasnya. Alasannya, dana itu hendak dimasukkan ke neraca APBN. Tapi Kepala Bulog waktu itu, Rahardi Ramelan, keberatan. Ia menyampaikan keberatan dalam suratnya kepada Presiden B.J. Habibie: bahwa dana nonbujeter Bulog sangat diperlukan dalam kegiatan operasional Bulog. "Kami berpendapat bahwa dana non-neraca ini kiranya dapat tetap diadministrasikan tersendiri di luar neraca dan dipertanggungjawabkan langsung kepada presiden," demikian ditulis Rahardi dalam suratnya.
Rahardi juga menjelaskan, dana nonbujeter sebesar lebih dari Rp 485 miliar itu berasal dari pemupukan keuntungan komoditi yang dilaksanakan sejak 1982 dan ditempatkan di bank dalam bentuk deposito dan giro. Adapun jumlah dana neraca Bulog ketika itu sebesar Rp 3,3 triliun lebih. Permintaan Rahardi itu disetujui Presiden B.J. Habibie lewat surat disposisi yang ditujukan ke Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung.
Nah, menurut sumber TEMPO di kejaksaan itu, berdasarkan disposisi Presiden Habibie itulah Akbar Tandjung lalu mengeluarkan disposisi lanjutan ke bagian Tata Usaha Sekretariat Negara supaya membuat konsep surat baru. Isinya kurang-lebih berbunyi, "Berdasarkan petunjuk Bapak Presiden, dana non-neraca di Bulog tetap diadministrasikan tersendiri, dan segala pemanfaatannya harus dengan per- setujuan Presiden." Surat ini lalu dilayangkan ke Menteri Perekonomian Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Menko Bidang Pengawasan Pembangunan, Menteri Keuangan, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang merangkap jabatan Kepala Bulog.
Sepucuk surat dengan lima paragraf kalimat yang ditandatangani Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung itulah, menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Agung itu, yang dianggap sebagai upaya Akbar menutupi jejak arus dana non-neraca Bulog ke kas Golkar. Tapi, menurut sumber itu, dokumen ini sulit bisa men-jaring Akbar karena hanya semacam penegasan atas persetujuan Habibie yang diminta oleh Rahardi.
Sumber TEMPO di kejaksaan memang percaya bahwa Partai Golkar menerima duit dari dana non-neraca Bulog menjelang Pemilu 1999. Akan tetapi, aliran dana?termasuk peran Akbar di dalamnya?sulit dilacak karena tidak ada bukti. "Yang jelas, sejumlah besar dana non-neraca Bulog memang raib. Dana itu dinyatakan habis untuk membiayai operasi pangan di mana-mana. Padahal sebagian lari ke Golkar."
Akbar sendiri menyatakan tak tahu-menahu soal tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Sementara itu, Wakil Bendahara Golkar, Enggartiasto Lukito, menambahkan tidak ada aliran dana dari Bulog ke kas partainya. Data keuangannya pun sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan. Walhasil, kasus Akbar tampaknya bakal jadi teka-teki.
Wicaksono, Tomi Lebang, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini